Featured Post

Recommended

Heboh Kunjungan Perdana Menteri Prancis ke Indonesia, Untuk Apa?

Sikap loyalnya pemerintah Indonesia terhadap negara penjajah menandakan bahwa negara ini tidak memiliki kekuasaan super power ______________...

Alt Title
Heboh Kunjungan Perdana Menteri Prancis ke Indonesia, Untuk Apa?

Heboh Kunjungan Perdana Menteri Prancis ke Indonesia, Untuk Apa?



Sikap loyalnya pemerintah Indonesia terhadap negara penjajah

menandakan bahwa negara ini tidak memiliki kekuasaan super power

____________________


Penulis Anastasia, S.Pd.

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Riuh penyambutan perdana menteri Prancis ke Indonesia, memang terlihat ironi. Seperti yang kita ketahui, Prancis merupakan negara sekuler yang sangat membenci Islam. Kita memahami, kebijakan pemerintah Prancis, senantiasa konsisten menentang hak-hak umat Islam, seperti pelarangan hijab, dan sikap diskriminatif yang dilakukan terhadap umat Islam. 


Pelecehan terhadap Islam, makin terlihat ketika pemerintah Prancis melindungi orang-orang yang membuat karikatur Nabi Muhammad saw.. Lantas, mengapa pemerintah kita begitu gembira menyambut pemimpin yang jelas-jelas memusuhi Islam. 


Kunjungan Penuh Kepentingan 


Indonesia merupakan negara muslim yang kaya sumber daya alam. Tentu hal demikian telah menarik perhatian Barat sehingga mereka tertarik melakukan eksploitasi dan penjajahan. Sekarang wajah penjajahan berubah, namun tetap saja melakukan penjajahan secara soft power, yaitu atas nama kerja sama. Dengan mengeruk kekayaan dan investasi. Begitu pun saat ini, yang melatarbelakangi kunjungan perdana menteri Prancis ke Indonesia. 


Hal ini, ditegaskan bahwa kunjungan kenegaraan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia pada 27-29 Mei 2025, menjadi momen penting yang mempertegas hubungan bilateral antar kedua negara. Kunjungan ini, ini melahirkan  beberapa kesepakatan strategis yang mencakup sektor energi, infrastruktur, kesehatan hingga budaya. (tempo.co, 30-05-2025)


Presiden Prabowo dan Presiden Macron, telah membuat empat pilar deklarasi yang telah disepakati bersama. Hal ini diklaim, mencerminkan kesamaan visi jangka panjang kedua negara, serta kontribusi bersama terhadap perdamaian dan kebudayaan dunia.


1. Deklarasi Bersama untuk Pengembangan Kemitraan Strategis Indonesia–Prancis hingga 2050 (Joint Vision 2050);


2. Deklarasi Bersama untuk Strategi di Bidang Kebudayaan antara Indonesia dan Prancis;


3. Deklarasi Penyelesaian Damai Isu Pal*stina dan Implementasi Solusi Dua Negara;


4. Pernyataan Bersama antara Presiden Republik Indonesia dan Presiden Republik Prancis.


Dapat disimpulkan bahwa yang dibawa Macron ke Indonesia tak lebih kepentingan yang akan menguntungkan Prancis saja. Apalagi dalam poin deklarasi tersebut mengusung isu perdamaian Pal*stina dengan membagi dua negara yang sejatinya mengakui adanya negara zion*sme. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas pemeluk Islam, jelas sangat menolak usulan tersebut. Terlebih, Prancis adalah negara sekuler yang jelas-jelas memusuhi Islam sehingga tidak layak negara penjajah begitu dimuliakan.


Haram Memuliakan Penjajah 


Prancis, sebagai salah satu negara adidaya di dunia yang secara politik luar negeri mengikuti AS. Meski bukan menduduki posisi sebagai negara pertama sebagaimana halnya Amerika. Akan tetapi, Prancis merupakan negara kapitalis yang politiknya memiliki karakter imperialis. Oleh karenanya, setiap kebijakan politik luar negerinya akan sejalan dengan negara penjajahan seperti AS.


Sungguh sangat ironi, melihat antusias pemerintah Indonesia menyambut Macron yang sejatinya Prancis adalah negara yang sangat membenci Islam. Inilah negara yang mengemban paham sekularisme, menjauhkan akidah sebagai landasan dalam menentukan arah politik bangsanya padahal segala bentuk kerja sama yang dibangun oleh negara Prancis atau Barat adalah sebuah kolonialisme yang berorientasi pada eksploitasi kekayaan dan menancapkan pengaruhnya. 


Dari deklarasi kesepakatan di atas, kita memahami Prancis hanya menjebak Indonesia atas nama kerja sama padahal ujung-ujungnya mengambil keuntungan. Selama Indonesia tidak berdiri di atas sistem yang benar, selamanya bangsa ini akan mudah dijajah.


Begitu pula para pemimpinnya yang mudah untuk dikendalikan dengan iming-iming investasi. Dalam Al-Qur’an, Allah Taala melarang kaum muslim untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir dan menjadikan mereka sebagai teman setia, apalagi membangun relasi yang jelas-jelas, mereka hanya mengambil keuntungan saja, Allah Taala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman setia,..." (QS. Al- Muntahana: 1)


Negara Kuat Berdiri di Atas Akidah 


Sikap loyalnya pemerintah Indonesia terhadap negara penjajah menandakan bahwa negara ini tidak memiliki kekuasaan super power, yang mampu melawan pengaruh mereka. Indonesia tegak di atas sistem warisan penjajah, yaitu kapitalisme dengan begitu secara otomatis sistem ini akan selalu melindungi kepentingan negara penjajah.


Berbeda dengan sistem Islam yang bersumber dari akidah yang melahirkan konsep kepemimpinan serta mampu menyatukan umat di bawah kepemimpinan global. Sistem pemerintahan Islam melahirkan aturan kehidupan yang sempurna, salah satunya adalah politik luar negeri yaitu, dakwah dan jihad.


Dengan adanya dakwah dan jihad kekuasaan Islam semakin meluas, kuat, dan solid karena disatukan oleh akidah Islam. Aturan Islam yang sempurna telah membawa masyarakat Islam menjadi pemimpin peradaban dunia. Sebagai pusat kekuatan dan intelektual yang melahirkan ilmuwan hebat yang berkontribusi pada pendidikan, militer, kesehatan, dan bidang yang lainnya. 


Dengan segala kekuatannya, negara Islam tampil menjadi negara kuat dan mandiri. Oleh karena itu, negara Islam tidak akan tunduk dan takut melawan intervensi negara kafir penjajah. Sistem ini merupakan warisan Rasulallah saw. yang telah terbukti membawa umat Islam ke dalam posisi yang mulia. Maka wajib bagi umat Islam saat ini, melanjutkan kembali pejuangan penerapan syariat. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Saat Pengakuan Jadi Pengkhianatan

Saat Pengakuan Jadi Pengkhianatan



Bagi mereka yang ingin berkompromi tidak ada pengakuan atas negara penjajah

tanpa menyepelekan para syuhada Pal*stina


________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Prabowo Subianto yang baru saja memenangkan pemilihan presiden menegaskan bahwa Isra*l dapat diakui keberadaanya oleh Indonesia asalkan Pal*stina dimerdekakan terlebih dahulu. "Kalau Pal*stina diberi kemerdekaan, kita siap akui Isra*l," ucap Presiden Prabowo pada konferensi pers dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Istana Merdeka pada 28 Mei 2025. (cnnindonesia.com, 30-05-2025)


Presiden Prabowo juga menyampaikan bahwa Indonesia akan menjamin keamanan dan kedaulatan Isra*l sebagai negeri yang berdaulat, serta akan mengirimkan pasukan perdamaian di perbatasan. Pernyataan di atas blak-blakan ini menuai pro dan kontra di dalam negeri. 


