Featured Post

Recommended

Fight for Freedom

Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan untuk melakukan segala sesuatu dalam kehidupannya tetapi dilakukan dalam koridor syariat Islam ______...

Alt Title
Fight for Freedom

Fight for Freedom




Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan untuk melakukan segala sesuatu dalam kehidupannya

tetapi dilakukan dalam koridor syariat Islam

______________________________


Penulis Arda Sya'roni

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - “We're calling for freedom, fighting for freedom. We know You won't let us fall. We know You're here with us.” Demikian penggalan kalimat dalam lirik lagu Freedom oleh Maher Zein.

 

Penggalan lirik ini bila diterjemahkan adalah "Kami memanggil untuk kebebasan, berjuang untuk kebebasan. Kami tahu Kau takkan membiarkan kami jatuh. Kami tahu Kau ada bersama kami." Lagu ini untuk memberikan dukungan bagi penduduk Gaza dalam perjuangannya meraih kemerdekaan. (Tribunhealth.com, 9-11-2023)



Tetapi kalimat ini bisa ditujukan bagi seluruh kaum muslim di segala penjuru dunia terkait kebebasan dan kemerdekaan. Lalu, kemerdekaan macam apa yang perlu diperjuangkan? Bukankah sebagian besar negara di dunia telah meraih kemerdekaan?

 

Kemerdekaan mungkin telah digenggam oleh hampir semua negara, termasuk negara kita. Tetapi faktanya, kemerdekaan itu tidak benar-benar kita rasakan. Tanpa kita sadari, sesungguhnya kita masih terbelenggu oleh penjajahan. Meski, penjajahan yang kita hadapi saat ini bukan secara fisik seperti yang terjadi di Gaza, tetapi penjajahan secara halus berupa pemikiran melalui tsaqafah asing.



Bila dulu tsaqafah asing masuk lewat gold, glory, dan gospel yang diemban oleh kaum penjajah saat menduduki negara kita. Kini, tsaqafah tersebut disebarkan melalui food, fun, and fashion yang menyasar di kalangan pemuda.


Kapitalisme, Sekularisme, dan Liberalisme


Kebebasan yang diasumsikan oleh kapitalisme adalah kebebasan seutuhnya diatur oleh manusia. Di mana boleh melakukan apa pun sesuka hati tanpa adanya campur tangan dari Sang Pencipta atau biasa disebut sebagai liberalisme. Sedangkan kapitalisme menyandarkan segala sesuatu pada manfaat atau keuntungan semata.



Selama sesuatu itu menguntungkan bagi dirinya akan diambil, tak peduli bila sesuatu itu menyebabkan masalah atau kerugian bagi orang lain. Sebaliknya bila sesuatu itu memberatkan dirinya pasti akan disingkirkan. Kapitalisme juga mengacu pada keuntungan, wajar bila semua urusan dinilai dengan uang. Hukum pun bisa dibeli dengan uang.



Sesuai dengan prinsip kapitalisme yang menyandarkan segala sesuatu pada asas manfaat dan uang. Penerapan sistem ini akan menjauhkan kita dari agama. Karena agama diberi ruang pada ibadah ritual saja, tidak untuk diterapkan dalam kehidupan apalagi bernegara.

 

Negara yang berkuasa tidak berdasarkan aturan Sang Pencipta, melainkan bersandar pada aturan buatan manusia. Aturan yang diterapkan merupakan pesanan dari para pemilik modal atau para kapital guna memuluskan langkah mencengkeram kekayaan negara.

 

Kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme dikemas dengan demikian cantik seolah merupakan solusi yang berbuah kebahagiaan, sehingga umat tertipu dan masuk ke dalam perangkap. Tak sadar bahwa akidah dipertaruhkan. Bagai serigala berbulu domba, hadir dengan tutur kata dan senyuman manis, meski akhirnya memangsa umat secara perlahan.

 

Atas nama hak asasi manusia, segala maksiat dilegalkan. Perlahan langkah umat memasuki jurang nestapa. Judol, pinjol, perilaku kaum nabi Luth, pergaulan bebas, miras, narkoba, begal, tawuran, dan masih banyak lagi kasus lainnya yang dianggap wajar di zaman sekarang karena dianggap tren.

 

Dengan dalih HAM, hal-hal tersebut tak lagi dianggap maksiat yang dapat menyebabkan murka Allah. Padahal, jelas hal ini bertentangan dengan Islam dan membawa mudarat yang luar biasa. Inilah bentuk kebebasan yang diusung oleh kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme di mana kebebasan ini akhirnya tidak mewujudkan kebahagiaan, melainkan kerusakan di setiap lini kehidupan.

Islam sebagai Ideologi


Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan untuk melakukan segala sesuatu dalam kehidupannya, tetapi dilakukan dalam koridor syariat Islam. Kebebasan yang diusung dalam Islam tetap memiliki batasan karena yang dicari hanya rida Allah semata. Dengan keputusan benar dan menilai suatu perbuatan manusia hanya Allah.



Hal ini dapat dilihat pada QS. Yusuf ayat 40, ”Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

 

Islam bukan hanya sebuah agama yang mengatur ibadah ritual saja, melainkan sebagai sebuah ideologi dengan menggunakan aturan Allah sebagai dasar hukum di setiap lini kehidupan. Hukum yang diterapkan adalah hukum syarak, sehingga dapat dipastikan akan adil dan tidak menzalimi siapa pun. Aturan Allah juga yang paling tepat dalam mengatur kehidupan manusia, karena Allah sebagai Pencipta tentu paling tahu yang terbaik dan tepat bagi kelangsungan hidup manusia.

 

Bukti-bukti keberhasilan Islam sebagai ideologi dapat kita tengok sejarah pada masa kekhilafahan yang berlangsung selama 13 abad. Pada masa kejayaan Islam tersebut angka kriminalitas sangat minim, umat juga merasakan kedamaian dan kemakmuran. Ilmuwan dan tokoh muslim banyak lahir di masa itu. Sangat berbeda dengan kondisi saat ini di mana pintu kemaksiatan dibuka lebar dan semakin tak terbendung.

