Populisme adalah gaya wacana yang seolah menonjolkan
prinsip kekuasaan yang sah berada di tangan rakyat, bukan kaum elite
________________________________
Penulis Yuli Ummu Raihan
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah Tangerang
KUNTUMCAHAYA.com,OPINI - Pada Sabtu 2 November 2024 lalu diadakan deklarasi organisasi baru bernama Gerakan Solidaritas Nasional (GSN) yang dihadiri oleh 16 ribu orang.
Bertempat di Indonesia Arena, Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta. Deklarasi organisasi yang diklaim sebagai organisasi nonpolitik yang dibentuk sebagai kelanjutan atau transformasi dari Tim Koalisi Nasional (TKN) pendukung pasangan Prabowo-Gibran pada pilpres lalu.
GSN disebut juga paguyuban yang terdiri dari semua suku, ras, agama, daerah yang bersatu untuk menuju Indonesia Emas. Pada akhir acara deklarasi ini, semua peserta mengucapkan delapan poin ikrar bersama yang salah satu isinya adalah kesiapan mereka mendukung pemerintah dalam melaksanakan pembangunan secara objektif, konstruktif, kritis, dan produktif dalam memberikan solusi.
Deklarasi ini mendapat berbagai respons dari berbagai kalangan. Respons positif meyakini bahwa GSN ini bisa menjadi jembatan yang efektif antara pemerintah dan rakyat, termasuk sebagai cara baru untuk menyalurkan aspirasi rakyat.
Hal ini karena di dalam organisasi tersebut terdapat banyak pemangku kepentingan sehingga bisa mendukung dan mengawal pelaksanaan kebijakan strategis pemerintah. Harapan untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera, mandiri, maju, dan berkesinambungan diklaim akan segera terealisasi.
Sementara pihak yang kontra menilai pembentukan GSN ini akan memunculkan konflik kepentingan. Pembentukan GSN merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menciptakan benteng, sekaligus membangun situasi politik yang menutup pintu kritik. Pemerintah diduga sedang menjalankan politics distraction (gangguan politik) demi mendapatkan legitimasi politik di dalam negeri dengan kebijakan yang populis.
Hal ini terlihat dari gaya kepemimpinan Presiden Prabowo yang berusaha merangkul semua pihak melalui kabinet gemuknya. Sekilas terlihat wajah dan adil, karena menyerap semua kepentingan parpol pendukung, yang diklaim representasi dari rakyat.
Padahal ini adalah manuver baru yaitu politik populis otoritarian. Akibatnya nanti setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dianggap benar-benar keinginan rakyat dan siapa pun yang menentang akan dianggap menentang keinginan rakyat.
Pemimpin Baru Rasa Lama
Presiden Jokowi di masa pemerintahannya telah melakukan gaya kepemimpinan seperti ini. Artinya rezim saat ini hanyalah perpanjangan tangan dari rezim sebelumnya.
Tujuan utamanya adalah kepentingan oligarki untuk menjaga keberlangsungan proyek-proyek besar mereka. Oligarki yang memberikan modal kepada para penguasa dalam kontestasi menuju kursi kekuasaan.
GSN hari ini mengingatkan kita akan Projo pada masa Jokowi. Projo akhirnya mendapatkan status resmi dari Kementerian Hukum dan HAM sebagai ormas.
Ormas ini menjadi pelindung kebijakan-kebijakan Jokowi yang sangat populis, tapi otoriter dan pro kapitalis. Mereka menjadi garda terdepan mendukung penguasa dan melakukan countering atas opini negatif terkait pemerintahan Jokowi.
Pola Kepemimpinan Populis Otoriter yang Ada di Indonesia
Direktur Indonesia Justice Motinoring, Agung Wisnuwardana menyebut pola kepemimpinan populis otoriter di Indonesia adalah pemimpin yang populis di tengah masyarakat, tetapi otoriter kepada kelompok-kelompok kritis.
Kepentingannya adalah untuk melayani para kapitalis, pemilik modal, investor asing, dan oligarki, sekelompok kecil yang punya material power yang mengendalikan hukum ekonomi. (YouTube OneUmmah TV, 7-7-2024)
Beliau membeberkan beberapa poin kepemimpinan politik populis otoriter yaitu:
Pertama, rezim melakukan politik "gentong babi" (pork barrel politic) kepada rakyat. Cara kerjanya adalah berpenampilan sederhana, ndeso, dekat dengan rakyat melalui blusukan atau melalui bansos. Termasuk membangun berbagai infrastruktur dengan utang luar negri.
Kedua, memanfaatkan buzzer influencer "plat merah" untuk memanipulasi opini publik. Akhirnya muncul klientelisme yaitu penguasa mendapatkan apresiasi dari rakyat sehingga tingkat kepuasan publik tinggi sekali.
Ketiga, membagi-bagi jatah menteri atau jabatan strategis kepada pihak tertentu yang sudah berkontribusi untuk mendukung rezim, baik dari parpol maupun nonparpol. Dengan cara ini akan terjadi kontrol penuh, alat sandera politik, dan bisa menjadi kartu truf bagi partai-partai politik. Seperti yang terjadi saat ini di mana hak angket tidak jalan, beberapa menteri dari beberapa partai terciduk KPK, hampir semua partai kena kartu truf.
