Featured Post

Recommended

MUI Kabupaten Bandung Membentuk LBH, Mampukah Menciptakan Keadilan?

Jika berharap dengan adanya LBH di Kabupaten Bandung akan mewujudkan keadilan bagi masyarakat miskin itu hanya mimpi besar karena tidak akan...

Alt Title
MUI Kabupaten Bandung Membentuk LBH, Mampukah Menciptakan Keadilan?

MUI Kabupaten Bandung Membentuk LBH, Mampukah Menciptakan Keadilan?



Jika berharap dengan adanya LBH di Kabupaten Bandung akan mewujudkan keadilan bagi masyarakat miskin

itu hanya mimpi besar karena tidak akan terwujud


__________________________


Penulis Ummu Bagja Mekalhaq 

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung melakukan gebrakan dengan membentuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) diawali grand launching, Jumat 17 Oktober 2025.


Grand Launching dihadiri Wamendikdasmen Prof. H. Atip Latipulhayat Bupati Bandung HM Dadang Supriatna atau Kang DS, Ketua Pengadilan Agama Soreang H. Abu Jahid Darso Atmojo, Ketua LBH MUI Ustaz H. Yudi Wildan Latief, Ketua Umum MUI Kabupaten Bandung KH. Yayan Hasuna Hudaya dan para pengurus MUI kecamatan. (sekitarbandung.com)


Pembentukan LBH ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin agar mudah mendapatkan layanan bantuan hukum bagi yang membutuhkan. Karena, saat ini beragam masalah hukum sering menimpa mereka dan sulit dipecahkan kecuali dengan bantuan hukum. Untuk itu, MUI dengan  penuh kesadaran membentuk LBH dan launching tanggal 17 Oktober 2025.


Namun sayang, jika dilihat dari fakta yang ada pelanggaran hukum ini terjadi masif dan signifikan dipicu oleh kasus perebutan hak milik harta, misal sengketa tanah, rumah dan lain-lain. Salah satu kasus penyerobotan tanah masif terjadi di Kabupaten yang menimpa para petani yang lahannya dibeli paksa untuk pengembangan infrastruktur, misal pembangunan jalan tol.


Kasus lain penyerobotan rumah warga Kabupaten Bandung yang diambil paksa oleh pemberi utang terutama rentenir. Biasanya, kasus ini sulit diselesaikan di pengadilan karena tidak ada bukti yang kuat baik perjanjian tertulis atau perjanjian tidak tertulis antara pemberi utang atau rentenir dan yang utang. Artinya, terbentur oleh masalah administrasi yang buruk.


Ditambah lagi, banyaknya masyarakat yang buta akan hukum, baik hukum pidana atau hukum perdata. Alhasil, saat ada pelanggaran terhadap hukum sulit untuk membuat laporan dan bagaimana proses yang harus ditempuh? Untuk itu, ide yang dibentuk oleh MUI berupa LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Kabupaten Bandung merupakan angin segar dan patut diapresiasi.


Namun, perlu dikritisi pula bahwa LBH yang dibentuk oleh MUI bukan satu-satunya wadah bagi masyarakat Kabupaten Bandung untuk mendapatkan keadilan. Mengingat aturan yang diterapkan saat ini demokrasi kapitalis. Pesimis jika Kehadiran LBH MUI Kabupaten Bandung mampu membela masyarakat lemah yang membutuhkan keadilan. 


Karena aturannya dibangun atas asas manfaat yang dikejarnya adalah materi. Jadi, kasus hukum yang masuk via LBH akan diproses jika yang mengajukan siap memenuhi syarat administrasi. Pada akhirnya seseorang akan dibela saat biaya administrasinya lancar.


Lebih jelasnya biaya operasional untuk tuntasnya satu kasus butuh biaya dan proses administrasi yang sulit ditempuh oleh orang miskin. Kondisi inilah yang mustahil bagi LBH yang dibentuk MUI bisa membantu masyarakat miskin. Karena faktanya setiap kasus yang akan ditangani harus ada uang atau biaya.


Keadilan itu tidak mungkin didapatkan dalam sistem demokrasi kapitalis. Sistem demokrasi kapitalis ini sudah jelas bobroknya. Bahkan, sistem demokrasi kapitalis ini membentuk manusia rakus sehingga setiap ada kasus terjerat hukum, ada orang-orang yang memanfaatkan situasi dan kondisi. 


Bagi orang yang paham terhadap hukum pasti mampu bermain-main di dalamnya. Mereka akan pura-pura membantu memberi solusi masalah, tetapi penuh intrik haus uang sehingga mata rantai buruk ini perlu diputus agar kezaliman sosial, ekonomi kapitalis enyah dari negeri muslim terbesar ini.


Sistem demokrasi kapitalis telah menghantarkan ke jurang kehancuran. Di mana kezaliman merajalela dengan cepat dan masif serta makin bertambah parah. Banyak masyarakat tidak mendapatkan keadilan. Untuk hidup layak saja sekadar bisa makan itu pun sulit terwujud.


Karena dalam sistem demokrasi kapitalis kekayaan itu berpusat pada segelintir orang. Di mana orang kaya makin kaya, orang miskin makin miskin. Lebih parah lagi, efek dari kemiskinan itu banyak masyarakat mati karena kelaparan.


Jika berharap dengan adanya LBH di Kabupaten Bandung akan mewujudkan keadilan bagi masyarakat miskin, itu hanya mimpi besar karena tidak akan terwujud. Dalam sistem demokrasi kapitalis, keadilan berpihak pada pemilik modal besar atau orang-orang kaya  yang bisa membeli hukum. Artinya, hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.


Keadilan itu Hanya ada dalam Islam Kafah 


Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, keadilan itu hak bagi setiap warga masyarakat. Ketika seseorang terbentur hukum, maka harus tegak di dalamnya hukum Islam. Jika seseorang melakukan pelanggaran hukum akan ditindak sesuai dengan bentuk pelanggaran.


Dalam Islam, proses hukum itu teliti dan hati-hati, ada klarifikasi sebelum ditindak. Terlebih dahulu harus ada fakta dan bukti yang kuat juga jelas agar dapat diproses dengan benar sesuai Al-Qur'an, sunah sehingga hasilnya berupa keadilan.


Keadilan hukum dalam Islam itu mutlak harus ada. Agar umat manusia selamat di dunia hingga di akhirat kelak. Keadilan hukum dalam Islam tidak pandang bulu, baik untuk orang kaya atau orang miskin, kedudukannya sama di hadapan hukum.


Misalnya, jika seorang pencuri mengambil hak orang lain, mengambil dari melebihi kebutuhan makan, maka harus dipotong tangannya. Artinya, siapa yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkannya di hadapan hukum Allah. Sesuai yang dicontohkan oleh baginda tercinta Rasulullah saw. berkata: "Jika Fatimah putriku yang  mencuri, maka akulah yang akan memotong tangannya."

 

Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Maraknya Fatherless Akibat Sistem Rusak

Maraknya Fatherless Akibat Sistem Rusak




Fenomena fatherless bukan seuatu yang terjadi secara alami

melainkan karena dukungan sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan dalam tatanan masyarakat dan negara


___________________________


Penulis Imelda Inriani, S. P

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS -.Ramai menjadi perbincangan media di Indonesia terkait dengan fatherless, yakni fenomena ketidakhadiran peran ayah dalam pengasuhan, baik secara fisik maupun psikologis.


Menurut Analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, sebanyak 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau fatherless. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang darai 18 tahun. Dari 15,9 juta diketahui bahwa 4,4 juta  diantaranya tinggal di keluarga tanpa ayah.


11,5 juta diantaranya tinggal bersama ayah yang memiliki jam kerja lebih dari 60 jam per pekan atau lebih dari 12 jam per hari. Artinya, ayah lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah ketimbang bertemu anak di rumah. (Voi.id, 11-10-2025)


Berbagai hasil penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa kehadiran ayah memiliki dampak signifikan terhadap keseimbangan emosional, perkembangan sosial dan prestasi akademik anak. Alhasil, anak yang tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah cenderung memiliki tingkat stres lebih tinggi, risiko kenakalan remaja, serta kesulitan dalam membangun kepercayaan diri dan identitas yang sehat.