 

Tidakkah kita merindukan kejayaan itu kembali? Sudah saatnya bagi kita untuk berjuang meraih kemerdekaan sejati, yaitu terlepas dari belenggu hawa nafsu yang mengekang dan untuk mengembalikan kehidupan Islam kembali berjaya. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Anak dalam Bayang Kekerasan, Bukti Regulasi Tak Mempan

Anak dalam Bayang Kekerasan, Bukti Regulasi Tak Mempan




Beragam sanksi yang menjadi ancaman bagi para pelaku kekerasan terhadap anak

tampaknya tak mempan menghentikan kejahatan yang menimpa anak

______________________________

 

Penulis Ummu Zhafran

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Orang tua mana yang tak sayang dengan anak sekaligus buah hatinya, namun faktanya kasus kekerasan yang menimpa anak makin menggejala. Tak jarang pelakunya justru dari lingkaran terdekat macam ayah dan ibu, yang kandung ataupun sambung.


Mengutip kantor berita Antara Sultra, telah terjadi sebanyak 192 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bumi Anoa, periode Januari-Juni 2024. Khusus untuk kota Kendari terdapat 23 kasus yang melibatkan anak dan perempuan. Dinas terkait pun mengakui jumlah itu hanya terhitung dari yang terlapor saja. (sultra.antaranews.com, 13-8-2024)

 

Inilah kondisi anak dalam bayang kekerasan. Fakta yang sangat memprihatinkan. Apalagi bila merujuk data Kementerian PPA, rumah tangga menjadi tempat kejadian tindak kekerasan terbesar yaitu 61,4 persen dari total 11.796 dan anak yang menjadi korban, data ini sepanjang Januari hingga September 2024. (tribunnews, 7-9-2024)

Regulasi Tak Menjamin Solusi


Memang bukan tak ada upaya yang dilakukan untuk mengatasi dan menghindarkan anak menjadi korban kekerasan. Ada berbagai produk perundangan yang silih berganti disahkan. Di antaranya UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan dua pilar utama, yaitu pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak.


UU ini telah dua kali diubah melalui UU 35/2014 dan UU 17/2016. Melalui UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, negara bahkan mengamanatkan setiap daerah untuk melakukan berbagai upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak. Wilayah yang memenuhi semua indikator yang dibutuhkan pun dapat dinobatkan sebagai Kota Layak Anak (KLA).

 

Namun seperti kata pepatah, hal tersebut seolah bagaikan menggantang asap alias sia-sia, karena tak menyentuh akar persoalan. Terwujudnya lingkungan yang kondusif dan aman bagi anak faktanya makin jauh dari kenyataan. Beragam sanksi yang menjadi ancaman bagi para pelaku tampaknya juga tak mempan.

Sekularisme Biang Masalah


Mengapa demikian? Jawabannya sungguh terpampang jelas di depan mata. Bahwa aneka kasus kekerasan pada anak memang bukan karena produk regulasi yang kurang banyak, melainkan terletak pada asas di mana regulasi tersebut bersandar. Asas inilah yang jadi penentu efektif tidaknya sebuah aturan.



Bukan rahasia lagi bila semua regulasi dan kebijakan negeri berangkat dari sekularisme, sebuah paham yang menolak cawe-cawe agama (baca: syariat) dari kehidupan. Alih-alih menoleh pada syariat guna mendapatkan solusi, justru tak segan membuat aturan sendiri.

 

Padahal jelas, sekularisme yang buatan manusia selalu gagal menumbuhkan rasa takut, malah menumbuhsuburkan kekerasan terhadap anak terus terjadi. Meski beragam sanksi telah ditetapkan mulai dari pemberatan hukuman pidana, denda, hingga kebiri. Tak heran, sebab mengabaikan aturan agama sama artinya dengan menuhankan materi dan hawa nafsu. Risikonya, jadi lupa akan fananya duniawi dan kekalnya hidup di akhirat kelak.

Berpikirlah Serius!


Apabila ingin menyudahi problem kekerasan terhadap anak, sudah saatnya meninggalkan sekularisme bila serius ingin problem kekerasan terhadap anak selesai. Kemudian mengadopsi syariat Islam yang kafah sebagai solusi. Sebab Islam bukan sekadar agama yang bicara soal spiritual, namun absen menyelesaikan masalah kehidupan yang aktual.

 

Islam merupakan way of life, petunjuk jalan hidup yang disampaikan Allah Swt. yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur kepada Rasulullah saw. melalui tuntunan wahyu.

 

Dalam Islam, anak yang belum balig wajib berada dalam pengasuhan orang tuanya sesuai tuntunan Islam, yaitu dengan pola asuh yang menghindarkan anak dari segala macam bahaya, lemah lembut, dan penuh kasih sayang. Rasulullah saw. bersabda, “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR. Bukhari)



Anak memang dibolehkan secara syariat untuk dipukul saat berusia 10 tahun jika masih enggan salat. Akan tetapi, hal tersebut semata untuk membangun kesadaran anak akan kewajiban salat. Selain itu, pukulan yang dimaksud adalah untuk mendidik bukan yang menyakitkan atau yang fatal akibatnya. Syariat pun merinci agar pukulan juga tidak diarahkan ke wajah maupun kepala, sebab bisa membahayakan bahkan mematikan. (Fatawa Nurun ala Darb (13/2))



Adapun hukuman bagi pelaku kekerasan akan dijatuhkan sesuai tindak kejahatannya. Ambil contoh kasus kekerasan seksual seperti pedofilia misalnya. Maka mengutip penjelasan cendekiawan muslim, Ustaz Ismail Yusanto, jika termasuk kategori zina, pelaku harus dijilid 100 kali bagi ghairu muhshan (belum menikah), jika sudah menikah (muhshan) maka dirajam sampai mati. Adapun jika terkategori dengan sesama jenis, maka pelaku dapat divonis hukuman mati.



Dengan pengaturan syariat di atas, dipastikan bayang kekerasan terhadap anak akan mampu diatasi. Karena, setiap orang akan berhitung besarnya risiko yang mengancam sehingga kejahatan dapat dicegah bahkan tak mustahil terhenti dengan sendirinya.


 
Alhasil dengan penerapan Islam yang kafah, maka niscaya membuka lebar pintu terwujudnya perlindungan keamanan dan kesejahteraan tak hanya bagi anak, juga buat orang tua, masyarakat hingga negara.