Beberapa tokoh seakan mendukung dengan alasan yang disebut “strategi diplomatik” dan “taktik realis”. Ketua Umum PBNU Kiyai Haji Yahya Cholil Staquf sudi malah berujar bahwa normalisasi hubungan dengan Isra*l bisa saja dilakukan asalkan untuk perdamaian. (tempo.co, 31-05-2025)


Namun, narasi ini justru pengkhianatan terhadap perjuangan bangsa Pal*stina dan umat Islam di belahan dunia lain. Bukan karena harus jadi begini, namun lebih tepatnya alasan tersebut hanya bualan “solusi dua negara” yang sengaja didesakkan Inggris dan Amerika untuk mempertahankan penjajahan zion*s di tanah suci umat Islam.


Normalisasi atas Nama Perdamaian Adalah Kata Sandi


Solusi dua negara menjadi propaganda yang “dijual” oleh pihak Barat bukan untuk ditegakkan. Sejak diusulkan oleh PBB tahun 1947, yang terjadi justru penguatan posisi Isra*l dan pelemahan posisi rakyat Pal*stina. Faktanya, hingga saat ini masih tidak ada peta jalan yang benar-benar dihadirkan untuk membangun negara Pal*stina merdeka dan berdaulat.


Sikap Prabowo rasional pada permukaan, tetapi membuka jalan legitimasi kolonisasi lebih dari 75 tahun sebelumnya. Perang kolonial pada akhirnya akan memanggil. Bagi mereka yang ingin berkompromi, tidak ada pengakuan atas negara penjajah, tanpa menyepelekan para syuhada Pal*stina. Korban Nakba ‘48, Intifada ‘87, dan gelombang perlawanan lainnya sampai agresi 2023-2024 yang rugikan ratusan ribu nyawa Gaz*.


Narasi disela-sela semacam ini tak diberhentikan akan menciptakan preseden buruk bagi Indonesia. Negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbanyak di dunia. Sebelumnya juga tidak direspons oleh Isra*l, lalu harapan “diplomasi Indonesia akan didengar” dioptimistiskan.


Demokrasi Sekuler Akar dari Politik Cacat


Pernyataan normalisasi ini tidak dapat dipisahkan dari demokrasi sekuler yang menghasilkan sistem batil. Kebijakan luar negeri dalam sistem ini dibentuk oleh kompromi politik, diplomasi pragmatis, dan tekanan geopolitik dari kekuatan global daripada aturan halal-haram atau kepentingan umat Islam.


Demokrasi mengutamakan suara elite politik daripada kebenaran Islam atau suara rakyat. Mereka yang berkuasa dalam sistem ini hanya perwakilan dari kepentingan asing, bukan penjaga masyarakat. Ini masuk akal untuk mempertimbangkan hubungan dengan negara penjajah seperti Isra*l hanya sebagai strategi diplomatik daripada mengkhianati darah syuhada dan kehormatan kaum muslim.


Selain itu, sistem ini menghilangkan kemampuan orang untuk memberikan respons yang jelas dan menyeluruh. Seharusnya menjadi solusi strategis untuk membebaskan Pal*stina, jihad justru dihilangkan dari peradaban politik umat manusia. Demokrasi mengaburkan arti jihad dengan menggunakan istilah "perdamaian" padahal ketidakadilan adalah syarat untuk damai.


Jihad Global di Bawah Daulah


Islam tidak mengajarkan kompromi terhadap penjajahan. Dalam sejarah, Islam memandang tanah yang dikuasai secara zalim harus dibebaskan, bukan dinegosiasikan. Ketika Pal*stina jatuh ke tangan pasukan Romawi dan kemudian disusul oleh pasukan Salib, umat Islam tidak duduk di meja perundingan. Melainkan, mengerahkan jihad semesta di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab dan kemudian Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.


Allah Swt. berfirman: “Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah dari laki-laki, wanita-wanita dan anak-anak yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.’” (QS. An-Nisa: 75)


Tidak ada solusi bagi Pal*stina kecuali pembebasan total, bukan negosiasi. Ini hanya bisa diwujudkan bila umat Islam memiliki kekuatan politik dalam bentuk institusi negara—yakni Daulah Islamiah. Hanya dengan Daulah, jihad bisa menjadi kebijakan negara bukan sekadar seruan personal atau ormas.


Daulah akan menyatukan kekuatan umat, memobilisasi sumber daya militer dan diplomasi global untuk menekan Isra*l dan sekutunya. Inilah solusi hakiki yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. melalui tariqah nubuwwah. Pernyataan tersebut melawan hakikat mengakui Isra*l atas dasar “jika Pal*stina merdeka” merupakan tindakan tukar guling yang melukai prinsip dan perjuangan umat Islam.


Bukanlah siasat diplomatik, melainkan tindakan pengkhianatan terhadap Al-Aqsa dan darah para syuhada. Umat janganlah tertipu dengan narasi perdamaian palsu. Saatnya umat Islam membangkitkan kembali semangat jalan keluar yang sesungguhnya: Daulah Islamiah. Daulah Islamiah yang mengenakan jihad pembebasan Pal*stina adalah saat Al-Aqsa dibebaskan seperti dulu. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


Mannasalwa

Anak Jadi Sasaran Judol Kapitalisme Biang Kehancuran Generasi

Anak Jadi Sasaran Judol Kapitalisme Biang Kehancuran Generasi



Ketika penerapan sistem kapitalis yang menjadi landasan aturan

maka akan kita dapati tidak adanya perlindungan terhadap anak-anak

________________________________


Penulis Sri Wulandari

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Penggunaan sosial media di kalangan anak-anak tanpa adanya kontrol dan sikap tegas orang tua mengakibatkan turunnya daya pikir terhadap anak. Akhir-akhir ini sering terjadi kasus yang melibatkan anak-anak di bawah umur karena pengaruh sosial media. Bukan hal yang aneh saat ini mendengar anak-anak mulai dari kalangan usia belasan tahun terjerat kasus judi online (judol).


Berdasarkan data kuartal I-2025 Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan yang dikumpulkan oleh PPATK memperlihatkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain judol berusia 10-16 tahun lebih dari Rp2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar sedangkan deposit yang tertinggi dari usia antara 31-40 tahun mencapai Rp2,5 triliun. (cnbcindonesia.com, 11-05-2025)


Hal tersebut bukanlah sekadar angka, tetapi ini menunjukkan dampak sosial. Selain itu, menjadi ancaman serius untuk generasi ketika judol tidak diberantas sampai akarnya. Tidak terbayang nasib generasi mendatang jika anak-anak dan remaja menjadi korban judol saat ini. 


Dampak dari kecanduan judol adalah kondisi seseorang ketika tidak bisa mengontrol keinginannya untuk berjudi secara online padahal telah jelas mengetahui risiko dan konsekuensi negatifnya. Faktor yang membuat seseorang bisa kecanduan judol adalah seseorang yang merasa senang dan terpuaskan karena kemenangannya. Hal ini memicu keinginan untuk terus bermain. Faktor lingkungan juga memengaruhi karena tidak adanya kontrol diri dalam mengkases sosial media. 


Masalah ini memiliki dampak pada perkembangan psikologis anak. Termasuk masalah perilaku dan kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa depan. Akibatnya, memberikan perilaku negatif kepada anggota keluarga, seperti berbohong dan memendam masalah sendiri. Bahkan dapat berujung kepada perceraian di antara suami istri.