Di Indonesia sendiri dampak fatherless makin terasa dampaknya akibat sistem pendidikan dan sosial yang belum mampu menyediakan ruang kompensasi bagi kekosongan tersebut. Sekolah lebih fokus pada aspek kognitif, sementara lembaga sosial belum banyak memperkuat peran keluarga sebagai lingkungan tumbuh kembang yang utuh. Akhirya, anak-anak tersebut akan mengisi ruang kekosongan itu dengan mencari figur pengganti di luar rumah seperti teman sebaya, media sosial, bahkan tokoh publik yang belum tentu dapat memberikan teladan positif. (Tagar.co 08-10-2025)


Fatherless Buah dari Sistem Rusak


Fenomena fatherless merupakan hal serius yang harus segera diselesaikan hingga akar permasalahannya yakni dengan mengembalikan kembali peran ayah yang sesungguhnya, yaitu sebagai qawwam dalam keluarga. Dalam hal ini mencari nafkah sekaligus menjadi teladan dalam pendidikan anak. Namun, pada realitas sekarang, tidak banyak anak yang merasakan peran ayah tersebut.


Penyebab yang paling mendasar adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme – sekuler di segala aspek. Pertama, kapitalisme dalam bidang ekonomi. Kondisi ini ayah dipaksa membanting tulang dan menguras tenaga hingga waktunya dihabiskan untuk mencari uang agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan, tidak sedikit ayah terpaksa mengabaikan perannya dalam membersamai tumbuh kembang anak karena tenaganya sudah habis digunakan untuk mencari nafkah di luar rumah. 


Kebijakan kapitalisme juga memaksa rakyat untuk menanggung beban kehidupannya masing-masing. Hal ini sangat selaras dengan prinsip ide ini yakni mengambil keuntungan untuk diri mereka, yakni para kapitalis. Kebijakan dibuat selaras dengan kepentingan mereka.


Sedangkan rakyat tidak mendapatkan manfaatnya sama sekali justru menyulitkan keadaan mereka misal pajak yang tinggi, layanan kesehatan, pendidikan yang sulit dijangkau, kebutuhan pokok yang mahal dan lain sebagainya. Sehingga rakyat, terutama para ayah terpaksa membanting tulang bahkan ada yang mengambil pekerjaan ganda untuk memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) dengan mengorbankan waktu bersama anak. 


Kedua, kapitalisasi pendidikan yang juga tidak lepas dari penyebab terjadinya fatherless. Di mana orientasi pendidikan saat ini hanya fokus pada pencapaian materi semata. Alhasil, produk yang dihasilkan oleh sistem pendidikan saat ini sudah jauh dari sebagaimana mestinya. 


Realitas saat ini adalah siswa dan siswi yang merupakan calon ayah maupun calon ibu tidak diberi bekal bagaimana ia nantinya ketika menyandang peran sebagai ayah atau ibu, apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab yang harus ditunaikan untuk keluarganya. Kebalikannya, saat ini dapat kita lihat bagaimana potret keluarga yang ada di sekitar kita. Tidak sedikit kasus KDRT dan perselingkuhan yang terjadi. Hal ini yang menjadikan bangunan keluarga menjadi rawan rapuh dan runtuh sehingga berujung fatherless.


Dalam sistem kapitalisme, fungsi ayah yang harusnya memberikan rasa aman dan nyaman bagi keluarganya terutama bagi anak dan istrinya lama kelamaan akan terkikis. Keluarga tidak ada rasa aman dan anak kehilangan figur ayah dalam kehidupannya.


Hal ini menunjukkan fenomena fatherless bukan sesuatu yang terjadi secara alami, melainkan karena dukungan sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan dalam tatanan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, untuk mengatasi fenomena fatherless harus diselesaikan mulai dari akarnya, yakni mencabut sistem ini di tengah-tengah masyarakat kemudian menerapkan Islam yang sempurna.


Islam Solusi Tuntas Atasi Fatherless


Dalam sistem Islam, Allah menciptakan laki-laki sebagai pemimpin dan penanggung jawab bagi keluarganya terutama istri dan anaknya. Allah berfirman : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), juga karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (kepada perempuan) (QS. An Nisa [4]: 34)


Sabda Rasulullah saw.: ‘’Dan laki-laki adalah pemimpin anggota keluarganya dan ia dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya,dan istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan ia dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka." (HR. Bukhari)


Berdasarkan ayat dan hadis di atas ayah bertanggung jawab terhadap keluarganya, termasuk dalam pendidikan. Bahkan Rasulullah telah menekankan peran penting bagi ayah dalam pemberian pendidikan kepada anaknya melalui hadis: “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orangtua kepada anaknya selain (pendidikan) adab yang baik.” (HR. Al Hakim No.7679)


Hal ini menunjukkan bahwa tugas ayah tidak hanya memberikan nafkah kepada keluarganya tetapi wajib untuk memberikan pendidikan. Ayah tidak boleh meninggalkan fungsinya memberikan pendidikan dengan dalih sibuk mencari nafkah. 


Dalam sistem Islam, seluruh ayah tentu dengan mudah menjalankan perannya dalam pemberian pendidikan anak. Karena dalam Islam aspek politik yang dijalankan semata-mata untuk meraih rida Allah dengan ketaatan secara total. Dengan demikian, kebijakan yang diterapkan akan berorientasi pada kemaslahatan rakyat.


Mulai dari pemberian layanan gratis sehingga para ayah tidak lagi memusingkan dan mengkhawatirkan terkait biaya pendidikan, kesehatan, transportasi lain sebagainya. Para pencari nafkah tidak akan dibebani dalam pembayaran ini dan itu seperti yang terjadi saat ini. 


Negara akan dengan mudah menyediakan lapangan pekerjaan bagi para ayah dengan pengelolaan sistem ekonomi islam yang diterapkan, misalnya pengelolaan SDA yang di mana tidak boleh dikelola oleh orang asing seperti saat ini. Negara akan mengelola SDA yang melimpah yang ada di dalam negeri dan manfaat sebesar-besarnya akan dikembalikan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk para pemilik modal seperti hari ini.


Dengan begitu, para ayah tidak menghabiskan waktunya hanya untuk mencari nafkah saja. Adanya penerapan sistem Islam dengan mudah ayah menjalankan perannya sebagai pemberi nafkah dan pemberi pendidikan bagi keluarganya.

 

Hal ini tidak terlepas dari peran negara yang mendukung dan bahkan mendorong para ayah untuk sukses menjalankan perannya tersebut. Tentu hal itu hanya bisa terwujud dengan penerapan Islam secara menyeluruh dalam tatanan negara dengan sistem Islam. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Ketika Sistem Patriarki dan Kapitalis Melahirkan Generasi Fatherless

Ketika Sistem Patriarki dan Kapitalis Melahirkan Generasi Fatherless



Fenomena fatherless bersumber pada sistem ekonomi dan sosial yang tidak ramah keluarga

Sistem kapitalis yang berorientasi pada akumulasi profit telah menciptakan kultur kerja yang eksploitatif

____________


Penulis Eva Fatmah Hasan, S.P.d. I

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Fenomena "fatherless" kian menjadi isu sosial yang mendesak di Indonesia. Fenomena fatherless tidak melulu tentang ketidakhadiran ayah secara fisik, tetapi lebih kepada kekosongan peran, bimbingan, dan kehangatan seorang figur ayah dalam kehidupan sehari-hari.

 

Banyak anak yang merasa seakan-akan tidak memiliki ayah, meskipun sang ayah tinggal dalam satu atap yang sama. Krisis ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan peran dalam keluarga, yang akarnya harus ditelusuri pada sistem sosial dan ekonomi yang berlaku, bukan sekadar masalah individu.


Data berbicara dengan cukup jelas. Berdasarkan analisis tim Jurnalisme Data Harian Kompas, 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau Fatherless. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun. Temuan ini merujuk pada olahan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik Maret 2024.

 

Dari 15,9 juta itu, 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah. Sementara itu, 11,5 juta anak lain tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari. Artinya, seorang ayah lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah daripada bertemu anak di rumah. (Kompas.com, 8 Oktober 2025)


Apa Dampak dari Fatherless Ini? 


Ketidakhadiran sosok ayah akan menimbulkan kekosongan emosional yang disebut father hunger, atau kerinduan anak terhadap kehadiran dan kasih sayang dari figur seorang ayah. Hal ini bisa menimbulkan dampak serius bagi perkembangan sosial, psikologis, dan akademik anak.