 

Tinggal kita, mau mengambil dan memperjuangkannya karena yakin akan keagungan Allah Swt. atau diam menyaksikan generasi yang juga aset masa depan terus tumbang jadi korban. Wallahualam bissawab. [EA/ MKC]

Kesehatan yang Porak Poranda di Gaza

Kesehatan yang Porak Poranda di Gaza

 




Kesehatan yang porak poranda di Gaza

Tanpa jaminan kesehatan yang mencukupi rakyat sebagai korban


______________________________


Penulis Hanif Kristianto

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com,PUISI - Investigasi PBB merilis suatu hal yang miris

Bangsa penjajah merusak wilayah dan sistem kesehatannya

Sekonyong-konyong tak ada yang menolong

Gaza di Palestina kembali melolong

 


Inilah hari dengan bayangan kegelapan
Kembali kesuraman nasib kesehatan untuk melumpuhkan mental
Satu, dua, tiga musuh tertawanya tertelan
Ketahuilah bahwa sesungguhnya di balik kesombongan ada kepunahan



Bukti apalagi untuk memvonis bangsa itu begitu bengis
Bukalah mata untuk melihat fakta dan berita sesuai adanya
Bukalah telinga untuk mendengar rintihan sakit ketiadaan rumah sakit
Bukalah hati untuk mengerti dan menolong Gaza lebih berarti



Laporan yang akan dibahas di meja pertemuan dunia
Membahas kekejian dan perusakan sistem kesehatan sebuah bangsa
Apalagi kata dan hukuman yang pantas untuk penjajah
Diam seribu bahasa bukan solusi untuk Gaza Palestina



Kesehatan yang porak poranda di Gaza
Mematikan nurani bangsa penjajah
Kebengisan manusia yang tak berhati manusia
Pelan-pelan manusia sedunia bergerak dengan komando random

 

Kesehatan yang porak poranda di Gaza
Tanpa jaminan kesehatan yang mencukupi rakyat sebagai korban
Nyawa begitu mudah melayang tanpa pertolongan
Luka-luka yang terus menganga memberikan sinyal kepada penduduk dunia

 

Kesehatan yang porak poranda di Gaza
Perusakan kebutuhan asasi untuk bertahan hidup sebentar saja
42 ribu nyawa tembus hilang seperti olah debus
Bangsa penjajah kembali bikin kasus

 

Kesehatan yang porak poranda di Gaza
Kekuatan bertahan tanpa keluhan atas keputusasaan
Kekokohan akidah menjadi daya hidup bertahan di sisa-sisa luka
Pantang mundur ke belakang karena di depan gambaran jelas surga


Oh Gaza sedang tak biasa
Bisa-bisanya pasukan itu tak segera dikirim dalam mobilisasi misi perdamaian
Untuk apa senjata canggih tapi tak menggetarkan musuh yang merusak sistem kesehatan?
Untuk apa kekuatan militer tapi tak bergerak dan keluar dari barak?


Oh Gaza yang telah menjadi laporan dunia
Penduduk langit telah menyiapkan pesta penyambutan di sana
Bolehlah manusia sibuk mengurusi hidupnya sendiri yang masih susah
Namun penduduk langit tak pernah lengah untuk menolong dengan ajaibnya [Dara/MKC]

Punahnya Kaum Menengah, Kemerosotan Ekonomi di Depan Mata

Punahnya Kaum Menengah, Kemerosotan Ekonomi di Depan Mata


 

Jika kondisi ini diteruskan maka kelas menengah rentan "turun kelas"

alias masuk ke dalam garis kemiskinan

_________________________


Penulis Tari Ummu Hamzah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bonus demografi yang sedang melanda negeri ini merupakan kelebihan yang tidak dimiliki oleh negara-negara Asia lainnya seperti Jepang dan Korea. Di mana dua negara tersebut digadang-gadang sedang menuju kepunahan masyarakatnya.

 

Namun bonus demografi yang tidak disikapi secara cepat dan bijak oleh pemerintah, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak middle income trap. Jebakan pendapatan menengah. 


Apa itu middle income trap? Istilah ini diperkenalkan oleh Bank Dunia pada 2007 untuk mendefinisikan negara berpendapatan menengah dengan produk nasional bruto per kapita yang tetap berada di antara $1.000 hingga $12.000 dan gagal meningkatkannya. (Kompas.com, 28-02-2024) 


Bagaimana kita mau berhasil keluar dari penghasilan menengah jika masyarakat kelas menengah dibebankan pajak yang tinggi. Mereka adalah kaum yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah karena dianggap mampu, tapi tidak juga masuk ke dalam masyarakat miskin karena masih bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. 


Kaum ini juga ingin jadi kaya tapi sulit karena terkendala regulasi, tapi sangat mudah turun kelas karena impitan pajak dan harga pokok yang naik. Di sisi lain kelas menengahlah yang harus menanggung beban pajak di negeri ini.

 

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), menyatakan kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara, menyumbang 50,7 persen dari penerimaan pajak. (CNNIndonesia.com, 08-08-2024)


Sudahlah diimpit pajak, tapi kesulitan mendapatkan bantuan dari pemerintah karena dianggap memiliki pemasukan yang tetap. Belum lagi potongan BPJS dan Tapera yang semakin menyusutkan pendapatan. Jika kondisi ini diteruskan, maka kelas menengah rentan "turun kelas" alias masuk ke dalam garis kemiskinan. 


Ditambah lagi ancaman PHK yang sudah nampak di depan mata. Maka jelas kelas menengah akan punah dan jatuh miskin. Ini dibuktikan dengan Data Susenas BPS yang diolah Bank Mandiri dalam Daily Economic and Market (Juli 2024) jumlah kelas menengah Indonesia hanya 17,44 persen dari total struktur penduduk Indonesia di 2023. Jumlah ini merosot dibandingkan 2019 yang masih 21,45 persen. (CNNIndonesia.com, 08-08-2024)


Padahal kelas menengah ini digadang-gadang sebagai lapisan masyarakat yang mampu mendongkrak daya beli. Tapi bagaimana daya beli bisa meningkat jika bahan pokok mahal, dipalak dengan macam-macam pajak, pembayaran BPJS kesehatan dibebankan kepada rakyat, belum lagi Tapera yang diisukan sebagai tabungan pemerasan rakyat. 


Dari sini makin jelas bahwa beban perekonomian di negeri ini dialihkan kepada rakyat. Alhasil, masyarakat menengah ini seolah-olah hanya punya dua pilihan, bertahan dengan kondisi saat ini tapi sulit untuk menjadi kaya, atau menyerah dan terpaksa turun kelas. Jadi rencana pemerintah yang ingin keluar dari pendapatan menengah jelas hanya mimpi. Maka ini menunjukkan dampak dari sistem ekonomi bangsa ini. Plus pihak pemerintah yang berlepas tangan dan tega memeras rakyatnya. 


Kapitalisme Sumber Masalahnya


Permasalahan perekonomian itu berhubungan dengan sistem. Jika terdapat masalah beserta dampaknya, maka akar masalahnya juga bersifat sistematis dan terstruktur. Contohnya saja kemiskinan. Kemiskinan terjadi juga karena faktor struktural seperti PHK, minimnya lapangan pekerjaan, bahan pokok yang semakin mahal. 


