Kritik atau muhasabah adalah kewajiban bagi setiap muslim
yang terwujud dalam amar makruf nahi mungkar
______________________________
Penulis Siska Juliana
Tim Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Setiap individu mempunyai hak untuk menyampaikan pendapat. Setidaknya ini yang kita pelajari dan pahami. Namun, saat ini sepertinya aturan itu sudah tidak dipakai meskipun aturan tertulis tetaplah sama. Banyak peristiwa persekusi yang terjadi ketika individu atau sekelompok orang menyampaikan pendapatnya.
Berbagai cara dilakukan untuk membungkam pendapat atau kritik seseorang. Misalnya, dengan intimidasi, kriminalisasi, bahkan ancaman teror. Teror ini baru saja terjadi terhadap media Tempo. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa upaya yang dilakukan untuk menjaga kebebasan pers?
Aksi Teror ke Media
Dalam kurun waktu sepekan, redaksi Tempo mengalami dua aksi teror. Teror pertama terjadi pada Rabu (19-3) melalui paket berisi kepala babi tanpa telinga yang ditujukan kepada wartawan politik Fransisca Christy Rosana. Peristiwa tersebut dilaporkan oleh Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra ke Bareskrim Polri pada Jumat (21-3).
Alih-alih berhenti, teror justru datang kembali keesokan harinya lewat paket berisikan enam bangkai tikus dengan kepala yang terpenggal. Bedanya, dalam aksi teror ini tidak ada sosok spesifik yang ditujukan sebagai penerima paket. Dari hasil pemeriksaan, Tempo menyebut bahwa paket yang berisi bangkai tikus itu dilempar oleh orang yang tidak dikenal dari luar pagar sekitar pukul 02.11 WIB.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berjanji akan menindaklanjuti kasus tersebut dan menjaga keamanan di masyarakat. Penyidik Bareskrim Polri telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan pemeriksaan CCTV di Gedung Tempo pada Minggu (23-3). (cnnindonesia.com, 24-03-2025)
Usut Tuntas Aksi Teror
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai pemerintah harus mengusut tuntas dan menemukan pelaku teror tersebut. Hal itu sebagai jaminan kebebasan pers dan berpendapat di Indonesia. Kasus teror kepala babi dan bangkai tikus telah melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terkait menghalangi kerja jurnalistik atau Pasal 335 KUHP.
Azmi mengatakan aksi teror tersebut bukan hanya permasalahan bagi Tempo, tetapi juga bagi seluruh media yang ada di Indonesia. Pers merupakan bagian krusial yang menjembatani kepentingan masyarakat, termasuk mengkritisi kebijakan yang tidak tepat serta bagian dari kontrol sosial.
Respons dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi sangat disayangkan. Ucapannya dinilai mengentengkan aksi teror terhadap Tempo dengan meminta agar kepala babi dimasak saja. Ini seakan-akan menunjukkan jika teror terhadap media atau pers bukanlah masalah yang besar dan tidak dilarang.
Berulang Kali
Sementara itu, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Erick Tanjung mengatakan bahwa aksi teror yang terjadi sangat sistematis. KKJ menilai situasi keamanan dan keselamatan jurnalis di Indonesia saat ini telah masuk tahap darurat. Negara wajib hadir sebab ini sangat berbahaya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa tahun 2025 terdapat 22 kasus teror dan kekerasan jurnalis. Hal ini menandakan pelaku tidak merasa takut sebab mengetahui adanya impunitas dalam hukum di Indonesia.
Teror simbolik seperti kiriman bangkai hanyalah wajah baru dari represi lama. Indonesia memiliki catatan kelam tentang kekerasan terhadap media. Pada tahun 1994, Tempo, Editor, dan Tabloid Detik diberedel karena dianggap "mengganggu stabilitas". Selain itu, tahun 1996 wartawan Udin tewas setelah menginvestigasi korupsi pejabat daerah dan kantor AJI diserbu.
Simbol Teror
Dalam dunia kriminal, pengiriman bagian tubuh hewan mati bukanlah hal baru. Kepala babi, bangkai tikus, darah, dan sebagainya merupakan bahasa teror, pesan nonverbal yang dapat menghantam psikologis. Misalnya, kepala babi merupakan simbol penghinaan ekstrem dan dianggap najis. Pesannya kotor, rendah, dan tidak dihormati.