 

Sebuah studi yang dilakukan oleh Blankenhorn (1995) dan Amato & Gilbreth (1999) menunjukkan bahwa anak-anak tanpa kehadiran ayah yang terlibat berisiko mengalami harga diri rendah, gangguan kecemasan, depresi, dan kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat. Mereka juga cenderung memiliki prestasi akademik yang buruk, lebih sering absen dari sekolah, dan memiliki risiko lebih tinggi untuk putus sekolah (UNICEF, 2007). Tidak hanya itu, anak fatherless juga rentan terhadap keterlibatan dalam kenakalan remaja, perilaku seksual berisiko, hingga tindakan kriminal (Psychology Today, 2021) 


Jika ditelisik lebih dalam, akar dari fenomena ini bersumber pada sistem ekonomi dan sosial yang tidak ramah keluarga. Sistem kapitalis yang berorientasi pada akumulasi profit telah menciptakan kultur kerja yang eksploitatif.

 

Para ayah dipaksa untuk bekerja lembur, menghadapi tekanan target yang tinggi, dan menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan untuk menempuh perjalanan panjang ke kantor. Dalam sistem ini, kesuksesan seorang laki-laki sering kali diukur semata dari kemampuannya mencari nafkah material sehingga mereka terjebak dalam siklus "kerja, pulang lelah, tidur, dan kerja lagi."


Di sisi lain, sistem patriarki turut andil dalam memperparah keadaan. Patriarki menempatkan ayah sebagai "pencari nafkah tunggal" yang tugas utamanya adalah menyediakan sandang, pangan, dan papan. Sementara peran pengasuhan dan pendidikan anak sepenuhnya dibebankan kepada ibu. 

 

Pembagian peran yang kaku ini membuat kehadiran ayah di rumah seolah hanya bersifat komplementer, bukan suatu keharusan. Akibatnya, terciptalah jarak emosional antara ayah dan anak karena sang ayah tidak terlibat secara mendalam dalam proses tumbuh kembang dan dunia sehari-hari anak-anaknya.


Pemahaman ini juga bisa diakibatkan dari warisan orangtua sebelumnya, bahwa tugas ayah adalah pencari nafkah. Jika pun terlibat pengasuhan, mereka akan masuk di ranah penegak disiplin saja. Hasilnya komunikasi yang tercipta tidak luwes, tidak masuk pada jiwa anak, dan cenderung terasa galak oleh para anak. Tak jarang ketika pulang kerja, mereka menyapa anaknya dengan ala kadarnya, seperti “Sudah mengerjakan PR belum?” “Sudah salat belum?” Padahal anak butuh lebih dari sekadar pertanyaan-pertanyaan itu. 


Bagaimana Islam Menyolusinya?


Islam sebagai agama yang sempurna menawarkan solusi mendasar untuk memutus mata rantai fatherless ini. Islam mendefinisikan peran ayah tidak sekadar sebagai "wallet" (dompet), tetapi sebagai "qawwam" – pemimpin, pelindung, dan penjaga bagi keluarganya. Sebagaimana firman Allah Swt.: "Laki-laki (suami) adalah pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan satu sama lain dan karena mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisa: 34)


Makna "qawwam" di sini sangat luas, mencakup tanggung jawab material, spiritual, pendidikan, dan perlindungan yang semuanya membutuhkan kehadiran fisik dan emosional.

 

Rasulullah saw. juga telah memberikan teladan terbaik (uswah hasanah) sebagai seorang ayah. Beliau selalu menyempatkan waktu untuk bermain dengan anak-anak, menunjukkan kasih sayang secara fisik, dan terlibat langsung dalam pengasuhan. Sabda beliau, "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku." (HR. Tirmidzi)


Hadis di atas menegaskan bahwa kebaikan seorang laki-laki diukur juga dari kualitas interaksinya di dalam rumah. Nafkah memang penting, tetapi ia bukanlah satu-satunya tolok ukur. Keterlibatan aktif dalam mendidik anak, mendengarkan cerita mereka, dan menjadi sosok yang penyayang adalah kewajiban yang setara.


Pada zaman khulafaur rasyidin meski istilah fatherless belum hadir, tetapi para pemimpin saat itu memberikan kebijakan utama terletak pada jaminan ekonomi dan keadilan sosial. Seperti Khalifah Umar bin Khattab melalui Baitulmal memberikan tunjangan tetap kepada setiap warga, termasuk anak-anak. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok oleh negara, beban finansial para ayah tidak lagi mengimpit. Mereka tidak dipaksa untuk menghabiskan seluruh waktunya mencari nafkah sehingga memiliki ruang lebih besar untuk hadir secara fisik dan emosional di tengah keluarga.

 

Selain itu, para khalifah juga menjadi teladan langsung dan menegakkan hukum keluarga Islam yang protektif. Mereka sendiri, seperti Ali bin Abi Thalib menunjukkan keseimbangan antara urusan negara dan keterlibatan sebagai ayah dalam pengasuhan anak. 


Secara sistem, hukum Islam yang ditegakkan melindungi hak-hak anak untuk mendapat nafkah dan pengasuhan, serta melarang praktik-praktik yang dapat melahirkan anak tanpa ayah yang jelas. Dengan demikian, stabilitas keluarga terjaga dan peran ayah sebagai qawwam (pelindung dan penjaga) dapat diwujudkan secara utuh.


Oleh karena itu, mengatasi krisis fatherless memerlukan perubahan paradigma yang komprehensif. Setiap ayah harus menyadari bahwa tanggung jawabnya melampaui sekadar menyediakan uang belanja. Keluarga muslim perlu membangun budaya di mana peran pengasuhan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya ibu. Di tingkat masyarakat dan negara, perlu ada advokasi untuk kebijakan kerja yang pro-keluarga, seperti jam kerja yang manusiawi dan hak cuti ayah yang memadai. 


Dengan kembali kepada tuntunan Islam, kita dapat mengembalikan ayah pada posisi sejatinya: sebagai pilar keluarga yang tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga hadir sepenuhnya dengan hati, waktu, dan cinta untuk anak-anaknya. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]

Islam Solusi Tuntas Fatherless

Islam Solusi Tuntas Fatherless



Ayah berperan penting dalam peranan tauhid, pembiasaan ibadah, menasihati untuk takwa

pergaulan secara makruf dan menjadi teladan dalam kepemimpinan

____________________________


Penulis Iis Rukoyah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Saat ini, fenomena fatherless sedang banyak diperbincangkan di ruang-ruang digital anak muda. Fatherless dapat diartikan ketiadaan sosok ayah secara fisik maupun emosional.

 

Secara fisik, fatherless berarti sang ayah tidak tinggal bersama anaknya. Bisa disebabkan oleh kematian, perceraian atau pekerjaan ayah yang jauh dari rumah. Sedangkan secara emosional, fatherless yaitu anak tidak memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya. Anak yang mengalami masalah fatherless berisiko terkena depresi, kecemasan, dan masalah harga diri.


Pada saat ini, jutaan anak Indonesia mengalami fatherless yang tinggi, bahkan mengkhawatirkan. Dilansir Kompas.com, (10-10-2025), berdasarkan olah data tim jurnalis dari Survei Sosial Ekonomi  Nasional (SuSeNAs) Maret 2024, ada 25,9 juta anak atau setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak yang berusia kurang dari 18 tahun yang berpotensi mengalami fatherless. Sebanyak 4,4 juta anak tidak tinggal bersama ayah. Adapun 11,5 juta anak memiliki ayah yang sibuk bekerja atau separuh harinya lebih banyak bekerja di luar rumah. 


Generasi fatherless tidaklah lahir dari ruang hampa, tetapi lahir dari sistem kapitalis sekuler. Dari deretan kebijakan dan peraturan yang secara sistematis mengesampingkan peran ayah dalam pendidikan dan pengasuhan. Hal ini menyebabkan rentetan masalah yang tak bisa dihindari, yakni perceraian, ayah bekerja di luar kota, ayah melakukan KDRT, dan hubungan yang buruk (ayah hadir secara fisik, tetapi tidak ada kedekatan dan komunikasi dengan anak).


Keluarga Disfungsi


Dikutip Kompas.id, Selasa (15-08-2025), tercetus dari sebuah pesta perkawinan bernama komunitas Satu Meja Makan yang terbentuk pada April 2025. Komunitas pendukung tanpa figur ayah tersebut dimotori oleh pengalaman personal, profesional dan psikologi, yakni Irish Amalia dan Fadhilah Eryananda yang selama ini banyak menangani kasus keluarga  disfungsi.

 

Menurut Fadhilah, keluarga disfungsi adalah keluarga yang tidak berfungsi sebagaimana layaknya keluarga. Keluarga tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik, sandang, pangan, papan, memberikan rasa aman, kebutuhan emosional, dan psikologi anak. Jadi, menurut Fadhilah jika satu peran dan fungsi keluarga tidak terjadi, maka keluarga itu menjadi keluarga disfungsi dan fatherless menjadi salah satunya.