Maka yang melatarbelakangi terjadinya fakta di atas juga secara sistematis. Yaitu sistem yang menjadi dasar dalam menentukan wajah perekonomian suatu negara. Kita tahu bahwa negeri ini menganut sistem kapitalis.

 

Di mana sistem ini secara alamiah akan menciptakan kelas-kelas masyarakat. Karena dalam sistem ini, siapa yang kuat (pemodal) mampu menjangkau alat-alat untuk memproduksi barang dan jasa. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki modal dijadikan buruh dan objek pajak secara massal, plus kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah karena dianggap memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar. 


Bahkan jaminan kesehatan dan pendidikan pun tidak dijamin sepenuhnya oleh negara. Benar-benar dipaksa mandiri untuk menentukan nasib mereka. Selain itu, sistem ini juga kurang bertanggung jawab dalam menanggulangi dampak sosial jika terjadi kemiskinan. Maka jelas bahwa kapitalisme ini adalah sumber dari masalah perekonomian yang timbul.


Butuh Perubahan Sistem 


Jika kita sudah mengetahui akar masalahnya ada sistem, maka harus direvolusi. Pergantian pemimpin tak cukup membuat bangsa ini sejahtera jika sistem yang digunakan adalah sistem yang rusak. Ditambah banyak aturan yang dibuat oleh manusia yang isinya hanya memenuhi hawa nafsu segelintir orang. 


Maka harus digantikan dengan sistem yang telah terbukti dan diakui oleh masyarakat dunia bahwa sistem tersebut telah berhasil memberikan jaminan rasa aman dan kesejahteraan. Maka sistem penggantinya haruslah bersumber dari Sang Pencipta. Karena hanya Dia zat yang berhak membuat hukum, dan manusia wajib meyakini dan menjalankan. 


Untuk itu hanya sistem Islam saja yang terbukti memberikan jaminan kebutuhan dasar masyarakat. Yaitu jaminan pendidikan, kesehatan, bahan pokok, tempat tinggal, serta keamanan. Maka sudah selayaknya kapitalisme ini diganti dengan sistem yang benar-benar layak untuk dijadikan aturan manusia yaitu Islam. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]

Kedaulatan Pangan dalam Bayang-Bayang Kapitalisme, Akankah Terwujud?

Kedaulatan Pangan dalam Bayang-Bayang Kapitalisme, Akankah Terwujud?



Ketahanan dan kedaulatan pangan seharusnya tidak hanya terkait dengan tersedianya stok

tetapi juga memperhatikan bagaimana upaya negara dalam mengelola pangan agar dapat menyejahterakan rakyat

_______________________

 

Penulis Aning Juningsih

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dalam pusaran waktu, ketika kita mencermati situasi negeri ini. Tampak tak ada satu pun solusi yang benar-benar mampu menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada. Salah satu contoh yang jadi sorotan adalah tingginya harga beras yang tak kunjung terselesaikan. 


Namun ironisnya, meskipun harga beras melonjak tapi petani tetap gigit jari. Menurut Bank Dunia, harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal dibandingkan harga beras di pasar global, bahkan tertinggi di kawasan ASEAN. (cnbcindonesia.com, 26-10-2024)


Carolyn Turk, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, menyebut bahwa tingginya harga beras disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor, kenaikan ongkos produksi, hingga pengetatan tata niaga melalui nontarif. 


Berdasarkan Survei Pertanian Terpadu dari Badan Pusat Statistik (BPS), penghasilan rata-rata petani kecil di Indonesia hanya sekitar Rp15.199 per hari atau kurang dari 1 dolar AS. Fenomena ini menunjukkan bahwa harga beras yang tinggi tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani yang masih jauh dari kata sejahtera. 


Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini, salah satunya adalah tingginya ongkos produksi pertanian. Menurut Rahmi Widiriani, Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), ongkos produksi beras meningkat agar petani bisa memperoleh keuntungan yang layak. Namun kenyataan di lapangan, para petani justru menanggung beban produksi yang melambung, mulai dari harga benih, pestisida, pupuk, hingga biaya lainnya.


Kebijakan Subsidi dan Masalah Rantai Distribusi Biang Masalah


Kebijakan subsidi pupuk yang seharusnya membantu ternyata tidak cukup meringankan beban petani. Hal ini terjadi karena pembelian pupuk bersubsidi telah dibatasi, sementara harga pupuk nonsubsidi malah melambung tinggi. Akibatnya, para petani bagaikan pepatah "besar pasak daripada tiang" artinya pengeluaran ongkos produksinya jauh lebih besar daripada penghasilan yang akan mereka dapatkan.


Selain itu, rantai distribusi yang panjang dari produsen ke konsumen turut menjadi masalah. Ketika beras berpindah tangan dari tengkulak, distributor, hingga agen, harga terus meningkat. Sementara petani tetap tidak mendapatkan keuntungan yang memadai. Tengkulak, distributor, dan agenlah yang memperoleh keuntungan besar, sementara petani hanya menanggung kerugian.


Maraknya praktik tengkulak yang membeli gabah dengan harga rendah saat panen menambah penderitaan petani. Mereka terjebak dalam situasi di mana mereka tidak memiliki banyak pilihan dan harus menyerah pada permainan harga yang dikendalikan oleh tengkulak.


Dominasi Oligarki dan Penguasaan Lahan


Sektor pertanian juga semakin dikuasai oleh oligarki dari hulu hingga hilir. Petani dengan modal kecil dan lahan terbatas semakin tergerus oleh pengusaha besar yang memiliki modal kuat serta teknologi canggih. Akibatnya, ketersediaan lahan bagi petani kecil semakin terbatas, sehingga produksi gabah pun menurun. Idealnya, skala ekonomi lahan minimum untuk petani adalah 2 hektare, namun sebagian besar petani di Indonesia hanya mengelola lahan kurang dari 0,8 hektare.


Tidak hanya itu, lahan pertanian makin sempit karena alih fungsi lahan menjadi kawasan perumahan, industri, dan komersial lainnya. Jika pada tahun 2018 luas lahan sawah di Indonesia mencapai 11,38 juta hektare, maka pada tahun 2023 hanya tersisa 10,21 juta hektare. Lahan pertanian mengalami penurunan hingga 10,28 persen dalam enam tahun terakhir. Ditambah lagi banyak petani yang lebih memilih menjual lahan mereka kepada pemodal daripada harus menanggung rugi akibat tingginya biaya produksi.