Keempat, tindakan represif kepada kelompok-kelompok kritis melalui UU ITE dan UU Ormas. Salah satunya pencabutan badan hukum perkumpulannya.
Kepemimpinan populis otoriter ini berjalan di bawah kontrol oligarki. Mirisnya rakyat tidak menyadari hal ini, justru bertepuk tangan dan senang hanya karena telah diberi bansos. Inilah yang disebut korpotokrasi yaitu gabungan antara korporasi dan birokrasi. Hal ini lahir dari sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam bidang ekonomi melahirkan kapitalisme yang mana demokrasi butuh dana besar, para kapitalis butuh UU untuk melegalkan kepentingannya.
Bahkan Ketum PDI-P Megawati Soekarno Putri menyebut telah terjadi anomali demokrasi yang melahirkan kepemimpinan otoriter populis. Megawati mengatakan hukum dijadikan pembenar atas tindakan pemerintah yang seolah sesuai dengan demokrasi padahal hanya prosedural. (Kompas.com, 24-5-2024)
Pemerintahan Prabowo-Gibran menggagas program Quick Win yang ditujukan untuk menunjukkan komitmen pemerintahan baru dalam mewujudkan janji kampanye dan memberikan dampak langsung kepada masyarakat.
Program Quick Win atau Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) 2025 akan dianggarkan sebanyak Rp121 triliun yang naik dari anggaran sebelumnya yaitu Rp113 triliun. (Tempo.co, 13-10-2024)
Tampaknya pemerintahan Prabowo-Gibran akan tetap mempertahankan pendekatan sekuler dalam kebijakan-kebijakannya. Fokus pada pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur yang menonjolkan peran pemerintah sebagai penggerak utama, sementara nilai-nilai religius atau pandangan moral tertentu dikesampingkan.
Aspek populis sangat terlihat dari program kerja pemerintahan Prabowo-Gibran yaitu yang menyasar kebutuhan langsung masyarakat yaitu bansos, subsidi bahan pokok, termasuk progam makan siang bergizi gratis yang selalu digembar-gemborkan.
Kebijakan populis semacam ini hanya langkah praktis untuk menarik dukungan rakyat padahal tidak menyelesaikan akar masalah. Makan bergizi gratis dipandang sebagai solusi masalah stunting, padahal untuk menyelamatkan stunting tidak cukup hanya dengan makan bergizi gratis sekali sehari. Tampaknya rezim lebih fokus mendongkrak popularitas dibandingkan membangun fondasi yang kuat untuk kebijakan jangka panjang.
Sementara kepemimpinan yang otoriter terlihat dari upaya konsolidasi kekuasaan dan upaya mengontrol berbagai aspek pemerintahan. Melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga independen dan media.
Gaya politik populis otoriter ini juga diadopsi oleh dunia internasional. Pippa Norris dan Ronald Inglehart dalam tulisan yang berjudul Cultural Backlash yang diterbitkan Cambridge University 2019 menyebut gaya politik populis otoriter ini telah mengganggu politik di banyak masyarakat. Misalnya apa yang dilakukan oleh Donald Trump di AS dan Brexit di Inggris. Hal ini disebut sebagai ancaman terhadap sistem demokrasi liberal, khususnya di dunia Barat.
Populisme adalah gaya wacana yang seolah menonjolkan prinsip kekuasaan yang sah berada di tangan rakyat, bukan kaum elite. Padahal sejatinya kebijakan itu justru demi kepentingan elite.
Agar kepemimpinan ini tidak mendapatkan gangguan, agar muncul kepatuhan terhadap norma yang sedang ditegakkan dan mendapatkan kesetiaan. Diterapkanlah nilai-nilai otoriter dengan berbagai bentuk dan jenisnya, salah satunya dengan membangun citra positif, penutup celah perbedaan, dan merangkul semua pihak.
Dengan mekanisme ini penguasa dengan mudah mengeklaim bekerja untuk rakyat. Tidak akan ada lagi pengawasan dan kritik terhadap penguasa. Kebebasan sipil akan hilang sedikit demi sedikit.
Garis antara kepentingan pribadi atau kelompok dan politik akan semakin terbuka lebar. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin akan semakin lebar dan dalam. Penguasaan terhadap aset publik oleh pemodal akan dilegalkan tanpa ada yang protes. Imbasnya rakyat akan semakin jauh dari kata sejahtera.
Pemimpin populis ini seolah bertentangan dengan demokrasi bahkan membawa kemunduran dan resesi demokrasi. Demokrasi sangat mengagungkan kebebasan dan berdiri atas dasar sekularisme. Agama dalam sistem demokrasi hanya dipakai dalam sebagian aspek kehidupan. Bahkan demokrasi sangat menjunjung tinggi prinsip pluralisme dan relativisme kebenaran.