Ketika penerapan sistem kapitalis yang menjadi landasan aturan, maka akan kita dapati tidak adanya perlindungan terhadap anak-anak sebab dalam sistem kapitalis hal tersebut bisa dijadikan sebagai lahan keuntungan materi. Sistem kapitalistik memanfaatkan celah psikologis dan visual untuk mengikat anak-anak dengan bantuan digital. Inilah wajah asli sistem kapitalis yang rakus dan tidak mengenal batas moral.


Negara yang diharapkan sebagai junnah (pelindung) pun tidak nampak upaya serius dan sistematis dalam mencegah maupun mengatasi judi online. Pemutusan akses dilakukan hanya sebatas awalnya tidak ada jangka panjang, sementara banyak situs lain tetap aktif. Masalah ini membuktikan bahwa kapitalisme tidak memiliki solusi hakiki dalam menyelamatkan generasi muda dari kriminalitas.


Peran orang tua juga menjadi hal penting dalam mengawasi anak-anak agar tidak terjerat judol. Orang tua hendaknya melakukan pendampingan terhadap anak-anaknya ketika menggunakan smartphone. Memberikan benteng terdepan agar tidak merusaki moral anak-anak. Namun, peran ini akan sulit dilakukan jika orang tua sendiri terbebani oleh impitan ekonomi sistem kapitalis seperti saat ini. Tatkala semua kebutuhan naik pesat, orang tua fokus mencari penghidupan. Akibatnya, mendidik dan mengawasi anak menjadi terabaikan.


Selain itu,  sistem pendidikan juga menjadi landasan paling penting. Namun, seperti yang kita tahu bahwa sistem pendidikan yang diterapkan saat ini adalah kapitalisme. Sistem ini hanya memfokuskan pada hasil nilai akademik dan nilai materi. Tidak serius dalam membentuk generasi yang kuat mental dan spritualnya.


Dengan jelas negara ini mengambil sistem sekuler kapitalis sehingga sistem pendidikannya pun sistem pendidikan kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam hal ini, judol adalah perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Sudah jelas disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 90, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”


Berbeda dengan sistem kapitalis, sistem pendidikan Islam tidak hanya fokus pada bidang akademik. Akan tetapi, juga membentuk pola pikir dan sikap anak sesuai ajaran Islam. Anak dididik untuk memahami dan menjadikan halal-haram sebagai tolok ukur dalam berperilaku, termasuk literasi digital yang tidak melanggar batasan syariat. 


Negara dalam Islam (Khil4fah) wajib menjaga rakyat dari segala bentuk kerusakan, termasuk judi online. Negara akan menutup semua akses secara menyeluruh dan mencegah konten-konten yang merusak akidah dan akhlak anak. Digitalisasi akan diarahkan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan rakyat sehingga rakyat dapat dengan tenang dan aman dalam memanfaatkan perkembangan digitalisasi yang pesat bagi keluarganya.


Negara harus terus memperbaharui dan mengembangkan perangkat lunak, perangkat keras, dan pusat datanya sendiri. Dengan demikian, semua infrastruktur digitalnya mulai dari properti digital hingga aksesnya berada di bawah kendalinya. Agar kasus judol tidak bisa diakses oleh seluruh kalangan terutama anak-anak.


Demikianlah pengaturan dalam sistem Islam. Tidak akan ada celah bagi transaksi ekonomi yang diharamkan syariat termasuk judi dalam bentuk apapun, baik online ataupun offline. Sistem Islam (Khil4fah) akan memberlakukan sanksi yang tegas bagi para pelakunya sehingga generasi akan terselamatkan dari berbagai kerusakan, termasuk judol. Wallahualam bissawab. [Eva/MKC]

Ironi Persatuan Umat saat Haji di Tengah Realitas Perpecahan

Ironi Persatuan Umat saat Haji di Tengah Realitas Perpecahan



Selepas ibadah itu berakhir, umat sering kali kembali terpecah

bahkan saling bermusuhan karena konflik kepentingan dan fanatisme kelompok

_________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURATPEMBACA - Mengutip dari antaranews.com (30-05-2025), bahwa Hari Raya Idul Adha bertepatan pada hari Jumat, 6 Juni 2025 telah ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi. Adapun wukuf di Arafah, puncak ibadah haji akan berlangsung sehari sebelumnya, yakni 5 Juni 2025. Sekitar 1,83 juta muslim dari berbagai belahan dunia akan mengikuti momen ini.


Jutaan umat Islam dari berbagai budaya, bahasa, warna kulit, dan status sosial yang berbeda berkumpul di Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji setiap tahunnya, sebuah peristiwa kerohanian yang menggambarkan ketaatan kepada Allah Swt..


Ibadah haji selain sebagai ibadah ritual individu, juga sebagai simbol kuat dari persatuan umat Islam. Ibadah ini berdiri di atas fondasi akidah Islam yang kokoh dan universal, mempersatukan hati manusia dalam ikatan ukhuwah imaniyyah. Sekaligus meruntuhkan sekat-sekat duniawi yang semu dan sementara. 


Umat Islam yang kini berjumlah hampir 2 miliar jiwa sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan global yang berpengaruh. Potensi ini mencakup bidang politik, ekonomi, hingga sosial. Namun, potensi itu hanya bisa terwujud bila umat Islam berhasil melepaskan diri dari jeratan perpecahan akibat nasionalisme sempit, fanatisme golongan, dan kepentingan duniawi yang memecah belah.


Sebaliknya, persatuan berdasarkan akidah Islam harus menjadi fondasi utama dalam membangun peradaban yang adil dan bermartabat di tingkat global. Namun, sangat disayangkan pelaksanaan seperti haji dan Idul Adha hanya sebagai momentum sesaat yang tampak sebagai semangat persatuan umat. Namun, adanya perbedaan penetapan hari raya yang masih terjadi antarnegara. Seperti Idul Adha 1446 H di Malaysia ditetapkan pada Sabtu 7 Juni 2025, berbeda dengan Arab Saudi yang menetapkannya pada Jumat, 6 Juni. Perbedaan ini menunjukkan bahwa umat Islam belum benar-benar bersatu secara global.


Ibadah Haji Momen Persatuan Sesaat


Momentum persatuan saat haji memang luar biasa, jutaan muslim dari berbagai bangsa bersatu dalam tujuan yang sama. Namun, selepas ibadah itu berakhir, umat sering kali kembali terpecah, bahkan saling bermusuhan karena konflik kepentingan dan fanatisme kelompok. Di tengah perpecahan ini, penderitaan umat Islam di berbagai belahan dunia sering kali diabaikan.


Tengoklah keadaan saudara-saudara muslim kita yang menderita di Palestina, Uighur dan Rohingya. Seharusnya itu tanggung jawab bersama yang harus diperhatikan kaum muslim sebagai bentuk adanya ukhuwah Islamiah.


Khil4fah Institusi Persatuan Umat


Persatuan sejati umat Islam tidak bisa hanya mengandalkan seruan moral atau ritual tahunan. Dibutuhkan institusi politik Islam yang mampu menyatukan umat di bawah satu kepemimpinan, satu hukum, dan satu visi hidup yang berdasarkan syariat Islam. Hal tersebut dapat diwujudkan oleh bentuk institusi yaitu Khil4fah Islamiah. Tanpa kepemimpinan tunggal ini, umat akan terus tercerai-berai oleh batas negara, kepentingan nasional, dan ideologi buatan manusia yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.