Penyebab dari fatherless, di antaranya:

 

1. Tingginya perceraian berpengaruh besar pada maraknya fatherless. Tahun 2024, Badan Peradilan Agama (Badelag) Mahkamah Agung mencatat ada 446.359 perceraian. Meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 408.347 kasus.

 

2. Faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terbesar perceraian. Kondisi ekonomi yang sulit membuat para ayah kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga, walau sudah bekerja keras.

 

3. Sempitnya lapangan pekerjaan, sedangkan tuntutan kebutuhan hidup makin berat. Akibatnya, ayah lama meninggalkan keluarga dan merantau ke tempat kerja yang jauh. Hal ini berdampak pada minimnya komunikasi dengan anak.

 

4. Diterapkannya sistem kapitalis kehidupan menjadikan sebagian orang tua lebih mementingkan mengejar materi (harta dan jabatan) daripada meluangkan waktu untuk pengasuhan dan pendidikan anak.

 

5. Seiring dengan kehidupan yang sekuler, umat Islam semakin jauh dari pemahaman agama. Tidak banyak orang tua yang memahami peran penting ayah sebagai pemimpin dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Pengasuhan anak diserahkan pada ibu semata. Krisis teladan kepemimpinan akhirnya terjadi.


Solusi Fatherless Butuh Sistem yang Sistematis


Allah Swt. menciptakan laki-laki sebagai pemimpin, penanggung jawab bagi keluarganya termasuk anak-anaknya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an surah An-Nisa (4): 34 yang artinya, 

 

"Kaum laki-aki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) juga kaum mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (perempuan).


Berdasarkan ayat di atas, ayah bertanggung jawab terhadap keluarga, termasuk dalam urusan pendidikan. Bahkan pendidikan merupakan aspek yang harus diperhatikan oleh ayah. Rasulullah saw. bersabda: "Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain (pendidikan) adab yang baik." (HR. Al-Hakim no. 7679)


Syaikh Taqiyudin an-Nabhani menjelaskan dalam kitab Nidzam Al-Ijtima fi Al-Islam bab perwalian ayah, "bahwa ayah adalah kepala rumah tangga, pemimpin sekaligus pengurus, sudah seharusnya ia memiliki perwalian (wilayah) atas rumah tangga. Ayah adalah wali bagi anak-anaknya, baik masa kecil maupun yang sudah besar tetapi belum balig. Baik bagi anak laki - laki atau pun perempuan. Baik perwalian yang terkait dengan jiwa maupun harta.


Peran ayah dalam pendidikan anak sama pentingnya dengan peran ibu. Al-Qur'an menggambarkan peran penting ayah dalam pendidikan anak pada QS. Lukman ayat 17 yang artinya, (Lukman berkata) "Wahai anakku dirikanlah shalat, suruhlah (manusia) berbuat yang ma'ruf dan cegahlah dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting."


Ayah berperan penting dalam peranan tauhid, pembiasaan ibadah, menasihati untuk takwa, pergaulan secara makruf, dan menjadi teladan dalam kepemimpinan. Namun, untuk bisa menjalankan peran ini ayah butuh persiapan ilmu dan dukungan yang sistematis.


Dalam Islam, peran ayah dalam keluarga sangat menentukan bagaimana masa depan anak. Dalam hal ini, negara akan mensupport peran ayah dengan memberikan lapangan kerja serta upah yang layak dan jaminan  kehidupan sehingga ayah bisa memiliki waktu yang cukup bersama anak.


Untuk menggapai hal di atas kita butuh sistem yang benar-benar bisa mewujudkannya. Tiada lain dan tiada bukan hanyalah dengan menerapkan Islam secara kafah dalam bingkai Khil4fah. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja: Fondasi Moral Dibutuhkan

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja: Fondasi Moral Dibutuhkan



Ketahuilah bahwa kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan remaja bukan sekadar masalah perilaku

tetapi sebuah gejala dari penyakit yang sistemik


________________________


Penulis Haifa Manar

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan yang dilakukan remaja kini bukan lagi kasus terpisah. Keduanya adalah dua sisi dari koin yang sama: retaknya keluarga di bawah sistem sekuler-liberal sebab tidak ada yang tahu bahwa di balik tembok rumah yang tampak utuh acapkali tersembunyi jeritan yang tak terdengar. Jeritan seorang istri yang dipukul tanpa daya, anak yang menyaksikannya kemudian menahan trauma di sudut kamar, atau remaja yang kerap menyalurkan luka batinnya melalui kekerasan.


Dilansir dari Goodstats.id (14-09-2025), berdasarkan data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) per September 2025. Jumlah kasus KDRT di Indonesia mencapai lebih dari 10.000 perkara. Itu pun belum termasuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya.


Di Dairi, seorang ayah tega melakukan kekerasan seksual pada anaknya yang berusia 15 tahun hingga tiga puluh kali. Di Malang, seorang suami membakar istrinya sendiri dan menguburnya di kebun tebu. Sementara di sisi lain, para remaja yang seharusnya tumbuh dengan kasih sayang dan bimbingan justru beralih menjadi pelaku kekerasan. Dari kasus pembunuhan bocah SD, pengeroyokan sesama pelajar, hingga penganiayaan terhadap keluarganya sendiri.


Pada hakikatnya, kekerasan dalam rumah tangga tidak lahir dari ruang kosong. Ia berawal tumbuh dari akar yang dalam. Akar sekularisme yang menyingkirkan nilai-nilai agama dari kehidupan. Tatkala takwa tak lagi menjadi dasar keluarga, tatkala rumah dibangun di atas fondasi materialisme dan kebebasan tanpa batas, cinta dan kasih akhirnya kehilangan arah.


Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan pulang. Kini berubah menjadi arena pertarungan ego. Di mana suami kehilangan peran sebagai pemimpin yang melindungi, istri kehilangan arah sebagai pendamping yang menenangkan, dan anak-anak kehilangan teladan untuk ditiru.


Sesungguhnya, sekularisme telah menjadikan manusia untuk hidup tanpa kesadaran akan tanggung jawab moral di hadapan Allah. Kehidupan dalam lingkup keluarga dikendalikan oleh standar duniawi: kesuksesan hanya diukur dari materi, kebahagiaan hanya ditakar dari kemewahan, cinta diganti dengan kepentingan duniawi dan dianggap sebagai komoditas belaka. 


Ketika tekanan ekonomi tersebut datang, atau masalah kecil memuncak. Tak ada lagi penopang spiritual yang mampu menahan amarah. Demikian, kekerasan menjadi pelarian, dan akhirnya berujung pada kehancuran.


Remaja yang Tumbuh Tanpa Arah


Dampak dari keluarga yang rapuh ternyata menjalar ke generasi-generasi berikutnya. Oleh sebab itu, remaja yang tumbuh tanpa teladan dan kasih sayang akan mencari pelampiasan di luar rumah. Mereka belajar dari media sosial yang seakan bebas dari nilai-nilai moral.


Apa pun bisa mereka jangkau hanya dengan benda tipis canggih bernama gawai. Dari sanalah, mereka meniru perilaku kekerasan yang ditampilkan dalam budaya pop, dan membentuk jati diri tanpa dibersamai dengan bimbingan moral.


Di samping itu, pendidikan dalam sistem sekuler-liberal menanamkan paham kebebasan tanpa batas. Seolah-olah manusia bisa berbuat sesuka hati mereka atas nama ekspresi diri. Nilai-nilai agama hanya dianggap urusan pribadi, bukan landasan moral bersama. Akibatnya, tumbuhlah generasi yang bebas tetapi kehilangan arah.


Mungkin mereka fisiknya kuat secara kasat mata. Namun, nyatanya rapuh secara jiwa. Inilah wajah buram generasi yang lahir dari keluarga tanpa nilai dasar Islam: merdeka dalam perilaku, tetapi terpenjara dalam kebingungan dan kebahagiaan yang semu.


Negara yang Abai Hukum yang Tak Menyentuh Akar


Pemerintah memang memiliki regulasi, seperti Undang-Undang PKDRT. Namun, aturan itu hanya berhenti pada tataran penindakan hukum. Ia menjerat pelaku, tetapi tidak menyentuh akar yang menumbuhkan kekerasan itu sendiri. Tidak ada juga kebijakan yang sungguh-sungguh memperkuat ketahanan keluarga sejak dari fondasi nilai.