Prinsip inilah yang mengakibatkan munculnya "adu kuat" kepentingan modal dan pemburu kekuasaan. Demi melanggengkan dinasti kekuasaan semua hal dilakukan. Bahkan di negeri-negeri muslim atas nama demokrasi idiom-idiom agama kerap digunakan untuk membangun citra diri atau menjatuhkan lawan.
Inilah wajah asli demokrasi yang sayangnya hari ini masih banyak orang yang tidak menyadarinya. Mereka masih menganggap demokrasi adalah sistem terbaik. Ketika terjadi masalah, atau buruknya penerapan dianggap kesalahan oknum saja. Alhasil memunculkan opini yang harus diganti adalah orangnya, bukan sistem demokrasinya.
Ketika ditawarkan untuk mengganti sistem demokrasi dengan sistem Islam banyak yang menolak karena alasan sistem Islam adalah sistem yang sangat otoritarian. Bahkan sistem Islam dianggap sistem yang berbahaya yang akan menghancurkan semua sendi kehidupan.
Padahal sejarah telah membuktikan bagaimana penerapan sistem Islam yang sempurna telah membawa banyak perubahan. Sistem Islam yang hukum-hukumnya bersumber dari Sang Maha Pencipta dan Pengatur telah terbukti memberikan solusi bagi semua persoalan umat.
Selama belasan abad umat Islam hidup sangat ideal. Keamanan, kesejahteraan, keadilan, dan ketinggian moral dan peradaban dirasakan semua orang. Kalau pun pernah ada penyimpangan dan buruknya penerapan Islam, itu dipastikan bukan karena buruknya sistem Islam melainkan buruknya orang yang memegang kekuasaan.
Politik Pemerintahan Islam
Dalam Islam, khalifah atau pemimpin dipilih oleh perwakilan umat dengan baiat untuk melaksanakan semua hukum Islam. Bukan dengan kontrak sosial melaksanakan kehendak rakyat.
Sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan yang diwajibkan oleh Allah Swt. Pencipta alam semesta. Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 48:
"Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara kalian mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu."
Dalil ini merupakan seruan untuk mewujudkan seorang hakim (penguasa) untuk memutuskan perkara sesuai aturan Allah. Pelaksanaan hukum-hukum Allah ini hukumnya wajib, sementara kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa (hakim).
Maka kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Artinya mewujudkan penguasa yang menegakkan hukum syariat hukumnya wajib. Penguasa dalam hal ini adalah khalifah dan sistem pemerintahan Islam bernama Khilafah.
Hal ini diperkuat dengan sabda Rasulullah saw., "Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah." (HR. Muslim)
"Sesungguhnya Imam atau Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Muslim)
Sementara para sahabat bersepakat keharusan mengangkat khalifah sebagai pengganti Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Bahkan para sahabat menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. dan menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah.
Dengan demikian, sistem pemerintahan Islam berbeda dengan sistem pemerintahan mana pun di dunia ini. Bukan sistem kerajaan, kekaisaran, federasi, dan republik.
Pemerintahan Islam juga tidak dengan model kabinet yang mana setiap departemen memiliki kekuasaan dan wewenang, anggaran yang terpisah satu sama lain.
Sistem pemerintahan Islam bersifat sentralisasi. Struktur pemerintahannya terdiri dari khalifah, mu'awin tafwidh, mu'awin tanfidz, wali, amirul jihad, keamanan dalam negeri, urusan luar negeri, perindustrian, qadhi, kemaslahatan umat, baitulmal, penerangan, dan majelis umat.
Sistem pemerintahan Islam bersumber dari wahyu yang menjadi tolok ukur perbuatannya, hal ini akan menjadi pencegah munculnya penyimpangan sebagai sumber kerusakan, kezaliman dan ketidakadilan. Kepemimpinan dikawal secara ketat oleh rakyat melalui mekanisme amar makruf nahi mungkar yang salurannya terbuka lebar, tidak berbelit seperti saat ini.
Sistem pemerintahan Islam juga populis bahkan kisahnya masih masyhur hingga hari ini. Bagaimana Umar memanggul sekarung gandum karena mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan. Semua dilakukan bukan mencari popularitas, tapi karena menyadari besarnya pertanggungjawaban kekuasaan di hadapan Allah Swt..
Umar pun hidup sederhana dan menahan diri untuk tidak makan makanan mewah di saat rakyatnya mengalami kesulitan. Rasulullah saw. pun hidup sederhana, tanpa fasilitas mewah bahkan saking sederhana bekas tempat tidur beliau yang keras meninggalkan bekas di punggungnya. Semua itu bukan pencitraan agar mendapatkan simpati rakyat, melainkan memang karena kesadaran akan tanggung jawab sebagai seorang pemimpin.
Rasulullah saw. dan para sahabat dan para khalifah setelahnya tidak pernah melakukan tindakan otoriter kepada rakyat. Menerima kritikan selama itu untuk kebaikan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Layakkah sistem demokrasi ini kita pertahankan? Atau memilih berjuang menegakkan kembali sistem Islam yang terbukti mampu mewujudkan keadilan?
Wallahualam bissawab. [EA/MKC]