Idul Adha sejatinya bukan hanya perayaan spiritual, melainkan juga momentum untuk meneladani ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail kepada Allah Swt.. Ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah, dia bersedia tanpa ragu untuk menyembelih putranya padahal Ismail adalah anak yang ia nanti selama bertahun-tahun. Namun, demi menjalankan perintah Allah, ia rela melakukannya. 


Peristiwa ini mengajarkan tentang pentingnya ketaatan total kepada Allah, ketaatan yang tidak disandarkan pada logika duniawi, perasaan, atau kepentingan pribadi.


Sikap tunduk dan taat ini digambarkan dalam Al-Qur’an melalui kalimat, “Sami’na wa atha’na” (Kami dengar dan kami taat). Sebagaimana dalam surah An-Nur ayat 51. Ketaatan ini semestinya meliputi seluruh aspek kehidupan, bukan hanya dalam ibadah personal, tetapi juga dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 208: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah ikuti langkah-langkah setan.”


Dengan demikian, setiap muslim berkewajiban menerapkan syariat Islam secara utuh. Islam tidak memisahkan antara urusan agama dan kehidupan publik seperti yang diterapkan dalam sistem sekuler. Sebaliknya, penerapan syariat Islam secara menyeluruh hanya bisa dilakukan melalui institusi pemerintahan yang berdiri di atas dasar Islam. Hukum Allah dapat diterapkan secara sempurna oleh sistem yang berbentuk konkret  yaitu Khil4fah ala minhaj an-nubuwwah. 


Oleh karena itu, perjuangan menegakkan kembali syariat Islam secara menyeluruh dalam naungan Khil4fah merupakan bentuk ketaatan kepada Allah yang tidak boleh diabaikan oleh kaum muslim. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]


Rosi Ummu Aura

Muslimah Peduli Umat

Slow Living Gaya Hidup Mukmin?

Slow Living Gaya Hidup Mukmin?

 


Sebagai seorang muslim, seharusnya kita mempunyai konsep hidup sendiri

Tidak harus mengikuti tren, apalagi sampai takut dikatakan ketinggalan zaman


______________________


KUNTUMCAHAYA.com, RESENSI - Alhamdulillah, kita dipertemukan kembali dalam kajian keluarga "Family Zone" bersama Ustazah Dedeh Wahidah Achmad yang diunggah oleh channel YouTube Muslimah Media Hub. Pada kesempatan kali ini, Ustazah Dedeh akan mengupas tuntas tentang "Slow Living" yang tengah menjadi tren masyarakat di tengah gempuran aktivitas yang serba cepat saat ini.


Apa itu slow living? Bagaimana menurut pandangan Islam? bagaimana caranya kita menyikapinya sebagai seorang muslim?


Pesatnya perkembangan teknologi ternyata berdampak pula pada perkembangan gaya hidup manusia. Manusia menginginkan segala sesuatu serba cepat, instan, tergesa-gesa, menganggap bahwa hidup bukan lagi berjalan, melainkan berlari untuk bisa sekadar memenuhi kebutuhan yang makin hari makin tinggi.


Di sisi lain, masih ada orang yang merasa kesulitan untuk menghadapi perubahan gaya hidup fast living serba tergesa-gesa. Mereka adalah orang-orang penganut gaya hidup slow living, serba santai, melakukan segala sesuatu tidak dengan tekanan, tidak tergesa-gesa, bahkan mereka tidak mau bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Pertanyaannya, "Apakah itu sesuatu yang baik?" ujar ustazah.


Sebagai seorang muslim, seharusnya kita mempunyai konsep hidup sendiri. Tidak harus mengikuti tren, apalagi sampai takut dikatakan ketinggalan zaman. Seorang muslim hendaknya memprioritaskan hidupnya semata hanya untuk beribadah kepada Allah Swt.. Hal ini seperti yang tertulis dalam Al-Qur'an surah Adz- Dzariyat ayat 56 yang berbunyi: "Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku."


Sejarah slow living dimulai pada tahun 1980 di Italia. Dilakukan oleh seorang ahli makanan Carlo Petrini sebagai bentuk protes atas dibukanya gerai makanan cepat saji, fast food di Roma. Petrini beranggapan makanan tidak mesti disajikan dengan cepat, terburu-buru, tetapi kembali pada makanan tradisional yang disajikan secara alami. "Lantas, bagaimana seharusnya umat Islam menyikapinya?" lanjut ustazah.

 

Dalam Al-Qur'an surah Al-Anbiya ayat 30 Allah Swt. berfirman, "Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepada mu tanda-tanda kekuasaan-Ku. Maka, janganlah kamu meminta Aku menyegerakannya."


Ashabul nuzul dari ayat di atas adalah saat orang-orang kafir meminta untuk disegerakan datangnya azab atas mereka. Tentu bukan karena mereka yakin atau siap. Melainkan mereka menantang kebenaran adanya azab dari Allah. Jika azab itu ada mereka meminta untuk disegerakan. Sebaliknya, kaum muslim meminta kepada Allah agar azab segera diturunkan kepada orang-orang kafir.


Mereka sudah tidak kuat menghadapi kesombongan dan perlakuan orang-orang kafir tersebut sehingga meminta Allah untuk segera menampakkan kekuasaan-Nya. Dari ayat di atas jelas bahwa meminta dengan terburu-buru, tergesa-gesa adalah sikap yang dilarang dalam Islam. Seorang mukmin tidak boleh melakukan segala sesuatu dengan terburu-buru.


Karena segala sesuatu yang terburu-buru akan membawa dampak yang mungkin tidak diinginkan. Bisa membawa celaka, bencana, atau tidak optimalnya saat mengerjakan. Namun, di sisi lain Allah memerintahkan kita untuk bersegera. Contohnya dalam Al-Qur'an surah Ali-Imran ayat 133, Allah Swt. berfirman: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa."


Lalu, bagaimana kita sebagai seorang muslim menyikapinya? Kalau dilihat kata terburu-buru atau tergesa-gesa memiliki konotasi yang negatif. Kadangkala seseorang melakukan suatu pekerjaan dengan terburu-buru atau tergesa-gesa, bukan karena ingin cepat selesai, tetapi kita sering menunda-nunda sehingga pas waktunya tiba menuntut untuk melakukan dengan terburu-buru.


Sementara, bersegera adalah tindakan kita untuk merespons panggilan Allah. Terutama yang wajib dan sunah dengan segera mungkin kita mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Adapun prinsip seorang mukmin bukan mencari waktu luang, tetapi meluangkan waktu. Ketika kita menyadari status hukum perbuatan tersebut, baik wajib, sunah, makruh atau haram karena setiap musim terikat dengan hukum syarak.


Perbuatan yang wajib dan sunah disegerakan sedangkan yang makruh dan haram ditinggalkan. Panggilan salat, dakwah, berinfak, panggilan istri untuk melayani suami, panggilan seorang ibu untuk mendidik anak, peduli terhadap orang lain, berjihad memperjuangkan berbagai bentuk kebenaran. Bagi seorang mukmin adalah bersegera untuk mendapatkan balasan dari Allah Swt..


Bagaimana dengan Slow Living?


Jawabannya tergantung pada kondisi di mana suatu pekerjaan mempunyai konotasi tergesa-gesa, berarti perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, jika suatu perbuatan dimaknai dengan bersegera, sebaiknya bersegeralah melakukannya. Bersegera melakukan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Inilah sebenarnya karakter seorang muslim, bersegera untuk mendapatkan surga yang telah dijanjikan oleh Allah Swt..