Tidak ada sistem pendidikan yang menanamkan akhlak secara utuh. Tidak ada jaminan ekonomi yang membuat suami istri bisa hidup layak tanpa tekanan. Negara seakan hanya hadir setelah darah kemudian tumpah dan luka kian menganga bukan sebelum semua itu terjadi. Sementara sistem sekuler-liberal tetap dibiarkan beroperasi menggerogoti sendi-sendi keluarga dari dalam kemudian menghancurkannya secara diam-diam.


Islam: Jalan Menegakkan Kembali Fondasi Keluarga


Sehubungan dengan hal itu, Islam telah menawarkan solusi yang bukan sekadar tambalan. Akan tetapi, solusi yang benar-benar menyembuhkan. Sistem pendidikan Islam terbukti berhasil menumbuhkan manusia yang bertakwa dan pribadi yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai hamba dan pemimpin.


Dalam keluarga, Islam mengajarkan keseimbangan peran: di mana suami sebagai berperan qawwam (pemimpin), pelindung dan penanggung jawab, serta istri sebagai pendamping dan pengatur rumah tangga. Hubungan mereka dibangun atas dasar rahmah, bukan dominasi; dijaga dengan kasih sayang, bukan kekuasaan yang mengekang.


Sebagaimana hal ini tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, Dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari No. 6605 dan Muslim No. 1829)


Sungguh demikian, negara dalam sistem Islam juga tidak abai. Ia berperan sebagai raa’in (pelindung) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Negara wajib menjamin kesejahteraan agar keluarga tidak hidup dalam tekanan ekonomi yang bisa memicu kekerasan. Negara memastikan pendidikan berbasis akidah Islam menjadi pondasi utama. Sehingga anak-anak tumbuh dengan kepribadian yang kuat, beradab, dan berakhlakul karimah.


Selain itu, Islam memiliki sistem hukum yang menjerakan pelaku. Bukan semata-mata menghukum, tetapi juga mendidik masyarakat agar tidak lagi melanggar batas syariat, dan mencegah yang lain agar tidak sampai melanggar. Pada hakikatnya, hukum Islam menegakkan keadilan yang sejati sebab ia bersumber dari wahyu Allah bukan dari kompromi atau diskusi manusia.


Saatnya Kembali ke Fondasi Takwa


Ketahuilah bahwa kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan remaja bukan sekadar masalah perilaku. Tetapi, sebuah gejala dari penyakit yang sistemik sebab sistem sekuler-liberal telah mencabut akar moralitas dari kehidupan keluarga, kemudian menggantinya dengan kebebasan yang tidak memiliki arah dan materialisme yang menyesakkan.


Untuk itu, tidak ada terapi yang lebih mujarab daripada kembali kepada aturan Sang Pencipta. Hanya Islam yang mampu menata keluarga dari dasar akidah, menumbuhkan cinta yang berlandaskan ibadah, dan mencetak generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi bertakwa. Karena rumah bukan sekadar tempat bernaung dari hujan dan panas, melainkan juga sebagai tempat di mana iman itu tumbuh, cinta yang perlahan bersemi, dan titik peradaban dimulai. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja



Keretakan keluarga berdampak langsung pada perilaku remaja

Emosi yang tidak terkendali hingga memicu meningkatnya kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja


___________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Geger, remaja 16 tahun di Pacitan, Jawa Timur, membacok nenek angkatnya sendiri. Akibat sakit hati disebut-sebut sebagai cucu pungut (cucu angkat) sehingga korban (nenek) mengalami luka serius dan harus mendapatkan perawatan intensif di RSUD dr. Darsono Pacitan. (beritasatu.com, 26-10-2025)


Sungguh ironi, keluarga atau orang terdekat yang seharusnya menjadi penjaga dan pelindung utama anggota keluarga lainnya dari tindak kejahatan. Namun, menjadi pelaku kejahatan yang tidak jarang berakhir dengan pembunuhan. Kekerasan yang terjadi di dalam rumah kian marak di negeri ini yang mencerminkan rapuhnya ketahanan keluarga. 


Keretakan keluarga berdampak langsung pada perilaku remaja. Emosi yang tidak terkendali hingga memicu meningkatnya kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja. Hingga kasus kriminalitas yang makin mengerikan.


Sekularisme yang menjadi asas kehidupan saat ini telah menyingkirkan nilai agama dari kehidupan. Agama hanya boleh mengatur dirinya dengan penciptanya, seperti ibadah mahdah saja. Sedangkan dalam ranah publik, agama tidak boleh dijadikan aturan dalam kehidupan. Akibat ketiadaan iman di dalam diri mereka, membuat anggota keluarga kehilangan landasan takwa dan tanggung jawab moral.


Pendidikan yang bersandar pada sekuler-liberal juga telah menumbuh suburkan kebebasan tanpa batas. Di mana kebebasan berperilaku begitu diagungkan. Akhirnya, seseorang bebas berbuat sesukanya dan sikap individualistik yang merusak keharmonisan rumah tangga serta perilaku remaja. Inilah yang menjadi penyebab sumber daya manusia saat ini mengalami krisis moral, serta berbagai kasus kekerasan yang semakin tak terkendali.


Pola pikir dan pola sikap masyarakat yang sudah bergeser dan dipengaruhi oleh gaya hidup materialistik juga hedonistik bersifat duniawi. Kebahagiaan diukur dengan banyak materi atau uang. Alhasil, tekanan hidup mudah memicu keretakan serta kekerasan di dalam rumah.


Negara pun abai, faktanya sudah ada banyak aturan yang ditetapkan negara ini untuk mencegahnya. Akan tetapi, kasus serupa masih saja terjadi. Sebut saja UU PKDRT terbukti tidak menyentuh akar masalah. Karena hanya menindak secara hukum tanpa mengubah sistem yang rusak.


Berbeda dengan sistem Islam. Pendidikan Islam akan membentuk kepribadian seseorang menjadi pribadi yang bertakwa dan berakhlak mulia, bukan sekadar orientasi duniawi. Namun, generasi yang memahami hakikat penciptaan, memiliki kepribadian Islam, pola pikir (akliah) dan pola sikap (nafsiah) sesuai Islam di lingkungan keluarga maupun oleh negara.


Syariat Islam dalam membangun keluarga akan mengokohkan keluarga. Menekan pentingnya keharmonisan keluarga. Ini akan terwujud dengan interaksi yang baik dan intens dengan seluruh anggota keluarganya dan menata peran suami-istri serta mencegah KDRT sejak dini. 


Negara sebagai pelindung (raa’in) juga akan menjamin kesejahteraan dan keadilan sehingga keluarga tidak tertekan secara ekonomi. Negara wajib menjamin setiap kebutuhan warganya. Saat semua kebutuhan pokok warga terpenuhi, mereka tidak akan terdorong untuk melakukan berbagai tindak kejahatan termasuk KDRT.


Hukum sanksi Islam akan ditegakkan untuk menjerakan para pelaku kekerasan dan kejahatan. Sekaligus mendidik masyarakat agar hidup sesuai dengan syariat Islam. Hanya dengan penerapan sistem Islam saja yang mampu mencegah KDRT dan kekerasan remaja. Negara Islam akan menjamin terwujudnya keamanan pada di tengah masyarakat.


Allah Swt. berfirman: "Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu...." (QS. An-Nahl: 89)


Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

 

Anis Nuraini 

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja: Saatnya Kembali pada Islam

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja: Saatnya Kembali pada Islam



Kekerasan dalam rumah tangga dan perilaku remaja hari ini bukan sekadar masalah individu

melainkan buah dari sistem kehidupan yang salah arah

_________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Gelombang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan meningkatnya kasus kekerasan remaja tengah menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Data GoodStats (September 2025) mencatat jumlah kasus KDRT di Indonesia telah mencapai lebih dari 10 ribu perkara hanya dalam sembilan bulan pertama tahun ini. Ironisnya, di saat orang tua sibuk menyelesaikan konflik rumah tangga, anak-anak justru terjebak dalam arus kekerasan baru di lingkungan sosialnya.