Kebijakan Impor, Mengancam Ketahanan Pangan


Salah satu sebab pemicu tingginya harga beras adalah kebijakan impor oleh negara. Meskipun faktanya kebijakan impor sering dianggap tidak tepat. Akan tetapi jika impor dilarang, maka pasokan beras dalam negeri akan berkurang sehingga akan mendorong kenaikan harga. Namun, jika impor dilakukan harga beras seakan memang terkendali, padahal ini juga berdampak pada kerugian petani lokal. Terjadi persaingan tidak sehat, sebab harga beras impor biasanya lebih murah dibandingkan beras lokal.


Dengan demikian ketergantungan pada impor beras membuat ketahanan pangan nasional terancam. Berdasarkan data BPS, impor beras melonjak sekitar 121,34 persen selama Januari hingga Agustus 2024, mencapai 3,05 juta ton atau senilai 1,91 miliar dolar AS. Angka ini meningkat tajam dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2023, yang hanya sebesar 863,62 juta dolar AS.


Alih-alih untuk mewujudkan kedaulatan pangan, negeri yang kaya dengan lahan yang luas dan subur ini. Justru malah melakukan impor bahan pangan dari luar negeri. Sementara lahan pertanian yang ada justru dialihfungsikan menjadi gedung-gedung perkantoran, perumahan, hingga kawasan wisata. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan ekosistem, terancamnya produksi pangan, dan memburuknya kesejahteraan petani.


Cengkeraman Kapitalisme dalam Sektor Pertanian


Kondisi di atas menunjukkan bahwa cengkeraman kapitalisme sangat kuat di negeri ini. Negara lebih banyak bertindak sebagai regulator yang menguntungkan oligarki kapitalis melalui regulasi undang-undang yang hanya mengatur aspek teknis semata. Tanpa menyentuh dan memperhatikan akar masalah munculnya problem pangan. Akibatnya, lahirnya kebijakan pangan hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan (stok pangan) tanpa memperhatikan kegiatan produksi dan distribusi demi mewujudkan kesejahteraan petani.


Ketahanan dan kedaulatan pangan seharusnya tidak hanya terkait dengan tersedianya stok, tetapi juga memperhatikan bagaimana upaya negara dalam mengelola pangan agar dapat menyejahterakan rakyat. Sayangnya dalam sistem kapitalis sekuler, visi politik pangan terdistorsi oleh kepentingan pemodal besar. Pemerintah bahkan menyerahkan tanggung jawab pengelolaan pangan kepada sektor swasta, yang jelas tidak berpihak pada petani kecil.


Islam sebagai Solusi Kedaulatan Pangan


Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki pandangan yang komprehensif terhadap kedaulatan pangan. Negara dalam sistem Islam berkewajiban memberikan subsidi besar kepada para petani, memastikan mereka dapat memproduksi pangan dengan biaya rendah, serta memperoleh keuntungan yang layak. Kesejahteraan petani sangat terkait dengan akses terhadap lahan pertanian, sarana produksi, dan dukungan teknologi.


Negara Islam juga mendorong pengelolaan lahan secara mandiri dengan mekanisme pengaturan yang jelas. Di antaranya adalah tanah yang tidak dikelola selama tiga tahun akan diambil alih oleh negara dan didistribusikan kepada mereka yang mampu mengolahnya. Ini berdasarkan pada hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi, "Barang siapa yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya.”


Demikian pula dalam kebijakan distribusi, Islam juga memastikan tidak ada rantai distribusi yang panjang dan merugikan produsen pertama. Negara juga akan menjamin mekanisme pasar yang adil dengan melarang praktik penimbunan, penipuan, serta melindungi hak-hak para pedagang kecil. Dalam negara Islam, pangan bukan hanya soal bisnis, tetapi menyangkut kesejahteraan rakyat dan kedaulatan negara.


Menuju Kedaulatan Pangan dengan Islam Kafah


Sistem politik ekonomi Islam memberikan solusi yang mendasar untuk menciptakan kemandirian pangan. Dengan menerapkan kebijakan berbasis syariat, negara akan mewujudkan distribusi pangan yang adil dan merata, serta memastikan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, hanya dengan penerapan syariat Islam secara kafah, maka kesejahteraan pangan yang mandiri dan berdaulat akan dapat terwujud. Wallahualam bissawab. [MGN/MKC]

Benarkah Rakyat Puas terhadap Kinerja Pemerintah?

Benarkah Rakyat Puas terhadap Kinerja Pemerintah?

 


Lembaga survei adalah alat dalam sistem politik demokrasi yang sangat diperlukan

Karena dalam politik demokratis, popularitas dan elektabilitas seseorang sangat berpengaruh dalam pemerintahan

___________________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Akhir-akhir ini, beberapa survei mengindikasikan bahwa pemerintah dinilai telah berkinerja baik dalam mengurus rakyat. Realitanya, hasil tersebut tidak lebih dari sekadar pencitraan belaka karena kondisi sesungguhnya yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Negara sejatinya masih menghadapi banyak persoalan di tengah masyarakat. Namun, pencitraan telah berhasil menutupi dan mengelabui rakyat. 


Apabila kita telusuri, sesungguhnya banyak kebijakan-kebijakan negara yang condong keberpihakannya kepada para oligarki dan bukan pro rakyat, seperti naiknya PPN, pembatasan subsidi BBM, dan lain lain. 


Indikator Survei Kepuasan


Menurut Lembaga Survei Indikator Politik, kurang lebih sekitar 75 persen masyarakat Indonesia puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2024. Hal tersebut terungkap dalam rilis hasil survei nasional mengenai evaluasi publik terhadap 10 tahun pemerintahan Jokowi pada Jumat, 4 Oktober 2024 yang menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat merasa puas dengan kinerja Presiden Jokowi dengan persentase sebanyak 75 persen. (tempo.com, 5-10-2024)


Survei ini melibatkan 3.540 responden di seluruh Indonesia yang dilaksanakan antara 22 hingga 29 September 2024 dengan menggunakan metode multistage random sampling dan pengaturan margin of error survei sekitar 2,3 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Survei Indikator Politik tersebut memaparkan data di empat bidang utama kinerja pemerintahan yakni bidang ekonomi, politik, penegakan hukum, dan perbandingan ekonomi nasional tahun lalu.


Kepuasan Rakyat Patut Dipertanyakan!


Sebelumnya, survei kepuasan publik yang serupa terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo pernah terjadi juga dan sempat ramai diperbincangkan. Kala itu pada bulan November 2022, hasil survei Poltracking memaparkan bahwa 73 persen masyarakat puas dengan kinerja Jokowi-Ma’ruf Amin. Namun, keakuratannya patut dipertanyakan apakah sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan? 