Seorang muslim tentu menginginkan menjadi orang yang bertakwa, bersegera meninggalkan kemaksiatan, tetapi tidak boleh melakukannya dengan tergesa-gesa. Supaya tidak tergesa-gesa  harus ada manajemen yang tepat. Tentukan waktu yang tepat untuk mengerjakannya, yang harus diprioritaskan, berapa waktu yang dibutuhkan.


Lakukan manajemen dengan baik dan yakin. Ketika kita menjalani hidup ini sesuai dengan aturan Allah, terikat dengan hukum Allah di situlah ada pertolongan-Nya. Jikalau kita pernah melakukan kesalahan, ada ampunan dari Allah Swt..


Semoga kita semua dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang bersegera. Segera dalam ketaatan, termasuk orang yang bersegera memperjuangkan tegaknya syariat Allah secara kafah. Memperjuangkan kembali institusi Daulah dan menghentikan kemaksiatan yang mendominasi masyarakat saat ini dengan tidak tergesa-gesa. Agar kita terhindar dari dampak buruknya suatu pekerjaan karena tergesa-gesa dan buru-buru yaitu azab Allah Swt.. Wallahualam bissawab. [Tinah/Dara/MKC]

Pendidikan Hak Umat dan Kewajiban Negara

Pendidikan Hak Umat dan Kewajiban Negara

 



Ketika pendidikan berada dalam lingkup sistem kapitalistik

Pendidikan hanya dijadikan sebagai sebuah komoditas mahal


________________________


Penulis Sri Wulandari

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Sebagaimana seharusnya masyarakat mendapatkan pendidikan yang layak dan terjamin berkualitas untuk membentuk generasi emas yang digadangkan. Tanpa adanya perbedaan status ekonomi, sosial, maupun geografis.


Fakta di lapangan nyatanya tidak mencerminkan pendidikan yang berhasil. Hari ini justru pendidikan di Indonesia mencerminkan keterputusan antara idealisme konstitusional dan realitas struktural. Untuk menutup kegagalan tersebut, pemerintah membuat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Namun, hal tersebut hanya dijadikan sebagai bantalan ekonomi sementara bagi keluarga miskin. Bantuan ini bahkan tidak menyentuh akar masalah ketimpangan pendidikan yang sistemik dan berulang dari generasi ke generasi. 


Dikutip dari (tirto.id, 2-6-2025), berdasarkan data dari Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Tatang Muttaqin mengungkapkan faktor utama tingginya angka anak tidak sekolah (ATS) ialah faktor ekonomi dan membantu orang tua mencari penghasilan tambahan. Melihat dari segi angka faktor ekonomi sebanyak 25,55 persen dan mencari nafkah sebanyak 21,64 persen.


Pendidikan dalam Lingkup Sistem Kapitalistik 


Ketika pendidikan berada dalam lingkup sistem kapitalistik, pendidikan hanya dijadikan sebagai sebuah komoditas mahal yang diakses secara optimal untuk mereka yang mampu secara finansial, bukan pemerataan akses dan keadilan sosial. Alih-alih menjadi penyelenggara utama pendidikan, negara berubah menjadi fasilitator yang membiarkan pasar mengambil peran dominan.


Selain itu, dalam sistem kapitalis harta kepemilikan umum pengelolaannya diberikan kepada swasta yang sejatinya itu adalah harta milik rakyat sehingga pendidikan berkualitas hanya bisa diakses oleh kalangan mampu dan tidak bisa diakses oleh seluruh rakyat.


Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk memutus rantai kemiskinan termasuk melalui jalur pendidikan, salah satu yang digadangkan yaitu pembentukan sekolah rakyat dan biaya gratis bagi sekolah swasta terpilih dari jenjang SD, SMP, dan SMK. Namun, apakah upaya ini benar-benar mampu memutus rantai kemiskinan dan angka putus sekolah?


Program-program yang digagas oleh Prabowo yakni Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda Unggul justru menunjukkan makin menguatnya kesenjangan sosial dalam pendidikan. Sekolah Rakyat dirancang sebagai sekolah berasrama untuk anak-anak dari kalangan kurang mampu, dengan alasan agar mereka bisa mendapat makanan bergizi dan pendidikan dasar. Sementara, Sekolah Garuda dikhususkan bagi anak-anak dari kalangan mampu dan berprestasi tinggi yang kemungkinan besar sudah memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas sejak awal.


Program-program populis tersebut memiliki anggaran yang tak sedikit. Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan bahwa untuk 100 lokasi Sekolah Rakyat dibutuhkan dana Rp2,3 triliun per tahun. Padahal, alokasi tersebut belum mencakup fundamental seperti kesejahteraan guru, mutu kurikulum, dan distribusi tenaga pendidik ke daerah tertinggal. Strategi seperti ini tidak akan menyentuh akar masalah dan hanya sebatas tambal sulam dalam sistem kapitalisme pendidikan.


Lebih dari itu, program ini dapat memicu diskriminasi sosial yang lebih luas. Siswa dari keluarga kurang mampu sering kali diperlakukan berbeda secara halus maupun terbuka, dan peluang mereka untuk mengakses pendidikan tinggi berkualitas menjadi sangat terbatas. Diskriminasi ini bukan hanya persoalan sikap, tetapi juga struktural karena negara tidak menyediakan sistem yang adil dan merata.


Pendidikan dalam Sistem Islam 


Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar setiap individu. Negara harus memastikan bahwa hak tersebut benar-benar terpenuhi untuk individu. Islam memosisikan pendidikan dalam struktur kebijakan publik sebagai kewajiban negara yang ditopang oleh mekanisme pendanaan dari Baitulmal.


Dana ini bersumber dari pos-pos keuangan negara seperti fa’i, kharaj, zakat, dan pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi milik umum. Dengan sistem ekonomi Islam yang terstruktur, tanpa harus membebani rakyat atau menjadikan pendidikan sebagai ladang komersialisasi negara mampu mendanai pendidikan secara gratis.


Dalam struktur sistem Islam, seluruh kebijakan pendidikan berpijak pada asas akidah dan syariat, yang menjadikan pendidikan sebagai ibadah dan tanggung jawab kolektif umat. Ini adalah solusi menyeluruh yang menjawab akar masalah, bukan solusi tambal sulam yang menambah kompleksitas persoalan. Pendidikan adalah kunci peradaban. Tidak ada kemajuan tanpa pendidikan yang adil, merata, dan berkualitas.


Namun, untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan sistem yang benar-benar menjamin, bukan sekadar menjanjikan. Sistem kapitalis telah terbukti gagal menghapus ketimpangan, bahkan menciptakan kelas-kelas sosial dalam pendidikan.


Umat sudah seharusnya mendapatkan sistem alternatif yang menempatkan pendidikan sebagai hak syar’i yang dijamin penuh oleh negara. Dengan sistem pendidikan Islam yang adil, merata, berkualitas, dan menyeluruh. Upaya pembangunan Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat sungguh justru bukan solusi yang dibutuhkan, melainkan itu terlihat seperti reproduksi dari kegagalan lama dalam wajah baru.


Satu-satunya solusi ialah perubahan paradigma dari sistem kapitalis menuju sistem Islam.


