KEMBALIKAN PERAN MULIA PESANTREN
OpiniPesantren adalah lembaga pendidikan khusus di Nusantara dengan ciri khas berupa pembinaan ajaran agama Islam kepada para muridnya yang dinamakan santri. Lembaga ini telah tua keberadaannya dan secara fakta bisa dilihat demikian besar jasanya dalam menghasilkan insan-insan generasi yang berakhlak mulia dan paham terhadap agama (tafaqquh fiddin)
Sebagai lembaga pendidikan Islam, aktivitas pesantren tentu mendidik dan membina generasi agar mereka dapat menjalani kehidupan kelak dengan berpegang pada ajaran agama. Apa jadinya ketika peran mendidik dan membina ini justru dibelokkan dengan menambahnya dengan beban untuk berdaya dalam perkara ekonomi? Tentu yang terjadi adalah ketidakfokusan
Penulis Yuliyati Sambas
Founder Media Kuntum Cahaya & Pegiat
Literasi Komunitas AMK
KUNTUMCAHAYA.com-Program kapitalisasi pesantren makin nyata
terlihat. Setelah digagas dan diaruskan oleh pemerintah dalam beberapa tahun ke
belakang, kini mulai bermunculan bibit-bibit pesantren yang dipandang
"unggul" membawa misi 'pesantren penggerak ekonomi bangsa'. Terhitung
sejak diluncurkannya Undang-Undang Nomor 18 tentang Pesantren, yang menyebut
bahwa fungsi pesantren selain untuk pendidikan dan dakwah juga pemberdayaan
masyarakat wa bil khusus pemberdayaan ekonomi.
Ayobandung[dot]com (6/3/2023) melansir bahwa Presiden Joko
Widodo telah melakukan kunjungan kerja ke Pondok Pesantren Al-Ittifaq,
Rancabali, Kabupaten Bandung pada 6 Maret 2023 lalu. Ia meninjau dan
mengapresiasi keberhasilan kegiatan usaha yang dilakukan pesantren berupa
koperasi. Lebih jauh dirinya mengatakan bahwa pola usaha dengan skema Pre-Financing di sana butuh untuk
direplikasi pesantren lain di Indonesia.
Pesantren yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi
berdaya dalam bidang ekonomi dipandang sesuatu yang baik dan butuh untuk
direplikasi. Benarkah demikian?
Membelokkan Peran Utama
Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan khusus yang ada di
Nusantara dengan ciri khas berupa pembinaan ajaran agama Islam kepada para
muridnya yang dinamakan santri. Lembaga ini telah tua keberadaannya dan secara
fakta bisa dilihat demikian besar jasanya dalam menghasilkan insan-insan generasi
yang berakhlak mulia dan paham terhadap agama (tafaqquh fiddin). Kecintaan mereka akan negeri yang dipijak pun
demikian besarnya. Ini dapat dilihat peran besar mereka ketika turut
berkontribusi mengusir para penjajah dari Nusantara. Peran dakwah menyebarkan
ajaran Islam di Indonesia pun tonggak utamanya ada di pundak para kiai dan
santri yang notabene ada dalam komunitas pesantren.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, aktivitas pesantren tentu
mendidik dan membina generasi agar mereka dapat menjalani kehidupan kelak
dengan berpegang pada ajaran agama. Apa jadinya ketika peran mendidik dan
membina ini justru dibelokkan dengan menambahnya dengan beban untuk berdaya
dalam perkara ekonomi? Tentu yang terjadi adalah ketidakfokusan. Ini yang
pertama.
Kedua bahwa pemberdayaan yang dimaksud dalam UU No 18 Tahun
2019 tentang Pesantren yang mengatur fungsi pemberdayaan masyarakat demikian kental dari sisi ekonomi.
Hal ini dapat dibuktikan dari langkah-langkah pemerintah pasca disahkannya UU
tersebut hingga kini, dengan mengeluarkan banyak program berbau ekonomi bisnis.
Mulai dari program OPOP (one pesantren
one product), hingga didekatkannya pesantren dengan komunitas OJK (Otoritas
Jasa Keuangan) dan perbankan. Mantra yang senantiasa ditebar di tengah
pesantren bahwa mereka harus mandiri dalam hal pembiayaan menjalankan roda
aktivitas mereka. Padahal jika dirunut lebih dalam, sesungguhnya siapa yang
lebih berkewajiban untuk menjamin terlaksananya peran pendidikan bagi rakyat
kecuali negara.