Kondisi tersebut pernah menjadi topik utama dalam acara Kabar Petang: Survei Tingkat Kepuasan Kinerja Jokowi 73 Persen, Wajarkah? di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (27-12-2022).


Fajar Kurniawan selaku Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) menyebutkan bahwa tingginya tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin dipicu oleh beberapa hal, di antaranya adalah kemampuan pemerintah dalam mengendalikan dampak pandemi Covid-19, kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi sehingga inflasi dan seterusnya bisa terjaga, kemudian juga kesuksesan di dalam presidensi G20. Ini patut dipertanyakan karena bertolak belakang dengan realitas di lapangan seperti kondisi deraan berbagai impitan ekonomi, kenaikan BBM, kemudian juga tingginya harga-harga kebutuhan pokok.


Di akhir acara tersebut, Fajar menjelaskan terkait keberadaan lembaga survei. Kedudukannya hanya merupakan upaya untuk membangun opini publik melalui hasil yang mereka tampilkan. Namun, tidak semua hasil survei dipublikasikan bahkan sering kali hanya bagian-bagian yang dianggap menguntungkan bagi mereka yang ditampilkan. Lembaga survei adalah alat dalam sistem politik demokrasi yang sangat diperlukan. Karena dalam politik demokratis, popularitas dan elektabilitas seseorang sangat berpengaruh dalam pemerintahan, sehingga keberadaan instrumen ini menjadi hal yang esensial.


Hasil Survei Hanya Pencitraan!


Sungguh mengejutkan ketika kita melihat kembali bagaimana kondisi Indonesia beberapa waktu lalu yang sangat bertolak belakang dengan hasil survei tersebut. Indonesia berada dalam situasi yang memprihatinkan. Peringatan darurat yang bergema beberapa waktu lalu mencerminkan kenyataan yang dihadapi negara ini. Gelombang peringatan tersebut menunjukkan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dan menandakan bahwa situasi politik saat ini sangat mengkhawatirkan. 


Rasa kecewa masyarakat semakin meningkat, terutama akibat banyaknya kebijakan yang lebih menguntungkan kepentingan oligarki. Praktik politik dinasti yang terus menerus ditunjukkan oleh para politisi juga menyakiti perasaan rakyat. Sementara para elite berbagi kekuasaan, rakyat justru harus menanggung beban ekonomi yang semakin berat. Apakah mungkin kondisi ini menunjukkan rakyat puas terhadap kinerja pemerintahan? Atau ini justru hanya bentuk pencitraan saja?


Kekuasaan Adalah Amanah


Islam telah menjadikan negara sebagai pengurus rakyat dalam berbagai aspek kehidupan. Negara juga memiliki aparat yang handal, profesional, amanah, dan beriman. Aparat seperti ini adalah buah dari penerapan sistem pemerintahan yang berlandaskan akidah Islam. Islam juga melarang pencitraan dan menjunjung tinggi kejujuran, karena dalam Islam segala hal dan tindakan kita kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.. 


Sebagaimana Rasul saw. pernah berdoa,


اللَّهُمَّ مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ


Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia; siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada ia.” (HR Muslim dan Ahmad)


Keimanan dan ketakwaan tentunya harus diwujudkan dalam komitmen untuk menerapkan seluruh syariat Islam secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan, termasuk pemerintahan. Ini adalah praktik yang diterapkan oleh Nabi Muhammad sebagai pemimpin negara Islam di Madinah. Beliau mengelola negara dan rakyatnya hanya dengan syariat Islam, tanpa mengadopsi aturan lain selain yang diturunkan Allah Swt. kepada beliau. Kekuasaan beliau kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelahnya. Sepanjang sejarah kekhalifahan Islam yang berlangsung lebih dari 13 abad, mereka juga hanya mengandalkan syariat Islam dalam mengatur negara dan masyarakat.


Namun, setelah runtuhnya Khilafah Islam terakhir yakni Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924 oleh Barat (Inggris) melalui agen mereka Mustafa Kemal Ataturk, kaum Muslim tidak lagi diatur sepenuhnya oleh syariat Islam, kecuali dalam urusan ibadah dan beberapa aspek muamalah. Sebagian besar aspek kehidupan mereka kini diatur oleh hukum sekuler yang berasal dari penjajah Barat. Inilah yang sedang terjadi saat ini, termasuk di negara tercinta kita.


Oleh karena itu, apa lagi yang harus ditunggu? Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam untuk menggeser sistem sekuler yang justru membawa manusia pada penderitaan. Wallahualam bissawab. [MGN/MKC]



Polemik Sertifikasi Halal di Negeri Mayoritas Muslim

Polemik Sertifikasi Halal di Negeri Mayoritas Muslim




Penyelesaian yang diberikan pun hanya berupa klarifikasi dari lembaga terkait saja

Inilah model sertifikat halal dalam sistem kapitalis

______________________________

 

Penulis Ummu Saibah

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.(Wartabanjar.com, 1-10-2024)


Walaupun kepala pusat registrasi BPJPH, Mamat Salamet Baharudin menegaskan bahwa, pertama persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produk bukan soal kehalalan produk. Artinya produknya halal karena telah melalui proses sertifikasi halal.


Kedua, pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikat halal terhadap produk yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika, karena sudah diatur dalam regulasi yang dikeluarkan oleh BPJPH maupun melalui fatwa MUI.(Kumparannews.com, 3-10-2024)

Fakta di atas menunjukkan bahwa sertifikasi halal saat ini masih menjadi polemik di negeri mayoritas muslim. Kian hari permasalahannya kian banyak tanpa solusi yang jelas. Polemik ini meresahkan karena menimbulkan keraguan bagi umat muslim saat hendak mengonsumsi makanan dan minuman.

Sertifikasi Halal ala Kapitalisme


Ramai perbincangan soal sertifikasi halal pada produk-produk dengan nama produk yang menunjukkan sebutan sesuatu yang tidak halal. Seperti tuyul, beer, tuak, wine dan lain-lain. Fakta bahwa produk-produk tersebut beredar di pasaran sontak memicu keraguan masyarakat atas penerbitan sertifikasi halal oleh lembaga pemerintah.

Mirisnya, permasalahan tersebut dianggap sepele karena zatnya halal. Penyelesaian yang diberikan pun hanya berupa klarifikasi dari lembaga terkait saja. Inilah model sertifikat halal dalam sistem kapitalisme, nama tidak menjadi masalah sama dengan barang terkategori haram asal zatnya halal. 

