MENGHALALKAN SERTIFIKAT HALAL
OpiniHalal dan Thayib Terkategori Urusan Rakyat yang Butuh Peran Negara dalam Mewujudkannya
Di Negara dengan Sistem Hidup Kapitalisme Sekuler Liberal, Halal Haram atas Produk Makanan Menjadi demikian Sulit
Penulis : Agus Susanti
Aktivis Dakwah Serdang Bedagai
kuntumcahaya.blogspot.com -
Biar kerjaku begini
biar gajiku segini
Yang penting halal untukmu yang kuberi
Pedih ya memang pedih
Letih jangan ditanya lagi
Yang penting halal untukmu yang kuberi
Secuil lirik lagu yang dipopulerkan oleh grup band Wali ini patutnya dijadikan pelajaran. Ya, begitulah seharusnya kewajiban bagi pemimpin keluarga, memastikan apa yang diberikan untuk keluarganya sesuatu yang halal.
Begitupun seharusnya bagi pemimpin negara, memastikan apa-apa yang dibutuhkan rakyatnya terjamin kehalalannya. Apalagi dalam urusan makanan, minuman serta obat-obatan dan sebagainya. Kehalalan tersebut bukanlah sekadar memberikan label haram/halal.
Memberikan tarif pada para pelaku usaha maupun perusahaan yang ingin mendaftarkan produknya agar mendapat sertifikat halal adalah bukti tidak bertanggungjawabnya pemerintah atas hak-hak rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Seperti dilansir dari website resmi Kemenag, kemenag.go.id, bahwa Kementerian Agama terhitung 1 Desember 2021 mulai memberlakukan tarif layanan Badan Layanan Umum (BLU) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Aturan ini tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 141 Tahun 2021 tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH dan Peraturan BPJPH Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif Layanan BLU BPJPH.
"Diterbitkannya Peraturan Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPJPH tersebut selanjutnya wajib dipedomani dalam setiap aktivitas layanan yang dilaksanakan oleh BLU BPJPH," ungkap Kepala BPJPH Kemenag, Muhammad Aqil Irham, di Jakarta, Rabu (16/3/2021).
Hal ini tentu sebuah kekeliruan, sebab negara seharusnya memang pihak yang bertanggungjawab untuk memastikan semua produk yang akan beredar secara bebas di masyarakat sudah terjamin kehalalannya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara memberikan sertifikasi halal. Dan ini semua menjadi kewajiban negara yang sifatnya gratis.
Memberikan tarif untuk memperoleh sertifikasi halal akan berbahaya, sebab tolak ukur untuk menentukan produk tersebut halal/haram berpeluang berubah dengan sejumlah uang. Jadi, apabila bahan yang digunakan dalam suatu produk ternyata mengandung unsur yang diharamkan bisa saja tetap memiliki label halal.
Sebaliknya seorang pengusaha kecil yang hanya mendapat sedikit keuntungan dari apa yang mereka jual, tidak mampu membayar untuk mendapatkan sertifikat halal dari pemerintah. Seolah produk mereka haram dan tak boleh dipasarkan kepada masyarakat secara luas.
Yang demikian juga dapat menyalahi aturan Allah. Sebab standar halal dan haram adalah mutlak milik Allah.
Seperti kita ketahui bersama, landasan dalam sistem kapitalis adalah berdasarkan manfaat. Jadi apa-apa yang dapat mendatangkan manfaat, sekalipun bertentangan dengan perintah dan larangan Allah bisa menjadi boleh untuk dikerjakan. Termasuk dalam urusan sertifikasi label halal tersebut.
Para kapitalis, yakni orang-orang yang memiliki banyak uang dapat membeli label tersebut dengan mudahnya. Padahal label halal tersebut seharusnya adalah bukti bahwa pemerintah sudah memeriksa secara teliti terhadap kandungan yang ada dalam produk tersebut. Juga terbukti secara medis bebas dari unsur-unsur yang haram seperti gelatin babi, alkohol, narkoba atau juga zat lainnya yang diharamkan Allah.
Karena pemimpin negara kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya di dunia. Pemimpin negara berkewajiban memastikan segala urusan umatnya bisa terpenuhi dengan baik dan tidak bertentangan dengan aturan Al-Khalik.
Dari Abu Hurairah raḍiyallāhu 'anhu, “Dahulu Bani Isra’il dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia akan digantikan oleh nabi (lain). Namun sungguh tidak ada nabi lagi sesudahku, dan sepeninggalku akan ada para khalifah lalu jumlah mereka akan banyak.” (Para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan untuk kami?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah baiat kepada (khalifah) yang pertama kemudian kepada yang berikutnya, lalu penuhilah hak mereka, dan mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka tentang apa yang mereka pimpin.”
(Hadis sahih-Muttafaq 'alaih)
Indonesia adalah negeri dengan penduduk yang mayoritas muslim. Namun hal ini tidak menjamin bahwa segala sesuatu aman dilakukan oleh seluruh umat yang beragama muslim. Hal ini dikarenakan negara tersebut tidaklah menerapkan sistem dan hukum-hukum yang berlandaskan Islam.
Indonesia adalah salah satu dari banyak negeri yang menerapkan sistem kufur warisan Barat, yakni Kapitalisme- sekuler. Sekularisme adalah sebuah paham dimana manusia memisahkan antara urusan dunia dengan akhiratnya. Artinya negara yang menganut akidah sekuler tersebut akan membuat aturan tersendiri, tentang apa-apa yang berkaitan dengan urusan umat selama di dunia. Sedangkan untuk urusan akhirat masing-masing umat, dikembalikan pada aturan agamanya sendiri-sendiri.