Kasus memilukan datang dari Malang, Jawa Timur, ketika seorang suami membakar dan mengubur istri sirinya di kebun tebu. Di sisi lain, seorang remaja berusia 16 tahun di Jakarta tega membacok neneknya hanya karena tak terima disebut cucu pungut. Kekerasan yang dilakukan oleh maupun terhadap remaja kini kian brutal dan tak lagi mengenal batas usia. (kompas.com, 18-10-2025)


Fenomena ini menunjukkan bahwa ketahanan keluarga Indonesia sedang rapuh. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat menumbuhkan kasih sayang dan nilai moral, justru berubah menjadi ruang penuh tekanan, kemarahan, dan luka batin. Akibatnya, generasi muda tumbuh dalam lingkungan yang keras dan kehilangan arah. Tidak mengherankan jika banyak remaja hari ini menyalurkan emosi dengan kekerasan, baik di sekolah maupun di jalanan.


Sayangnya, hukum positif seperti UU PKDRT belum mampu menyentuh akar persoalan. Penegakan hukum memang menghukum pelaku, tetapi tidak mengubah sistem sosial yang melahirkan kekerasan itu sendiri.


Sekularisme dan Krisis Nilai


Lantas, apa akar masalah semua itu?


Akar dari semua ini adalah sekularisme—ide yang menyingkirkan agama dari kehidupan. Ketika nilai takwa tidak lagi menjadi landasan, rumah tangga kehilangan kendali moral. Hubungan suami-istri dipandang hanya dari sisi hak dan kewajiban materi, bukan sebagai ibadah. Anak-anak pun dibesarkan tanpa arah spiritual, menjadikan mereka mudah terjerumus dalam perilaku agresif.


Pendidikan sekuler-liberal menanamkan kebebasan tanpa batas dan sikap individualistik. Slogan “bebas berekspresi” sering disalahartikan sebagai kebebasan tanpa tanggung jawab. Akibatnya, anak merasa boleh melakukan apa pun demi kepuasan diri, sementara orang tua kehilangan otoritas dalam mendidik dengan nilai agama.


Sementara itu, materialisme menjadikan kebahagiaan diukur dari harta dan gaya hidup. Tekanan ekonomi, tuntutan sosial, dan keinginan hidup mewah menimbulkan stres yang berujung pada konflik rumah tangga. Negara pun cenderung abai—hanya berperan sebagai “penonton” yang menindak setelah tragedi terjadi. Tidak ada sistem yang membina keluarga secara utuh sejak awal.


Islam Solusi Menyeluruh


Berbeda dengan sistem hari ini, Islam di bawah kepemimpinan Khil4fah memiliki solusi yang menyeluruh dan sistemik terhadap problem kekerasan ini.


1. Pendidikan Islam sebagai fondasi moral

  

Sejak kecil anak dididik untuk bertakwa, menghormati orang tua, dan menjauhi kekerasan. Pendidikan bukan sekadar mengejar nilai duniawi, tetapi membentuk kepribadian berakhlak mulia. Negara memastikan kurikulum pendidikan berlandaskan akidah Islam, bukan nilai sekuler.


2. Keluarga dibangun atas dasar syariat

 

Islam menata peran suami dan istri dengan jelas. Suami sebagai qawwam (pemimpin) wajib menafkahi dan melindungi keluarga dengan kasih sayang, bukan dengan kekerasan. Istri dihormati serta dilindungi hak-haknya. Hubungan suami-istri bukan arena perebutan kuasa, melainkan kerja sama menuju rida Allah.


3. Negara sebagai pelindung (raa‘in)

 

Dalam sistem Islam, negara tidak membiarkan rakyatnya tertekan secara ekonomi. Khalifah memastikan lapangan kerja terbuka, harga stabil, dan kebutuhan dasar rakyat tercukupi. Dengan kesejahteraan yang terjamin, stres keluarga berkurang sehingga potensi kekerasan pun menurun drastis.


4. Penegakan hukum syariat yang menjerakan

 

Islam menegakkan sanksi (hudud dan takzir) yang bersifat mendidik dan menjerakan. Pelaku kekerasan terhadap istri, anak, atau sesama akan dihukum sesuai syariat, bukan sekadar dipenjara. Hukuman ini tidak hanya menakut-nakuti, tetapi juga mengembalikan keadilan dan ketertiban masyarakat.


Khatimah

 

Kekerasan dalam rumah tangga dan perilaku remaja hari ini bukan sekadar masalah individu, melainkan buah dari sistem kehidupan yang salah arah. Selama sekularisme tetap dijadikan fondasi, selama itu pula kekerasan akan terus berulang dalam berbagai wajah.


Islam menawarkan solusi yang bukan hanya menindak pelaku, tetapi juga mencegah sejak akar persoalan melalui akidah, pendidikan, kesejahteraan, serta hukum yang berpihak pada keadilan sejati.


Sudah saatnya umat membuka mata, bahwa penyelesaian masalah sosial tidak cukup hanya dengan undang-undang, tetapi dengan kembali kepada sistem kehidupan Islam. Hanya di bawah naungan Khil4fah, keluarga dan generasi akan benar-benar terlindungi, bukan dengan slogan, melainkan dengan sistem yang memuliakan manusia. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]


Nur Saleha, S.Pd

Sistem Kapitalis Melahirkan Manusia Keji dan Sadis

Sistem Kapitalis Melahirkan Manusia Keji dan Sadis




Sikap individualisme yang lahir dari rahim sekularisme liberal

menjadikan masyarakat tidak peduli perilaku orang sekitarnya melanggar syariat atau tidak

_____________________________


Penulis Yani Ummu Qutuz

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Beberapa waktu lalu, jagat media digemparkan dengan berita pembunuhan mutilasi. Mutilasi adalah aktivitas menghilangkan nyawa seseorang yang diikuti dengan pemotongan tubuh korban menjadi beberapa bagian terpisah. Pelaku biasanya melakukan hal ini untuk menghilangkan jejak.


Kasus terbaru, penghilangan nyawa yang diikuti oleh mutilasi terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Alvi Maulana (24) tega menghabisi nyawa Tiara Angelina Saraswati (25) yang merupakan teman hidup kohabitasinya. Lalu dengan keji dan sadis memutilasinya menjadi ratusan potong. Atas tindakannya itu, AM layak mendapat hukuman pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara kurun waktu tertentu maksimal 20 tahun.


Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Polres Mojokerto Ajun Komisaris Besar Ihram Kustarto, Senin (15 September 2025) bahwa AM dijerat pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan maksimal hukuman mati. Sebagian kalangan juga menginginkan hukuman yang layak bagi pelaku demi keadilan bagi korban dan keluarganya. (Kompas.id.com, 15-09-2025)


Kasus ini menambah panjang kejahatan serupa di Indonesia. Sebuah survei pernah dilakukan Litbang Kompas yang meneliti pemberitaan ini sejak tahun 1965 sampai 2024. Dalam rentang waktu 60 tahun tersebut terdapat ratusan kali kasus mutilasi.


Rata-rata kasus yang ditangani kepolisian berhasil diungkap. Namun, ada kasus yang selama ini masih misterius, yaitu kasus “potong 13” yang terjadi di Jl. Sudirman, Jakarta Pusat pada 1981 silam. Identitas korban tidak pernah terungkap oleh pihak kepolisian meski petunjuk forensik seperti sidik jari dan wajah korban masih utuh dan dianggap sebagai kasus yang sangat mengerikan. (Kompastv.com, 27-01-2025)


Sekularisme Liberal Pangkal Kerusakan 


Kalau kita cermati, dalam kasus AM ini ada dua kemaksiatan yang terjadi. Pertama, aktivitas kohabitasi yang dilakukan pasangan AM dan TAS. Kedua, pembunuhan berikut mutilasi. Diketahui bahwa AM dan TAS telah melakukan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Pasangan ini dilaporkan telah melakukan hubungan pacaran selama empat tahun dan tinggal bersama. Akhirnya, hubungan mereka berakhir tragis, Alvi dengan sadis dan tega menghabisi nyawa TAS hanya karena kesal karena tidak dibukakan pintu saat pulang larut malam.


Manusia-manusia macam Alvi ini (pelaku kohabitasi) bermunculan di negeri ini. Kasus kohabitasi yang tidak terungkap bisa mencapai puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu orang. Hal ini terjadi karena negeri ini menerapkan kapitalisme sekuler. Sistem ini menihilkan peran agama serta mendewakan kebebasan berperilaku dalam kehidupan. Setiap orang bebas melakukan apa pun yang menurutnya akan mendatangkan kebahagiaan. Tidak peduli apa yang dilakukannya melanggar syariat yang akan mendatangkan dosa.