Padahal yang demikian berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membingungkan umat, bahkan berpotensi memberi kesempatan kepada produsen 'nakal' berbuat curang dengan meng-kamuflase produk tertentu dan menjerumuskan umat muslim kepada pelanggaran syariat Islam.

Halal haram adalah persoalan yang prinsipil bagi umat Islam, karena berkaitan dengan akidah. Jadi, sertifikasi halal terutama pada makanan dan minuman menjadi hal yang sangat penting. Namun sayangnya tidak demikian di dalam negara yang menerapkan sistem kapitalis. Sesuai dengan prinsip sistem kapitalis yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Maka wajar bila regulasi yang dikeluarkan tidak bersesuaian dengan syariat Islam atau ditemui banyak penyimpangan.

Misalnya di dalam Islam, miras haram untuk dikonsumsi. Namun oleh negara yang menerapkan sistem kapitalis, miras dianggap legal dengan syarat-syarat tertentu. Contoh lainnya penerbitan label halal yang sembarangan seperti kasus tuak, beer, dan wine. Selain itu adanya program self declair sertifikasi halal yang digadang mempermudah produsen, juga berpotensi menimbulkan permasalahan baru.

Negara yang menerapkan sistem kapitalis juga terkesan menjadikan rakyat sebagai objek bisnis. Hal ini terbukti dengan adanya biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal dan adanya batas waktu sertifikasi halal.

Hal ini jelas menyusahkan para pengusaha apalagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Mereka harus mengeluarkan biaya berkala untuk memperbarui sertifikasi halal yang telah kadaluarsa. Padahal sertifikat halal seharusnya dilakukan berkala oleh negara sebagai bentuk pelayanan cuma-cuma melihat pentingnya sertifikat halal bagi umat muslim.

Sertifikat Halal Tanggung jawab Negara


Islam memiliki aturan yang jelas mengenai status suatu benda atau zat apakah boleh dikonsumsi (halal) atau tidak (haram). Alhasil, mengetahui kehalalan suatu benda sebelum dikonsumsi adalah wajib bagi setiap muslim, karena hal ini merupakan salah satu bentuk ketaatan terhadap Rabb-nya. Inilah yang menjadikan sertifikat halal menjadi sebuah kebutuhan yang harus dijamin oleh negara, apalagi dalam negara yang masyarakatnya majemuk dan tidak menerapkan syariat Islam.

Keunggulan negara yang menerapkan sistem Islam adalah negara secara otomatis menjamin kehalalan suatu benda yang dikonsumsi oleh rakyatnya. Hal ini karena di dalam sistem Islam, negara juga berfungsi sebagai pelindung akidah rakyat, dalam arti negara akan menjaga rakyatnya agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan.

Oleh karena itu, negara Islam menjadikan sertifikat halal sebagai salah satu bentuk layanan yang diberikan oleh negara dengan biaya murah bahkan gratis. Jadi tidak membebani produsen dan UMKM. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat banyaknya sumber pendapatan negara.

Negara akan menugaskan para kadi hisbah, yaitu hakim yang bertugas untuk melakukan pengawasan secara rutin ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para kadi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan suatu produk, juga untuk memastikan tidak adanya kecurangan dan kamuflase yang membahayakan rakyat.

Begitulah sistem Islam menjadikan negara sebagai pengurus urusan rakyat sekaligus melindungi akidah umat melalui penerapan syariat Islam secara kafah dalam setiap lini kehidupan. Tetapi hal ini tidak akan terwujud bila kita sebagai umat Islam tidak memperjuangkan terlaksananya penerapan syariat Islam secara kafah. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]

Bebas, Bebaskan Palestina

Bebas, Bebaskan Palestina

 



Bebaskan dengan mengirimkan tentara terbaik dengan panglima terbaik

Amankan dengan menghadirkan pertolongan baik fisik ataupun psikis

______________________________


Penulis Hanif Kristianto

Kontributor Media Kuntum


KUNTUMCAHAYA.com, PUISI - Eskalasi kian meninggi di dunia yang telah menanti

Sahabat kecil yang terzalimi masih bertahan diri demi menjaga negeri

Tanah harapan yang telah diguyur dengan pembebasan

Palestina menunggu pasukan yang siap dalam misi pembebasan


Dialog internasional masih bertemu di meja buntu
Di antara dualisme antara membela mendoro merdeka atau solusi dua negara
Tiada arti dalam setiap sesi diskusi yang penuh intrik-intrik basi
Palestina tetaplah setiap meyambut kehadiran pasukan pembebasan

Bebas, bebaskan Palestina
Operasi nyata dalam manuver menyelamatkan nyawa dan jiwa-jiwa yang tertawan
Merebut kembali tanah rampasan dari penjajah yang ingusan
Berani bukan karena benar tapi ditopang negara sekutu berpengalaman

Bebas, bebaskan Palestina
Bumi warisan nabi dengan anak keturunan yang masih menghuni
Tiadakah yang menyaksikan seputih salju dalam setiap peristiwa yang berlalu
Sambil menyaksikan kengerian yang tercipta dalam kiamat kecil di sana

Bebas, bebaskan Palestina
Saatnya menentukan posisi bukan hanya di kanan atau kiri
Bukan oposisi yang membelakangi tanpa beraksi
Bukan koalisi yang menimpali dengan aksi-aksi tak berempati

Bebas, bebaskan Palestina
Dalam deru seruan paling bermutu di dunia
Bebaskan dengan mengirimkan tentara terbaik dengan panglima terbaik
Amankan dengan menghadirkan pertolongan baik fisik ataupun psikis

Bebas, bebaskan Palestina
Ungkapan tegas tanpa basa-basi cuma demo kekuatan dalam negeri yang disaksikan dari televisi
Cara cerdas tanpa batas cuma bicara di forum yang dikuasai musuh
Cekatan dalam menolong tanpa lagi banyak omong

Bebas, bebaskan Palestina
Now or Tomorrow
Tiada kata seindah personifikasi aksi-aksi
Tiada rima yang berirama seindah sajak perjuangan di medan laga

Palestina jangan sampai sendiri terhina
Puluhan ribu telah menemui Allah satu persatu
Nyawa itu hanya satu bukanlah seribu
Tak pantas dicabut manusia dengan cara biadab di depan dunia

Palestina menjadi alarm akan kekuatan umat Islam dunia
Pasukan terbaik lahir dari ideologi Islam yang baik
Pasukan yang siap dalam mempersembahkan jiwa dan nyawa kepada Allah Sang Penggenggam jiwa
Memanggil kembali syuhada dalam persiapan jihad akbar fi sabilillah [Dara/MKC]

Sekolah Beratap Langit, Ironi Pendidikan di Kota Bandung

Sekolah Beratap Langit, Ironi Pendidikan di Kota Bandung



 

Tidak semestinya pemerintah membiarkan anak-anak belajar di luar kelas

beratap langit, lesehan beralaskan terpal plastik

______________________________

 

Penulis Tinah Asri

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sedih melihat nasib siswa-siswi SMPN 60 Kota Bandung. Pasalnya, sejak berdiri tahun 2018 lalu sampai hari ini sekolah tersebut belum juga memiliki gedung sekolah sendiri.