Demikianlah, Khil4fah menjalankan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pendidikan dengan melakukan segala upaya untuk mewujudkan pemenuhan hak pendidikan setiap anak, kenyamanan mereka selama bersekolah, dan kesejahteraan para tenaga pendidik. Semua itu akan terpenuhi dan terjamin baik bagi peserta didik dan pendidik agar sistem pendidikan Islam benar-benar berjalan secara optimal dalam mencetak generasi bertakwa, cerdas, dan bermanfaat ilmunya bagi kemaslahatan hidup manusia. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]

Pendidikan Hak Umat yang Harus Dipenuhi

Pendidikan Hak Umat yang Harus Dipenuhi



Negara Islam akan menyediakan pendidikan yang berkualitas

dan mampu mencetak generasi unggul, cerdas, dan memiliki berkepribadian Islam

_______________________________


Penulis Dara Millati Hanifah

Tim Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Pendidikan menjadi hal yang harus dipenuhi karena dengan pendidikan bisa mengubah sebuah peradaban. Hanya saja, saat ini mendapatkan pendidikan yang layak sangat sulit. Bahkan, banyak dari masyarakat yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya akibat biaya sekolah tinggi atau yang lainnya.


Pendidikan di Sistem Kapitalis


Tatang Muttaqin Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) memaparkan bahwa faktor ekonomi juga membantu orang tua mencari nafkah menjadi penyumbang terbanyak pada tingginya angka anak tidak sekolah (ATS) di Indonesia. 


Penyebab anak tidak sekolah adalah menikah, merasa pendidikan cukup, disabilitas, akses yang jauh, perundungan dan faktor lainnya. Tatang menilai fenomena ini terlihat dari usia sekolah menengah. Yang mana keinginan untuk putus sekolah makin besar seiring bertambahnya usia.


Tatang mengatakan sekitar 3,9 juta lebih anak yang tak bersekolah. Putus sekolah sekitar 881 ribu orang, lulus dan tidak lanjutkan lebih dari 1 juta orang, dan belum pernah sekolah lebih dari 2 juta orang. Menurutnya, kesenjangan akses pendidikan antara keluarga miskin dan kaya masih cukup besar walaupun Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) telah disalurkan. (Tirto.id, 19-05-2025)


Sungguh miris, melihat fakta pendidikan di negeri ini. Sangat disayangkan, di usia mereka yang harusnya mengenyam pendidikan malah membantu perekonomian keluarga yakni bekerja seperti menjual tisu, jasa payung ketika hujan dan yang lain sebagainya. Mereka beranggapan bahwa pendidikan hanya untuk orang yang berduit dan mampu.


Selain itu, biaya pendidikan yang setiap tahun meningkat juga menjadi pemicu masyarakat untuk berhenti dari sekolah karena tidak mampu untuk membayar biayanya. Akses ke sekolah yang lumayan jauh dan masalah terkait pendidikan lainnya.


Meski pemerintah menyediakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) atau KIP (Kartu Indonesia Pintar) ternyata tidak menyelesaikan permasalahan pendidikan di negeri ini. Pengelolaan yang tidak transparan bisa menjadi pemicu adanya korupsi atau tidak meratanya penerimaan KIP di masyarakat.


Untuk menyelesaikan masalah tersebut pemerintah mengusulkan untuk membuat sekolah rakyat. Berharap, dengan adanya sekolah tersebut mampu mengatasi masalah pendidikan dan semua masyarakat bisa mengikuti pendidikan dengan baik. 


Saifullah Yusuf Menteri Sosial melihat secara langsung proses penerimaan calon siswa Sekolah Rakyat di Kelurahan Krandegan, Kecamatan Banjarnegara. Beliau menjelaskan Sekolah Rakyat dibuat untuk jenjang SD, SMP, sampai SMA. Model pendidikan asrama diterapkan di sekolah tersebut.


Dengan menggabungkan pembelajaran formal, penguatan karakter, sampai orientasi dan matrikulasi. Tak hanya itu, Kementerian Sosial menyiapkan program pemberdayaan bagi orang tua siswa dengan kerjasama pejabat daerah setempat (News.detik.com, 25-05-2025)


Namun, apakah sekolah rakyat benar-benar menyelesaikan permasalahan bagi pendidikan saat ini? Apalagi sistem yang digunakan negara masih kapitalisme. Solusi yang ditawarkan tidak akan mencapai akarnya. Hanya sekadar solusi tambal sulam.


Pendidikan dalam Sistem Islam


Islam sangat menjunjung tinggi pendidikan. Negara akan memfasilitasi berbagai sarana prasarana untuk menunjang pendidikan yang berkualitas serta mampu mencetak generasi yang unggul, cerdas juga berkepribadian Islam. Pendidikan dalam Islam bukan untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi semata. Namun, menjadi penyokong sistem pendidikan karena pendidikan merupakan hak masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara untuk membangun sebuah peradaban. Pendidikan Islam dilaksanakan guna mencetak generasi bersyakhsiyah Islam yang akan menguasai berbagai ilmu, menyiapkan untuk dakwah juga jihad ke seluruh dunia.


Pendidikan Islam akan menjadi mercusuar dunia juga kiblat masyarakat internasional. Mengingat, banyak ilmuwan yang dilahirkan dari sistem pendidikan Islam. Karya mereka sampai saat ini masih diterapkan dalam dunia pendidikan. Tentu, dengan menggunakan sistem Islam semua akan berjalan sesuai dengan syarak termasuk dalam pendidikan. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]

Pendidikan Adalah Hak Dasar Syar’i dan Tanggung Jawab Negara

Pendidikan Adalah Hak Dasar Syar’i dan Tanggung Jawab Negara



Islam memandang bahwa pendidikan 

merupakan hak dasar bagi setiap anak (generasi)


_________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURATPEMBACA - Dilansir dari Detikjateng, Jakarta Senin (19-5-2025), Pemerintah Jawa Tengah akan memberikan kesempatan bagi siswa SMK dan SMA untuk bersekolah secara gratis di sekolah swasta pilihan bagi anak yang tidak mampu. Program ini merupakan program insiatif pertama di Indonesia dalam menggratiskan biaya sekolah bagi siswa yang tidak mampu.


Menurut Ahmad Lutfi selaku Gubernur Jawa Tengah mengungkapkan, “Pendidikan merupakan investasi penting di masa depan bagi para generasi, program ini merupakan inisiatif pertama,” Senin, (19-5-2025). Beliau menambahkan bahwa tujuan direncanakan program ini untuk memberikan kesempatan setara kepada seluruh generasi muda untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas, sekaligus untuk menekan angka putus sekolah yang semakin tinggi.


Hal ini diperkuat dari Tirto.com (19-5-2025). Tatang Muttaqin selaku Kemendikdasmen (Direktur Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah) bahwa penyebab tingginya persentase anak tidak sekolah (ATS) di Indonesia adalah faktor ekonomi dan bekerja untuk membantu nafkah keluarga. Di mana sebanyak 25,55 persen adalah faktor ekonomi dan selebihnya 21,64 persen bekerja.


Hal serupa juga dilakukan oleh Prabowo Subianto selaku Presiden Republik Indonesa yang akan menggagas program Sekolah Unggulan Garuda tingkat SMA (sekolah menengah atas). Program ini akan membiayai sebanyak 80 persen peserta didik dari seluruh total siswa yang memiliki prestasi di atas rata-rata di bidang tertentu. Selebihnya 20 persen akan dikenakan biaya. Dilansir dari Tempo, (23-5-2025)


Pendidikan Hak Setiap Generasi


Pendidikan adalah hak setiap warga negara atau generasi. Namun, nyatanya selama ini negara hanya mengintervensi di bidang pendidikan hanya berupa BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan KIP (Kartu Indonesia Pintar) bagi keluarga miskin. Kedua hal tersebut hanyalah menjadi bantalan ekonomi keluarga yang kurang mampu untuk menyekolahkan anaknya. 