Maraknya kohabitasi bukan hanya faktor individu yang tidak bertakwa, tetapi juga karena tidak berjalannya kontrol masyarakat. Sikap individualisme yang lahir dari rahim sekularisme liberal, menjadikan masyarakat tidak peduli perilaku orang sekitarnya melanggar syariat atau tidak, yang penting dia tidak melakukannya. Padahal di hadapan Allah dia akan ditanya mengapa tidak melarang perbuatan dosa.


Di negeri ini, kohabitasi atau perzinaan merupakan delik aduan terbatas. Hal ini diatur dalam pasal 411 dan 412 bahwa perzinaan akan diproses jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Pada kasus kohabitasi tidak ada pihak yang merasa dirugikan, mereka melakukannya karena suka sama suka.


Oleh karena itu, masyarakat tidak bisa melarang praktik kumpul kebo dengan menggerebeknya, yang ada nanti malah kena delik mengganggu ketertiban. Inilah kelalaian negara ketika tidak menerapkan sanksi yang tegas terhadap para pelaku zina sehingga perzinaan mewabah di masyarakat. 


Begitu juga dengan kejahatan pembunuhan, saat ini orang begitu mudah menghilangkan nyawa orang lain, bahkan orang terdekatnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Hari ini manusia begitu sadis, tega membunuh sekaligus memutilasinya seperti memperlakukan seekor hewan. Ini semua karena diterapkannya aturan sekularisme liberal.


Orang sudah hilang hati nuraninya. Mereka lebih menuruti hawa nafsu daripada akal sehatnya. Ketika rasa marah memuncak didorong dengan dendam kesumat, mencelakai bahkan sampai membunuh menjadi jalan pintas melampiaskan kekesalan.


Sanksi bagi penghilangan nyawa orang tidak tegas. Hanya hukuman penjara paling lama seumur hidup. Jelas hukuman ini tidak membuat efek jera bagi para pelaku dan tidak memberikan rasa keadilan bagi korban. 


Islam Solusi Tuntas Memberantas Kemaksiatan 


Peristiwa semacam ini tidak pantas muncul ketika Islam diterapkan. Kohabitasi tidak akan ada dalam masyarakat Islam, Allah berfirman dalam surah Al-Isra ayat 32, “Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”


Islam dengan seperangkat aturannya menetapkan sistem pergaulan antara laki-laki dan wanita. Para wanita hidup bersama para mahramnya di rumah dalam kehidupan khusus. Wanita tidak boleh keluar rumah tanpa seizin wali atau suaminya. Islam melarang berkhalwat (berdua-duaan) dengan yang bukan mahram seperti pacaran, tidak boleh ikhtilat (campur baur) dengan laki-laki seperti di bioskop, konser, dan sebagainya.


Wanita harus menutup aurat yang sempurna ketika keluar rumah dengan mengenakan jilbab atau gamis dan kerudung. Dengan seperangkat aturan yang tegas dan jelas ini sebagai preventif agar terhindar dari perbuatan zina. Syariat telah menegaskan bahwa zina itu adalah perbuatan keji yang akan menyeret pelakunya ke dalam neraka. Jangankan berbuat zina, mendekati zina merupakan perbuatan dosa yang akan diberikan azab oleh Allah.


Apabila perzinaan telah terjadi, Islam menetapkan sanksi rajam sampai mati bagi pezina yang sudah menikah. Hukuman jilid 100 kali bagi pezina yang belum menikah, jika masih hidup dia diasingkan. Sanksi yang tegas ini akan memberikan efek jera sehingga membuat orang berpikir seribu kali untuk melakukan perzinaan.


Begitu pula hukuman bagi pembunuh dan mutilasi yang merupakan dosa besar. Sanksinya adalah dengan kisas (balasan setimpal bahkan sampai hukuman mati), yaitu pembalasan bagi pelaku kejahatan pembunuhan atau penganiayaan. Namun, keluarga korban dapat memilih untuk memaafkan dan menerima diat (uang tebusan) sebagai gantinya. 


Begitulah Islam memberikan sanksi tegas untuk menjaga jiwa seorang manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya, “Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (TQS. Al-Maidah: 32)


Khatimah 


Jika Islam diterapkan, niscaya kejahatan dan kemaksiatan itu akan bisa dieliminasi. Hanya saja sistem Islam hanya bisa diterapkan dalam institusi Daulah Islamiah. Seluruh aturan Islam baru bisa diterapkan secara sempurna dalam sistem Islam. Oleh karena itu, tugas kita adalah memperjuangkan tegaknya kembali kekhilafahan yang merupakan kewajiban agar kelak kita memiliki hujjah di hadapan Allah Swt.. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Peran Gen Z terhadap Kemanusiaan P4lestina

Peran Gen Z terhadap Kemanusiaan P4lestina




Apresiasi patut diberikan kepada generasi muda atas kepedulian mereka terhadap P4lestina

Di tengah banyaknya konten distraksi di media sosial

______________________________


Penulis Ika Fath

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Penindasan terhadap warga P4lestina telah menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terpanjang dalam sejarah modern. Dunia hanya bisa mengutuk dan mengecam keras. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti untuk Isra*l. Isra*l tetap melakukan tindakan keji.


Salah satu tindakan keji yang mereka lakukan baru-baru ini adalah menculik kapal-kapal Global Sumud Flotilla yang membawa bantuan kemanusiaan berupa makanan dan obat-obatan. Aksi ini dilakukan untuk memblokade setiap bentuk bantuan yang akan masuk ke palestina. Selain menahan bahan makanan dan obat-obatan, Isra*l juga menahan aktivis kemanusiaan yang ikut serta dalam perjalanan penyaluran bantuan untuk Palestina.


Aksi penculikan ini memicu reaksi dari berbagai belahan dunia, seperti London, Roma, Paris, Broksel, dan negara-negara lainnya. Salah satu bentuk nyata dari reaksi tersebut ialah masyarakat berbondong-bondong turun ke jalan untuk mengutuk dan menyuarakan kemarahan atas tindakan penculikan tersebut. Reaksi mereka turun ke jalan ini bukan hanya karena serangan Israel untuk P4lestina dalam bentuk penculikan kapal-kapal bantuan tapi sebagai bentuk protes atas serangan Israel terhadap aktivis kemanusiaan.


40 Kapal kemanusiaan, berisi lebih dari 400 aktivis asing di tangkap. Tidak terkecuali aktivis iklim asal Swedia, Greta Thunberg yang berusaha menembus blokade laut G4za turut pula dihadang oleh pasukan bersenjata Isra*l. Aksi pasukan bersenjata ini menuai kecaman dari dunia internasional. (Kompas.com 4-10-2025)


Gen Z dan Kesadaran Global


Apresiasi patut diberikan kepada generasi muda atas kepedulian mereka terhadap P4lestina. Di tengah banyaknya konten distraksi di media sosial. Mereka tetap mampu menunjukkan kepedulian dan empati terhadap isu kemanusiaan di P4lestina.


Melalui aksi solidaritas yang dilakukan oleh pemuda di Bandung pada Kamis, 2 Oktober 2025 dan aksi yang terjadi di Maroko dan beberapa unggahan di dunia maya. Gen Z membuktikan bahwa hati nurani, nilai-nilai kemanusiaan tidak akan pernah bisa dibungkam dengan pengalihan isu dan propaganda-propaganda busuk Isra*l serta media Barat yang berpihak padanya.


Solusi two state atau solusi dua negara yang tawarkan oleh PBB untuk menjadi jalan tengah dari konflik panjang antara dua negara ini. Konsep ini menjadi gagasan bahwa kedua negara bisa berdiri berdampingan dengan aman dan damai. Namun, konsep ini seperti sebuah paradoks.


Kita tahu bahwa sejarah tanah P4lestina adalah tanah yang dibebaskan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a.. pada tahun 637 M. Kemudian menjadi masalah saat Yahudi mulai datang pada tahun 1917 setelah Deklarasi Balfour. Mereka merebut paksa wilayah kaum muslim dan mengusir penduduk asli.


Solusi ini membenarkan tindakan Isra*l yang menjajah dan mengusir rakyat P4lestina dari tanah airnya sejak 1917 dan mengabaikan fakta bahwa Isra*l datang ke tanah P4lestina mencaplok dan memperluas wilayah mereka dengan ilegal. Solusi ini bukanlah jalan keadilan, tetapi menguntungkan satu pihak saja yaitu Isra*l dan menjadi bentuk kompromi ketidakadilan yang terjadi berpuluh tahun. 


Persatuan Umat Adalah Solusi


Solusi tuntas atas masalah yang mendera P4lestina adalah mengusir penjajah dari tanah P4lestina. Berbagai bentuk tindakan yang kaum muslim lakukan untuk menghentikan kebiadaban Isra*l tidak akan mempan. Isra*l hanya bisa disumpal dengan perang.