Ketiga nyata terasa adanya pengarusan moderasi beragama dalam
tubuh pesantren. Prinsip tawassuth
(pengambilan jalan tengah) adalah nafas moderasi yang kian disusupkan di
pesantren. Budaya sekuler pun akhirnya wajib diadopsi. Tak heran ketika prinsip
agama mengatakan riba haram, justru pemerintah mendekatkan sistem perbankan dan
OJK yang notabene ribawi dan mengandung akad-akad yang jauh dari kata syar'i. Hal itu dilakukan dalam rangka
menyelesaikan pendanaan bagi bisnis yang dikembangkan pesantren.
Maka mendorong pesantren berdaya dalam ekonomi bahkan arahan
untuk mereplikasi pesantren yang dipandang telah berhasil menjalankan misi
tersebut jelas berbahaya. Pesantren pada akhirnya benar-benar akan dibelokkan
dari visi mulianya mencetak generasi yang tafaqquh
fiddin menjadi generasi yang materi oriented.
Dampak Sistemik
Apa yang terjadi di atas sungguh merupakan dampak sistemik
dari diberlakukannya Kapitalisme sekuler. Kapitalisme telah menjadikan negara
sedikit demi sedikit melepaskan tanggung jawabnya mengurus urusan pendidikan
generasi. Pesantren sebagai pelaksana pendidikan pun dipaksa untuk mandiri dan
berdaya. Negara dalam hal ini sekadar mengambil peran membuat regulasi yang
mendekatkan lembaga pendidikan (pesantren) pada lembaga-lembaga pendanaan
perbankan dan OJK dengan mekanisme bisnis, bukan pengurusan.
Kapitalisme pun memaksa civitas pesantren untuk berorientasi
materi dalam pengembangan dan keberlangsungan hidup pesantrennya. Adapun asas
sistem ini adalah sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Prinsip
mengambil jalan tengah antara pandangan agama dengan kaidah mayoritas yang
dianut dalam menyolusikan semua problematik kehidupan menjadi ciri khasnya.
Jika ini terus dibiarkan maka insan-insan hasil cetakan pesantren yang
sejatinya adalah Muslim yang kokoh iman takwanya akan bermetamorfosa menjadi
manusia yang pragmatis mengikuti arah perubahan zaman meski bertentangan dengan
ajaran agamanya yang kafah.
Visi Pendidikan yang
Sempurna
Sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh Islam memiliki
seperangkat aturan sekaligus pandangan yang khas dalam menjalani kehidupan. Tak
terkecuali urusan mencetak generasi.
Visi pendidikan Islam adalah terlahirnya generasi yang tafaqquh fiddin dan menguasai ilmu pengetahuan
serta teknologi. Hal ini akan menjadikan kualitas insan hasil cetakan
pendidikan dalam sistem Islam tidak gagap dengan perubahan zaman, tapi tetap
konsisten dengan ajaran agamanya. Maka lembaga pendidikan dalam sistem Islam
akan fokus dalam upaya pendidikan. Sementara urusan pembiayaan pendidikan
adalah urusan negara secara totalitas.
Negara pun dalam menjalankan tugasnya mengurusi pendidikan
rakyat ditopang oleh sistem pendanaan yang kokoh. Islam dalam hal ini memiliki
seperangkat aturan yang khas terkait sumber-sumber pemasukan negara sehingga
mampu menopang semua tanggung jawabnya mengurusi urusan rakyat termasuk
pendidikan. Harta kekayaan alam yang melimpah adalah satu di antaranya.
Negara jugalah yang bertugas menerapkan syariat Islam yang
kafah (sempurna) di tengah masyarakat. Apa yang wajib terselenggara akan
ditegakkan. Adapun yang haram tidak akan dibiarkan ada, termasuk sistem
keuangan berbasis ribawi yang justru dipandang solusi di sistem Kapitalisme
sekuler.
Maka untuk mengembalikan peran mulia pesantren hanya bisa
didapat jika sistem Islam diambil secara totalitas dalam semua lini kehidupan. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.