Sedangkan hal itu sebenarnya bukanlah solusi untuk menyelesaikan akar masalah kemiskinan dan ketimpangan pendidikan yang terjadi di negeri ini. Seperti fakta di atas bahwa faktor ekonomi dan bekerja mencari nafkah adalah faktor utama  putusnya sekolah dan anak tidak sekolah.


Ini menjadi bukti nyata bahwa pendidikan hanya sebagai komoditas mahal bagi keluarga kaya saja, sedangkan bagi keluarga miskin tidak akan bisa mengakses pendidikan berkualitas. Belum lagi banyaknya penggelapan dana BOS yang tak sesuai fungsi dan KIP yang tak sesuai dengan objek yang seharusnya. Menjadi bukti nyata jika pendidikan di negeri ini tidak menjadi prioritas negara untuk generasi.


Akhirnya untuk menutupi kegagalan ini, pemerintahan Prabowo berencana akan menggagas Sekolah Rakyat untuk anak di kalangan keluarga miskin dan Sekolah Garuda Unggulan untuk anak di kalangan keluarga kaya sebagai jalan tengah yang tidak menyelesaikan masalah. 


Program-program ini akan dinarasikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk pemerataan akses pendidikan bagi seluruh rakyat di Indonesia padahal sejatinya program tersebut hanyalah program yang bersifat parsial  yang tidak menyelesaikan akar masalah inti dalam pendidikan, tetapi sekadar tambal sulam dalam sistem kapitalis yang terus menimbulkan masalah baru.


Hak Dasar Syar’i dan Tanggung Jawab Negara


Islam memandang bahwa pendidikan merupakan hak dasar bagi setiap anak (generasi). Hal ini merupakan hak-hak mendasar bagi warga negara sebagaimana hak-hak kesehatan dan keamanan. Negara wajib bertanggung jawab dalam memenuhi seluruh kebutuhan dasar setiap warganya.


Di mana negara sebagai penyelenggara program sekaligus memenuhi seluruh kebutuhan dan pembiayaan warga dari kas Baitulmal. Tidak ada perbedaan akses pendidikan bagi seluruh anak (generasi), baik anak dari keluarga kurang mampu maupun dari keluarga kaya, baik di kota maupun di daerah pelosok yang jauh dari ibu kota. Hak dan kewajiban warganya dipandang sama.


Pendidikan di dalam Islam slam bukanlah untuk menyelesaikan persoalan ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam justru diterapkan sebagai struktur dan penyokong sistem pendidikan.  Karena pendidikan merupakan hak mendasar dan penting bagi warga negara untuk mencetak generasi pembangun peradaban. 


Pendidikan Islam dilaksanakan bertujuan untuk mencetak generasi yang ber-syakhshiyah Islam yang menguasai ilmu terapan maupun tsaqafah Islam. Di mana hal tersebut akan dipersiapkan untuk mengagungkan peradaban Islam dan siap berdakwah menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.


Pendidikan Islam akan menjadi mercusuar dan role model terbaik pendidikan dunia dan kiblat bagi masyarakat internasional. Generasi Islam akan hadir di tengah-tengah umat sebagai penjaga dan pembentuk peradaban Islam yang mulia. Sebagaimana hal tersebut pernah terjadi dalam sejarah keagungan Daulah Khil4fah Islamiah sebelumnya. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]


Aini Rahmalia, S. Si

Islam Sebagai Solusi Maraknya Aksi Premanisme

Islam Sebagai Solusi Maraknya Aksi Premanisme



Islam menawarkan solusi melalui pendekatan personal maupun sistematik

dengan landasan Al-Qur'an dan As-Sunah


___________________________


Penulis Novitasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Presiden Prabowo Subianto sudah menyoroti kasus premanisme yang berkedok ormas dan pemerintah sudah sangat resah akan aksi premanisme di berbagai daerah. Untuk mencari jalan keluar dari masalah ormas yang meresahkan keamanan, ketertiban masyarakat, maupun mengganggu iklim perusahaan presiden sudah berkoordinasi dengan kejaksaan agung dan kepolisian untuk melakukan pembinaan kepada ormas.


Akan tetapi, jika pembinaan kepada ormas tidak berjalan seperti semestinya atau ditemukan pelaku yang melanggar aturan hukum akan segera di tindak. "Kami akan segera membentuk satgas terpadu operasi penanganan premanisme dan ormas serta melakukan pembinaan terhadap ormas-ormas bermasalah yang mengganggu keamanan dan menghambat investasi satgas ini akan melibatkan TNI, Polri dan seluruh instansi terkait dalam satu komando yang terpadu dan responsif," ungkap Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan. (cnbcindonesia.com, 09-05-2025)


Maraknya kasus aksi premanisme yang berkedok ormas di berbagai daerah kota, bahkan sampai pelosok desa yang kian menghawatirkan dan meresahkan masyarakat. Mulai dari pungli (pungutan liar) terhadap para pegawai pabrik, pungli terhadap pedagang jalanan dan pasar beralasan uang keamanan. Bahkan, sejumlah pengusaha resah karena tindakan premanisme ormas, seperti meminta Tunjangan Hari Raya (THR).

‎ 

Premanisme adalah perbuatan yang sangat zalim, merampas yang bukan haknya dan meminta yang bukan miliknya. Penyebab maraknya aksi premanisme ini karena cara pandang masyarakat yang dipengaruhi oleh ide ide sekularisme-kapitalisme. Mendorong masyarakat menjadi hedonis dan melakukan berbagai cara yang batil agar kebutuhan primer terpenuhi. 


Masyarakat menjadi egois dalam menggapai materi. Sistem tebang pilih dalam masalah hukum yang dibumbui dengan praktik suap menjadikan rasa tidak aman bagi warga negara. Dalam sistem sekuler saat ini yang tidak mengacu pada hukum Allah Swt., semua elemen masyarakat, TNI, Polri, atau instansi berpotensi melakukan kezaliman. Kata Syekh Asy sya'rawl, ini menunjukkan betapa urgennya berhukum dengan hukum Allah (Asy sya'rawl tafsir Asy Sya'rawl, hlm 115).


Dalam hukum Islam, aksi premanisme tentu akan mendapat hukuman yang setimpal dan membuat jera. Jika pelaku terbukti membunuh seseorang, hukumannya adalah kisas (hukum balas) yaitu dibunuh sebagai balasan atas nyawa yang telah direnggut. Namun, apabila keluarga korban bisa memaafkan pelaku dan menuntut diyat (ganti rugi) sebagai pengganti hukuman mati. Tercantum dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 178.


Kemudian, hukuman untuk pencurian berupa Hudud yaitu pemotongan tangan atau kaki. Tergantung pada nilai barang yang dicuri. Begitu pun pembegalan, ia akan dipotong tangan dan kakinya secara bersilang karena telah melakukan pencurian dan perusakan seperti penganiayaan atau ancaman terhadap korban.


Ketentuan tersebut berlaku jika pencurian memenuhi syarat-syarat tertentu yang dijelaskan dalam syariat Islam. Firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 38, "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana."


Hukum ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan melindungi harta benda orang lain. Premanisme mencakup berbagai kriminal lainnya, seperti penganiayaan, pemerasan, dan intimidasi. Hakim akan menentukan hukuman yang sesuai dengan bukti dan konteks kejahatan yang dilakukan. Hukum takzir, misalnya hukum yang tidak ditentukan secara spesifik dalam Al-Qur'an dan Sunah, memberikan fleksibilitas kepada hakim untuk mempertimbangkan berbagai faktor.