Untuk kegiatan belajar mengajar terpaksa menumpang ke SDN 192 Ciburuy. Celakanya, sekolah dasar Ciburuy hanya memiliki 7 ruang kelas, sementara SMPN 60 ada 9 rombongan belajar (rombel). Sebagian siswa terpaksa bergantian belajar di luar kelas, kadang di bawah pohon rindang atau di selasar kelas.

Menanggapi hal tersebut Plt Kadisdik Kota Bandung,Tantan Syurya Santana mengatakan, SMPN 60 merupakan sekolah rintisan yang didirikan atas inisiatif Pemkot Bandung. Tujuan pendiriannya untuk menutupi kekurangan sekolah tingkat pertama di beberapa wilayah kecamatan Kota Bandung. Ada sekitar 18 sekolah rintisan yang akan dibangun, 10 di antaranya sudah punya gedung sekolah sendiri. Sedangkan untuk SMPN 60 Bandung rencana pembangunannya akan dimulai tahun 2025 nanti.

"SMPN 60 sudah direncanakan 2025 untuk pembangunan gedung barunya. Lahannya sedang kita cari dan kemarin Alhamdulillah sudah ada lahan milik pemerintah Kota Bandung." Kata Tantan kepada media.(KumparanNews, 02-10-2024)

Pemerintah Tidak Serius Memberikan Layanan Pendidikan


Meski begitu, tidak semestinya pemerintah membiarkan anak-anak belajar di luar kelas, beratap langit, lesehan beralaskan terpal plastik. Tidak terbayang saat turun hujan. Sayangnya ini fakta yang ada di depan mata, bahkan tidak menutup kemungkinan masih banyak sekolah yang memiliki nasib serupa. 

Hal ini menggambarkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengurusi urusan rakyat, khususnya dalam sektor pendidikan. Kurang matangnya perhitungan pemerintah Kota Bandung dalam menetapkan kebijakan. Meski ada keridaan dari orang tua siswa, tidak seharusnya pemerintah membiarkan anak-anak belajar dengan fasilitas seadanya.  

Lagi-lagi, ini terjadi akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis di negeri ini. Kapitalisme adalah sistem kufur yang menganggap segala sesuatu bernilai, jika ada keuntungan materi yang diperoleh, termasuk dalam hal pendidikan.

Negara kapitalis memandang bahwa sektor pendidikan merupakan ladang bisnis yang menggiurkan, sehingga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para pemilik modal untuk ikut berperan dalam usaha memajukan dunia pendidikan. Maka wajar jika pendirian gedung-gedung sekolah gratis bagi rakyat bukanlah prioritas utama pemerintah.

Pendidikan dalam Pandangan Islam


Berbeda halnya jika negara yang menerapkan sistem Islam secara kafah. Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar individu masyarakat. Melalui pendidikan, kemajuan peradaban dan keberlangsungan suatu bangsa sangat ditentukan.

Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan pelayanan pendidikan. Mulai dari penyediaan gedung sekolah, guru, buku-buku, karyawan sekolah, laboratorium, perpustakaan, jaringan internet, hingga asrama jika dibutuhkan.

Dalam pandangan Islam, kedudukan seorang khalifah adalah pemimpin bagi umatnya. Dia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya, termasuk dalam pelaksanaan pelayanan pendidikan bagi masyarakat.

Inilah konsekuensi keimanan, sebagai pemimpin menyadari betul bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadis, diriwayatkan oleh Imam Ahamad, Al- Bukhari dan juga Muslim. Rasulullah bersabda: " ...Maka pemimpin adalah penggembala, dan dialah yang harus bertanggung jawab terhadap gembalaannya."

Penyediaan sarana pendidikan gratis ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat  menjadi kepala negara di Madinah. Beliau menjadikan masjid-masjid sebagai pusat pendidikan, mendirikan ruangan-ruangan kecil (kuttaab) tempat belajar bagi anak-anak membaca dan menulis. Tak hanya itu, Rasulullah saw. juga menjadikan sisi utara Masjid Nabawi (Shuffah) sebagai tempat bagi fakir miskin dari kalangan Muhajirin, Anshar, dan para pendatang asing yang ingin belajar dan menghafal Al-Qur'an.

Ibnu Saad menuturkan sebuah riwayat dari 'Amir. Ia mengatakan: "Tebusan bagi tawanan perang badar adalah empat puluh (uqiyah), setara dengan 1.190 gram perak. Dan bagi siapa yang tidak memiliki, maka ia diharuskan mengajarkan sepuluh orang muslim cara menulis. Zaid bin Tsabit adalah satu dari mereka yang diajar."

Tindakan Rasulullah, yakni menyediakan sekolah gratis juga diteruskan oleh para khalifah sesudah beliau. Contoh pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah, fungsi masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga menjadi pusat pendidikan. Salah satunya adalah Masjid Agung Khairoun, Tunisia, yang didirikan pada tahun 53 H atau 993 M oleh panglima penakluk Uqbah bin Nafi. Di dalam masjid terdapat dua sayap yang diperuntukkan bagi wanita dan pria.

Fakta sejarah di atas memberikan gambaran jelas kepada kita, betapa Islam adalah sistem yang sahih, yang memberikan jaminan pendidikan gratis kepada umatnya. Dari sinilah lahir para ulama dan kaum intelektual dunia. Mereka bukan hanya ahli alam bidang tsaqafah Islam, namun juga mahir dalam ilmu pengetahuan yang lain seperti ilmu kedokteran, kimia, astronomi, dan lain-lain.

Namun sayang, semua itu hanya bisa diwujudkan jika negara menerapkan sistem Islam secara kafah. Oleh karena itu sebagai umat muslim, kita harus tetap semangat berjuang demi tegaknya syariat Islam dalam naungan Daulah Islam. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]

Tes

Tes