Lain halnya dengan bangkai tikus yang merupakan simbol pengkhianat. Tikus sering dianggap sebagai pengganggu yang harus disingkirkan, sedangkan kepala yang terputus adalah peringatan keras yang bisa berujung pada kematian. Kiriman bangkai hewan dirancang untuk menanamkan rasa takut akan kehilangan nyawa.
Media yang independen dan kritis sering dianggap ancaman bagi pihak yang berkuasa, baik itu elite politik, mafia ekonomi, maupun aktor kriminal. Saat media tidak bisa dibungkam, cara yang digunakan dengan teror, ancaman, dan kekerasan.
Hal ini biasanya terjadi jika media membongkar korupsi, kejahatan, atau penyalahgunaan kekuasaan, menolak tunduk pada tekanan eksternal, memperoleh dan merilis informasi sensitif, berjuang untuk menyampaikan kebenaran meskipun penuh risiko.
Tatanan Kapitalisme
Kapitalisme dengan fondasi sekuler telah memisahkan peran Tuhan dalam kehidupan, peradaban dibangun dari pemikiran manusia yang terbatas. Alhasil, liberalisme muncul sebagai konsekuensi dari paham sekuler ini. Manusia dibiarkan bebas beragama, berpendapat, berperilaku, dan kepemilikan. Paham ini tampak memanjakan manusia, tetapi faktanya kapitalisme justru menghancurkan manusia dan kehidupan.
Kebebasan yang ditawarkan mengantarkan manusia berpeluang untuk tidak mengenal Penciptanya sehingga tidak memahami cara menjalani kehidupan sesuai kehendak-Nya, serta menjadikan bebas dalam berpikir dan bertindak.
Watak sebuah ideologi niscaya ingin menyebarkan idenya ke seluruh penjuru dunia. Begitu pula dengan kapitalisme. Cara yang paling efektif untuk “menjajahkan” ideologinya dengan menggunakan media. Media digunakan sebagai alat transfer nilai dan budaya untuk mengikis jati diri umat juga alat untuk menyerang musuh politik.
Kebebasan berpendapat menjadi salah satu jargon yang digaungkan oleh demokrasi. Akan tetapi, faktanya kritik rakyat terhadap penguasa tidak jarang dijawab dengan ancaman, intervensi, dan intimidasi. Kebebasan berpendapat yang katanya dijamin oleh UUD 1945 akhirnya terancam. Nyatanya, kebebasan berpendapat hanya berlaku untuk segelintir orang dan ilusi dalam demokrasi
Kritik Menurut Islam
Pemerintahan dalam Islam tidak antikritik. Kritik merupakan tanda bahwa rakyat peduli pada negara. Penguasa diberi amanah untuk menjalankan roda pemerintahan, semestinya berbesar hati menerima kritik dari rakyat. Jika penguasa berbuat salah, ada hak rakyat mengkritik dan meluruskannya.
Islam mengajarkan aktivitas muhasabah (mengoreksi kesalahan) sesama muslim. Kritik atau muhasabah adalah kewajiban bagi setiap muslim yang terwujud dalam amar makruf nahi mungkar. Aktivitas ini menjadikan umat Islam mendapat gelar umat terbaik.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
"Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Pemimpin yang tidak antikritik telah terbukti dalam peradaban Islam. Khalifah Umar bin Khattab r.a. menerima kritik langsung dari seorang perempuan karena kebijakannya terkait pembatasan mahar bagi perempuan.
Rakyat juga bebas menyampaikan pendapat atau keluhannya kepada Majelis Umat, yaitu bagian dari struktur Khilafah yang mewadahi aspirasi rakyat serta tempat khalifah meminta nasihat dalam berbagai urusan.
Khatimah
Khilafah sangat terbuka terhadap kritik dan aduan rakyatnya. Dengan adanya kritik, penguasa dapat selamat dari sikap zalim dan mungkar. Dengan muhasabah, penguasa akan mawas diri karena menyadari setiap kebijakannya pasti berdampak pada rakyat. Penguasa juga memahami beban amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat kelak. Wallahualam bissawab. []