Pembinaan terhadap ormas itu perlu karena mereka perlu dibimbing dan mendapatkan konseling. Islam menawarkan solusi melalui pendekatan personal maupun sistematik dengan landasan Al-Qur'an dan As-Sunah. Bimbingan spiritual dan konseling psikologis dapat membantu mereka mengatasi masalah emosional yang menjadi penyebab mereka melakukan tindak kriminal.


Ketika pribadi ormas telah dipahamkan dan terarah berdasarkan akidah Islam, tindak kriminal di berbagai wilayah lambat laun menghilang. Ormas akan terorganisir secara baik. Solusi sistemik Islam mendorong pengawasan ketat terhadap TNI, Polri, dan seluruh instansi pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Misalnya, terlibat dalam suap menyuap penegakan hukum bagi preman atau ormas yang telah melanggar hukum. 


Allah secara tegas melarang siapa pun memperoleh harta secara batil. Dalam Q.S An-Nisa: 29, Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu."

Namun demikian, dalam sistem pemerintahan sekuler saat ini, sebaik apa pun cara atau solusi yang dilakukan, dipastikan akan gagal karena sistem pemerintahan Islam memiliki peraturan yang sempurna.


Mengatur dari berbagai aspek kehidupan secara tuntas. Sistem pemerintahan yang didasarkan pada akidah Islam dan hukum Islam secara menyeluruh. Hanya dengan sistem peradilan Islam para premanisme diberantas dan ditiadakan. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]‎

Antara Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan, di Mana Letak Keadilan?

Antara Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan, di Mana Letak Keadilan?



Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul representasi dari dua kelas masyarakat yang berbeda

Dengan bentuk ketimpangan yang dilembagakan ini, negara seolah ingin berkata, “Tidak semua anak berhak atas pendidikan terbaik.”

_________________________


Penulis Fatimah Al-Fihri

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Apoteker 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Di negeri ini, fenomena anak putus sekolah menjadi problematika yang tak kunjung usai. Bukan karena tak mau belajar, tetapi karena sekolah bukanlah prioritas ketika isi dapur belum terpenuhi. Menurut data dari www.tirto.id (19-05-2025), sejumlah 3,9 juta lebih anak tak bersekolah dan kesulitan ekonomi menjadi faktor penyumbang paling besar. Selain itu, kesenjangan akses pendidikan antara keluarga miskin dan kaya masih cukup besar. Ini adalah realita pahit bahwa pendidikan, yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara, masih belum sepenuhnya bisa diakses secara merata.


Upaya pemerintah memang patut diapresiasi. Berbagai program bantuan seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) telah lama disalurkan untuk membantu keluarga miskin. Belum lama ini, pemerintah juga merancang program Sekolah Rakyat yang diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, serta Sekolah Garuda Unggul yang menyasar kalangan menengah atas. Beberapa daerah bahkan mulai memberlakukan sekolah swasta gratis bagi siswa tidak mampu, seperti yang dilakukan di Jawa Tengah. Pemerintah telah berusaha memperluas akses pendidikan, tetapi apakah program-program ini mampu menjawab akar persoalan sistem pendidikan?


Solusi Tambal Sulam


Alih-alih menyelesaikan akar masalah, kebijakan terbaru ini justru semakin melanggengkan ketimpangan pendidikan. Munculnya dua tipe sekolah, satu untuk si miskin, satu lagi untuk si kaya. Seolah menegaskan bahwa pendidikan hari ini telah mengalami segmentasi kelas sosial. Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul menjadi representasi dari dua kelas masyarakat yang berbeda. Dengan bentuk ketimpangan yang dilembagakan seperti ini, negara seolah ingin berkata, “Tidak semua anak berhak atas pendidikan terbaik."


Pemberian bantuan finansial seperti BOS dan KIP memang membantu, tetapi hanya bersifat jangka pendek. Program seperti ini berfungsi sebagai bantalan sosial, bukan solusi tuntas masalah struktural. Ketika biaya pendidikan terus meningkat, sementara akses terhadap kualitas pendidikan masih dipengaruhi oleh daya beli, maka ketimpangan akan terus berulang dari generasi ke generasi. Alih-alih menghapus akar kemiskinan melalui pendidikan, sistem pendidikan hari ini justru menunjukkan ketimpangan ekonomi melalui skema biaya pendidikan yang tinggi, khususnya untuk pendidikan berkualitas.


Kapitalisme dan Komodifikasi Pendidikan


Ketimpangan akses pendidikan hari ini adalah hasil dari logika tambal sulam yang khas dari sistem kapitalisme. Negara tidak bertanggung jawab menjamin hak pendidikan, melainkan sekadar menyalurkan bantuan. Sistem ini meniscayakan transformasi pendidikan dari yang mulanya hak dasar warga negara menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Lembaga pendidikan hari ini baik swasta maupun negeri berlomba-lomba menjual gelar, sertifikat, dan jenjang karir dengan harga yang tinggi.


Dalam paradigma kapitalisme, ji pendidikan dipandang sebagai investasi individu. Artinya, hanya mereka yang mampu berinvestasi yang akan menikmati hasilnya. Ini melahirkan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Pendidikan akhirnya menjadi jalur untuk memperbaiki nasib ekonomi, bukan sebagai proses pembentukan karakter, peradaban dan nilai luhur. Anak-anak dari keluarga kurang mampu pun harus menerima realita bahwa masa depan mereka ditentukan oleh kondisi ekonomi keluarga, bukan oleh semangat dan kecerdasan mereka.


Islam Menjamin Pendidikan


Berbeda dengan paradigma kapitalistik, Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar yang bersifat syar’i. Artinya, negara wajib memenuhinya tanpa dikaitkan dengan status sosial atau daya beli. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh menyediakan pendidikan secara gratis dan berkualitas bagi seluruh warganya. Negara tidak boleh menyerahkan pendidikan kepada swasta sebagai komoditas ekonomi, karena pendidikan adalah amanah yang menentukan arah peradaban.


Pendidikan dalam Islam bukan sekadar untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi, tetapi membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiah), serta mencetak generasi yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan siap memimpin peradaban. Negara bertanggung jawab atas kurikulum, tenaga pendidik, fasilitas, dan pembiayaan. Sumber dananya berasal dari Baitul Mal, termasuk zakat, kharaj, jizyah, dan pengelolaan sumber daya alam yang halal dan sah menurut syariat.


Model pendidikan Islam juga terbukti berhasil dalam sejarah. Pada masa Khilafah Islam, institusi-institusi pendidikan seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad dan universitas-universitas di Andalusia terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa biaya. Ilmuwan dari berbagai latar belakang mampu lahir dari sistem yang tidak mengenal kasta sosial. Anak dari keluarga miskin dan kaya akan duduk di ruang kelas yang sama, dididik oleh guru yang sama, dengan kurikulum yang sama.


Islam menawarkan kerangka sistem yang menyatukan antara tanggung jawab negara dengan prinsip keadilan. Paradigma inilah yang perlu dikaji dan ditawarkan kepada bangsa ini. Sebab jika kita terus bertumpu pada sistem yang menciptakan jurang ketimpangan, maka kita tidak hanya mengabaikan hak anak-anak kita, tapi juga mengorbankan masa depan bangsa.


Sudah saatnya kita memikirkan ulang arah pendidikan generasi selanjutnya. Kita tidak bisa terus mengandalkan solusi-solusi jangka pendek yang bersifat populis, apalagi membiarkan pendidikan terjebak dalam logika pasar bebas. Jika pendidikan adalah hak, maka ia harus dijamin. Jika pendidikan adalah dasar kemajuan bangsa, maka negara harus hadir secara penuh. Wallahualam bissawab. [GSM-MKC]