Kita bisa mengulang kembali sejarah pembebasan P4lestina seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a.. Di bawah naungan negara yang berasaskan akidah Islam yang menerapkan sistem Islam kafah. Negara yang berdiri di kaki tangan sendiri, tanpa ada intervensi pihak asing yang mampu membantu mengusir penjajah Isra*l dari tanah P4lestina.


Negara yang mampu mengomando militer negeri-negeri muslim, mengusir dan menghentikan kebiadaban Isra*l. Karena kita tahu penderitaan P4lestina berawal dari runtuhnya kekhilafahan yang menaungi P4lestina. Pasca keruntuhan itu, negeri-negeri Islam tercerai berai. Jadi, solusi tuntas atas permasalahan P4lestina adalah mengembalikan kepemimpinan yang menaungi negeri-negeri muslim.


Hanya negara Khil4fah yang mampu melakukan jihad membebaskan P4lestina. Mampu menggabungkan kekuatan militer seluruh negeri muslim, menghapus batas-batas negara yang selama membelenggu. Seperti sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadis,“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan saling mengasihi bagaikan satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh akan merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR Bukhari dan Muslim)”


Kekuatan militer ini yang akan mampu melawan dan mengalahkan Isra*l dari P4lestina. Generasi muda muslim harus mulai meninggalkan sikap apatis, menumbuhkan kesadaran bahwa masa depan umat tidak akan berubah tanpa keterlibatan mereka.


Perubahan bisa lahir dari semangat belajar, berpikir kritis, menulis kebenaran, sosial media yang dimanfaatkan untuk menyuarakan keadilan dan tidak terbuai dengan narasi yang di bangun oleh Barat tentang sejarah umat Islam, khususnya sejarah P4lestina yang sesat. Pemuda muslim juga wajib menyuarakan persatuan umat muslim seluruh dunia di bawah naungan Khil4fah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]

Penggalian Terowongan dari Para Pembenci Islam

Penggalian Terowongan dari Para Pembenci Islam




Kaum muslim wajib menjaga dan melindungi Masjid Al Aqsa dari serangan entitas Yahudi

Kewajiban ini berlaku bagi setiap muslim di seluruh dunia

_______________________________


Penulis Linda Ariyanti

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Masjid Al-Aqsa adalah kompleks suci yang menjadi saksi perjalanan suci manusia agung, Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa (Isra’).


Kemudian dilanjutkan perjalanan Mi’raj yakni perjalanan ke Sidratul Muntaha untuk menghadap Allah subhanahu wa ta'ala. Terletak di Kota Lama, Yerusalem (P4lestina), merupakan tempat suci ketiga bagi kaum muslim setelah Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah). 


Namun, keberadaanya kini tengah di ujung jalan sebab Isra*l terus melakukan penggalian terowongan di sekitar kompleks Masjid Al Aqsa. Hal ini tentu merusak struktur bangunan di sekitar masjid sehingga berpotensi meruntuhkan bangunan masjid.


Gubernur Yerusalem Marouf al-Rifai telah memberikan peringatan kepada Isra*l agar tidak melanjutkan penggalian lama dan baru, terutama penggalian terowongan yang menghubungkan situs-situs bersejarah.


Terowongan-terowongan tersebut menghubungkan Kota Daud dan melintasi lorong-lorong yang dibangun dari dinding batu. Awalnya, sebagian terowongan merupakan jalur air bersejarah yang dikeringkan dan diubah menjadi terowongan, museum, dan sinagoge. (cnnindonesia.com, 25-10-2025)


Kebencian Abadi terhadap Islam 


Dengan dalih pekerjaan arkeologi, Isra*l dengan sengaja membangun banyak lorong di bawah Masjid Al Aqsa agar bangunan masjidnya runtuh. Memang sedemikian bencinya entitas Zion*s Yahudi terhadap Islam hingga memakai segala cara untuk menyakiti umat Islam.


Namun anehnya, kezaliman yang disaksikan oleh dunia sejak tahun 1967 belum juga ada solusinya. Bahkan, lebih dari dua miliar umat Islam di dunia hari ini tidak bisa melindungi kemuliaan Masjid Al Aqsa.  


Musuh Islam memang tidak menginginkan ada semangat kebangkitan dari kaum muslim sehingga dengan serius mereka membuat proyek untuk menjauhkan simbol-simbol Islam dari benak kaum muslim dengan cara menghancurkannya. Penggalian terowongan yang makin dikebut pekerjaannya merupakan bagian dari rencana Isra*l untuk merusak landmark bersejarah Islam, mereka ingin peninggalan sejarah Islam dihapuskan. 


Dengan meruntuhkan bangunan masjid Al Aqsa, Isra*l akan makin mencengkeram kendali sepenuhnya terhadap kompleks Al Aqsa. Ini adalah cita-cita Zion*s Yahudi terhadap tanah yang diyakini dijanjikan untuk entitas mereka padahal P4lestina adalah tanah kharajiyah yang akan tetap menjadi milik kaum muslim sampai hari kiamat. Tidak boleh ada satu pun entitas yang boleh mengambil sejengkal saja tanah P4lestina, apalagi sampai menghancurkannya. 


Kejahatan Isra*l telah terbukti sangat keji dalam memusuhi Islam. Mereka dengan bangga menentang agama Allah. Mereka juga tidak segan melakukan penyerangan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap umat Islam. Bahkan saat ini telah nyata mereka sedang melakukan genosida, maka solusi dua negara tidak akan bisa menghentikan kejahatan mereka hingga akhir jaman.


Pantas saja Allah subhanahu wa ta'ala menyebut mereka sebagai bangsa kera karena memang mereka tidak pantas menyandang gelar sebagai manusia sebab kekejiannya. 


Masjid Al Aqsa Butuh Penjaga


Telah banyak dalil baik dalam Al Qur’an maupun As Sunnah yang menyebutkan tentang kemuliaan Masjid Al Aqsa. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Dzar.


يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلُ قَالَ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ ثُمَّ الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ يَعْنِي بَيْتَ الْمَقْدِسِ قَالَ قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا قَالَ أَرْبَعُونَ سَنَةً


Artinya : “Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama diletakkan oleh Allah di muka bumi?” Beliau bersabda, “Al-Masjid Al-Haram”. Abu Dzar bertanya lagi, “Kemudian apa?”. Beliau bersabda, “Kemudian Al-Masjid Al-Aqsha”. Berkata Abu Mu’awiyah “Yakni Baitul Maqdis” . Abu Dzar bertanya lagi, “Berapa lama antara keduanya?”. Beliau menjawab, “Empat puluh tahun”. 


Dari hadis tersebut, maka kaum muslim wajib menjaga dan melindungi Masjid Al Aqsa dari serangan entitas Yahudi. Kewajiban ini berlaku bagi setiap muslim di seluruh dunia, tidak akan gugur sebelum terlaksana, dan haram hukumnya membiarkan entitas Zion*s meruntuhkan bangunan masjid suci ini. 


Dalam catatan sejarah kegemilangan Islam, pembebasan Masjid Al Aqsa terjadi dua kali. Pertama, pembebasan dari kekuasaan Romawi Timur oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khattab r.a.. Kedua, Shalahuddin Al Ayubi berhasil merebut kembali masjid Al Aqsa melalui perang Hittin.


Semua ini dilakukan agar Baitul Maqdis tetap dalam penjagaan dan keamanan kaum muslim. Bahkan Sultan Abdul Hamid II adalah khalifah yang tidak melepaskan sejengkal tanah P4lestina kepada entitas Yahudi, meski Theodor Herzl melakukan segala cara untuk mengambil tanah P4lestina. 


Berbagai rencana jahat serta serangan negara Isra*l terhadap Masjid Al Aqsa, serta genosida terhadap umat Islam yang ada di P4lestina, hanya akan bebas jika kaum muslim mewajibkan jihad (perang). Kekuatan militer kaum muslim-lah yang saat ini dibutuhkan sebab Zion*s Yahudi melakukannya serangannya dengan aktivitas militer.


Kesatuan militer kaum muslim tidak akan pernah terwujud kecuali jika mereka terhimpun dalam satu negara yakni Khil4fah Islamiah.  Dengan bersatunya kaum muslim dalam komando seorang khalifah, maka kehormatan dan penjagaan Masjid Al Aqsa akan bisa diwujudkan. InsyaAllah. Wallahualam bissawab.