Alt Title

KEMACETAN AKIBATKAN KORBAN JIWA, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

KEMACETAN AKIBATKAN KORBAN JIWA, TANGGUNG JAWAB SIAPA?



Islam memandang bahwa jalan adalah salah satu kepemilikan umum, yang berarti merupakan kebutuhan setiap masyarakat tanpa kecuali demi kemaslahatan bersama


Membangun infrastruktur yang baik, tepat dan merata ke pelosok negeri adalah wajib. Karena hal itu merupakan kewajiban negara sebagai raa'in (pengurus rakyat)


Penulis Khatimah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Dakwah


KUNTUMCAHAYA.com-Indonesia memiliki banyak konsep tata ruang dalam mengatur keamanan dan kelancaran berlalu lintas, agar tidak terjadi kemacetan yang parah. Mulai dari diberlakukannya kebijakan ganjil genap, membangun jalan layang dan banyak lagi yang lainnya. Namun hal itu belum mampu menyelesaikan persoalan, terbukti masih banyak terjadi kemacetan di mana-mana. 


Salah satunya Provinsi Jambi yang mengalami kemacetan terhitung 22 jam beberapa waktu lalu, dari Sarolangun sampai Batanghari, disebabkan aktivitas truk-truk besar yang mengangkut batu bara mulai dari mulut tambang hingga ke Jalan Nasional. Kejadian tersebut membuat Gubernur Jambi Al Haris meminta maaf kepada masyarakat. Al Haris menyadari wewenang pemberian ijin sepenuhnya bukan padanya,tapi tetap saja sebagai Gubernur dia ucapkan "maaf". Juga mengimbau kepada seluruh pemegang IUP untuk menghentikan sementara aktivitas pengangkutan baru dari mulut tambang. (OkeJambi, 01/03/2023)


Selain kemacetan, masyarakat juga dibuat cemas karena rawannya kecelakaan yang terjadi. Bahkan tidak jarang akan memakan korban jiwa, meskipun pada dasarnya musibah adalah ketetapan dari Allah yang tidak bisa dihindari. Namun sebagai manusia ciptaan-Nya diberikan amanah sebagai upaya untuk menghindari musibah tersebut, khususnya bagi negara sebagai pengayom masyarakat untuk menyediakan layanan yang aman dan nyaman sebelum kecelakaan terjadi.


Ditambah lagi, jalan-jalan rusak pun dapat membahayakan pengguna jalan. Hal yang seharusnya mendapat perhatian dari negara justru diabaikan. Apalagi jika jalan yang rusak tersebut bukan merupakan jalan provinsi ataupun nasional.


Negara seharusnya paham, bahwa sarana transportasi bukan sekadar urusan teknis melainkan sistemik yang harus diperhatikan oleh negara. Hal ini ditujukan agar rakyat memperoleh kenyamanan dan keamanan terutama dalam aktivitas transportasi.


Namun dalam sistem Kapitalisme yang diberlakukan saat ini, semua sarana prasarana telah dijadikan ajang untuk meraup keuntungan. Seperti ketika melewati jalan khusus nonhambatan (tol), armada dengan muatan besar harus berpikir ulang untuk melewatinya karena tarif yang tinggi. Sehingga mereka harus merogoh kocek alias mahal. Akhirnya terpaksa harus melewati jalan yang tidak sesuai peruntukannya dan dapat dipastikan akan mengganggu kehidupan masyarakat lain. 


Jalan yang merupakan fasilitas umum harusnya bisa dinikmati masyarakat dengan mudah dan nyaman. Pembagian jalan menurut penanggungjawabnya ikut berpengaruh terhadap keadaan jalan yang berefek kepada manusia. Jadi seharusnya negara tidak membiarkan kekacauan ini terus terjadi. Harus ada tindakan tegas agar jalanan lancar tanpa ada kendala dan masyarakat merasa nyaman dan aman untuk menggunakannya. Tindakan tegas itu seperti sebuah sanksi yang akan memberikan efek kehati-hatian bagi pengguna jalan, dan harus ada imbauan dari negara agar tidak seenaknya menggunakan jalan yang tidak layak untuk pengguna armada bermuatan besar. 


Islam memandang bahwa jalan adalah salah satu kepemilikan umum, yang berarti merupakan kebutuhan setiap masyarakat umum tanpa kecuali demi kemaslahatan bersama. Membangun infrastruktur yang baik, tepat dan merata ke pelosok negeri adalah wajib. Karena hal itu merupakan kewajiban negara sebagai raa'in (pengurus rakyat).


Sebagaimana dalam hadis Al-Bukhari, Rasulullah saw. menuturkan: "Imam (pemimpin) adalah raa'in dan memiliki tanggung jawab penuh atas apa yang diurusnya.“


Salah satu contoh saat negara Islam menjadi negara adidaya yang dipimpin oleh Umar bin Khattab ra., beliau menyediakan pos khusus dari Baitulmaal untuk mendanai infrastruktur, khususnya jalan dan semua terkait dengan sarana dan prasarana jalan. Tentu dana ini bukan dari dana utang. Beliau lakukan untuk memudahkan transportasi antar berbagai negara. 


Khalifah Umar ra. melalui gubernurnya sangat memperhatikan perbaikan berbagai jalan. Pada tahun 19 H berbagai proyek direalisasikan mulai dari membuat sungai, teluk, memperbaiki jalan, membangun jembatan dan bendungan yang menghabiskan anggaran negara dengan jumlah besar.


Dana yang diperoleh pun bukan dari utang melainkan dari dana milik umum seperti kekayaan sumber daya alam, dikelola pemerintah dan hasilnya untuk kebutuhan masyarakat. Negara tidak boleh sedikit pun  mengambil keuntungan dari hasil tersebut. 


Namun jauh berbeda dengan sistem kapitalis yang diterapkan saat ini, termasuk negeri yang konon katanya "gemah ripah loh jinawi" , untuk pembiayaan perbaikan infrastruktur saja harus berutang keluar negeri. Dimana hal tersebut akan berefek pada kelebihan saat mengembalikannya atau disebut bunga (riba), yang tidak sedikit. 


Demikianlah perbandingan sistem yang menerapkan aturan dari Sang Pencipta (Islam), dengan sistem kapitalis buatan manusia yang serba terbatas. Islam memiliki aturan sempurna serta perencanaan keuangan dan pembangunan yang mumpuni sehingga tidak akan melanggar syariat yang sudah ditetapkan. Menyejahterakan masyarakat secara merata termasuk memudahkan  dalam bertransportasi. Kemacetan panjang tidak akan terjadi, terlebih lagi hingga mengakibatkan korban jiwa. Semua ini akan terealisasi jika sistem Islam kafah diterapkan di muka bumi. Dengannya maka keberkahan akan terwujud. Wallahualam bissawab.