Manusia pada fitrahnya memiliki kebutuhan yang sama untuk dipenuhi, yaitu kebutuhan jasmani dan naluri. Sedangkan membiarkan manusia membuat aturan sendiri dalam memenuhi segala kebutuhan tersebut tidaklah tepat. Akal yang dijadikan manusia sebagai landasan membuat aturan akan menimbulkan banyak pertentangan, perselisihan bahkan kemudharatan. Sebab manusia sejatinya hanyalah makhluk yang sifatnya terbatas dan tidak bisa menjangkau segala sesuatu.
Misalnya saja dalam memenuhi kebutuhan jasmani berupa rasa lapar. Hal ini mengharuskan manusia untuk memenuhinya dengan makan. Makan adalah kebutuhan yang wajib dipenuhi, sebab jika tidak terpenuhi dapat menimbulkan kerusakan berupa sakit bahkan bisa sampai pada kematian.
Perlu diingat, bagi seorang muslim memenuhi kebutuhan jasmani seperti lapar bukan sekadar bisa mengenyangkan perut. Akan tetapi setiap muslim harus memastikan apa-apa yang akan masuk ke dalam tubuhnya berupa makanan dan minuman yang tidak mengandung unsur haram. Maka memastikan makanan dan minuman tersebut mengandung unsur yang halal merupakan hal yang penting.
Allah berfirman yang artinya: "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah: 168)
Namun sayang, meski kita tinggal di negeri yang mayoritas muslim, akan tetapi untuk mengetahui apakah semua produk yang beredar di pasaran sudah terjamin halal sangatlah sulit. Sekalipun pemerintah yang kini mengambil alih tanggung jawab dalam memberikan logo halal pada setiap produk.
Karena meskipun sebuah perusahaan atau pengusaha makanan dan lainnya sudah mengantongi sertifikasi halal dari pemerintah, tidak membuktikan bahwa produk tersebut memang benar-benar bersih dari zat yang berbahaya ataupun unsur haram.
Maka penting untuk bukan sekadar mendapat logo halal, tetapi juga harus menghalalkan sertifikat halal tersebut. Artinya sertifikat halal yang didapatkan bukan sekadar karena mampu membayar biaya pengajuan untuk mendapatkan logo halal. Namun lebih berfokus terhadap bahan-bahan yang akan digunakan benar-benar bebas dari unsur yang haram. Karena jaminan umat muslim mendapatkan produk halal adalah mutlak bagi pemimpin negara.
Perkara sertifikat halal memang sangat rumit dalam sistem kapitalis-sekuler. Sementara hal ini akan sangat mudah bagi sebuah negara yang menerapkan sistem Islam. Karena sistem Islam adalah sebuah aturan yang diwariskan Rasulullah dan bersumber langsung dari Sang Khalik.
Standar perbuatan dalam sistem Islam juga berbeda, yakni halal dan haram. Aturan yang diterapkan juga bukan berdasarkan akal manusia, melainkan berdasarkan Al-Qur'an dan hadis yang sudah pasti kebenarannya. Serta tidak akan menimbulkan perselisihan maupun pertentangan. Justru dengan penerapan sistem Islam segala pengaturan urusan umat akan lebih mudah.
Termasuk dalam perkara sertifikat halal pada produk-produk yang dibutuhkan umat. Pemerintah Islam tidak perlu repot untuk memberikan logo halal pada produk yang ada di negara yang mayoritas muslim tersebut.
Hal ini karena pemerintah Islam akan memastikan dari awal bahwa semua produk yang akan dipasarkan di masyarakat luas sudah terjamin kehalalannya. Baik dari bahan dasar, proses pembuatan hingga pendistribusian ke berbagai daerah dengan cara yang halal.
Sebaliknya, khusus untuk apa-apa yang menjadi kebutuhan umat nonmuslim yang tinggal di negara Islam, tidak dibiarkan beredar secara bebas di pasaran. Melainkan dijual secara khusus bagi kaum tersebut. Bahkan bila perlu diberi logo atau himbauan yang menunjukkan produk tersebut haram dikonsumsi oleh kaum muslimin.
Hal di atas akan menjadikan para pelaku usaha tidak perlu direpotkan dengan pengurusan sertifikat halal. Rakyat juga tidak akan lagi mengalami kesulitan dalam memilih berbagai produk yang dibutuhkan, baik di warung-warung kecil maupun swalayan modern.
Hal ini karena Islam memang diciptakan untuk memudahkan urusan umat. Selain itu dalam penerapan sistem Islam hal-hal seperti kecurangan dan manipulasi yang kerap terjadi di sistem kapitalis tidak akan ditemukan. Umat menjalankan semua perbuatan ataupun aturan bukan semata karena pemerintah yang menerapkan. Melainkan disandarkan pada ketakwaan individu sebagai pilar utama, sedangkan pemerintah sebagai pelaksana dan melakukan penjagaan terhadap umat.
Jika pun ada orang-orang yang mencoba untuk berlaku curang, maka sistem Islam akan memberikan hukuman takzir. Hukumannya ditentukan dari seberapa besar kesalahan orang tersebut. Karena hukum yang ditetapkan Islam bukan sekadar memberikan hukuman. Namun lebih pada memberikan efek jera, serta peringatan agar tidak terulang pada orang lain. Kemudian hukum Islam tersebut sekaligus menjadi penggugur dosa dari pelaku kejahatan. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.