KEMISKINAN EKSTREM MENGANCAM, KEMANAKAH KEKAYAAN NEGERI INI?
OpiniSeharusnya dengan kekayaan alam berlimpah, Indonesia mampu membuat rakyat sejahtera
Sayangnya, pengelolaan aset publik semisal tambang telah dikuasai korporat, sehingga keuntungan terbesar menjadi milik mereka Sedangkan negara harus puas dengan mendapat bagian beberapa persen saja, yang bahkan tidak cukup untuk membayar bunga utang luar negeri
Penulis Arini Faaiza
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member AMK
KUNTUMCAHAYA.com-Indonesia adalah negeri yang dianugerahi tanah yang subur dan kekayaan alam melimpah. Daratan persawahan, pegunungan serta lautan yang sarat akan sumber daya alam. Tidak hanya itu, pemandangan indah yang terhampar dari Sabang hingga Merauke menjadi destinasi wisata yang menggiurkan, wajar saja jika negeri ini mendapat julukan gemah ripah loh jinawi. Namun sungguh miris di tengah berbagai kelebihan tersebut ternyata masih banyak masyarakat yang hidup dalam kesulitan dan kemiskinan bahkan miskin ekstrem.
Meningkatnya jumlah warga yang terkategori miskin ekstrem
menjadi perhatian anggota DPRD Kabupaten Bandung Fraksi PAN Dapil 1, H. Eep
Jamaludin Sukmana. Usai menghadiri kegiatan Musrembang Ciwidey, ia
mengungkapkan ciri-ciri warga yang masuk ke dalam kategori tersebut adalah
mereka yang tidak memiliki pekerjaan sama sekali, sehingga untuk memenuhi
kebutuhan diri sendiri pun harus bergantung kepada orang lain. Eep juga
menyatakan bahwa berbagai bantuan, baik dari kementerian maupun bantuan gubernur hendaknya diprioritaskan
bagi mereka. ( Tribuntipikor[dot]com, 08 Februari 2023)
Sebagaimana diketahui bersama bahwa program mengentaskan
kemiskinan ekstrem di tahun 2024 menjadi cita-cita tinggi yang ingin diraih
oleh pemerintah. Kendati demikian, pada faktanya hal itu tidak mudah untuk
diwujudkan, bagai mengurai benang kusut, permasalahan pun kian rumit untuk
disolusikan. Padahal pemerintah telah
meluncurkan berbagai bantuan yang dialokasikan untuk warga miskin, seperti KIS,
KIP, PKH dan Dana Desa. Pelatihan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat juga
kerap dilakukan. Akan tetapi program tersebut belum mampu mengurangi kemiskinan
yang kian mengkhawatirkan.
Alhasil berbagai program pemerintah tersebut belum
memberikan perubahan yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat, apalagi
mengangkat kehidupan mereka dari kemiskinan. Alih-alih membantu rakyat, dana
triliunan yang digelontorkan pemerintah bagi warga miskin justru tidak tepat
sasaran, bahkan menjadi ajang bancakan dan korupsi para pejabat terkait.
Potret kemiskinan di Indonesia telah demikian mengakar,
hingga bisa diwariskan secara turun-temurun. Minimnya pendidikan menyebabkan
pekerjaan yang didapatkan pun alakadarnya, seperti buruh kasar ataupun serabutan yang berpenghasilan minim, sehingga
tidak mampu memberikan kecukupan dan kehidupan yang layak bagi keluarganya. Hal
ini terus berlangsung tanpa ada cara yang tepat untuk memutus mata rantai
kemiskinan tersebut. Terlebih kondisi
pasca pandemi seperti saat ini, kesulitan semakin terasa sehingga pekerjaan
apapun dilakukan demi untuk bertahan hidup.
Seharusnya dengan kekayaan alam berlimpah, Indonesia
mampu membuat rakyat sejahtera dan
menikmati kehidupannya dengan tenang. Namun sungguh disayangkan, pengelolaan
berbagai macam aset publik semisal tambang di seantero negeri telah dikuasai
korporat asing maupun domestik, sehingga keuntungan terbesar menjadi milik
perusahaan tersebut. Sedangkan negara harus puas dengan mendapatkan bagian
beberapa persen saja, yang bahkan tidak cukup untuk membayar bunga utang luar negeri.
Begitulah ironi kehidupan di alam kapitalis, yang memiliki
kapital atau modal besar merekalah yang mendapat keuntungan besar. Jadilah yang
kaya semakin sejahtera sedangkan yang miskin tambah menderita. Investasi
nyatanya tidak bisa membantu persoalan pengangguran. Yang ada melalui investasi
cengkraman pengusaha makin kokoh. Dari sini nampak jelas bahwa penguasa tidak
mampu memenuhi tugasnya sebagai pengayom rakyat, sebagaimana amanat pasal 34
ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara".
Kapitalisme memosisikan penguasa hanya sebagai regulator dan
makelar bagi pengusaha. Rakyat dibiarkan mencari solusi sendiri mengatasi
kesulitan hidupnya. Untuk mendapatkan pekerjaan diserahkam kepada pengusaha.
Sementara penguasa hanya membuat regulasi atau kebijakan, yang terkadang lebih
cenderung kepada pengusaha.
Kesejahteraan hanya akan terwujud apabila Islam dijadikan
dasar untuk mengatur seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, baik bidang
ekonomi, sosial maupun pemerintahan. Sebab, aturan Islam berasal dari Sang Maha
Pencipta yaitu Allah Swt. melalui Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw..
Pada masa aturan Islam diterapkan dalam sebuah institusi
negara, sangat sedikit warga yang terkategori miskin. Karena seorang penguasa
dalam sistem Islam akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi tanggung
jawabnya sebagai pengayom rakyat, semata-mata karena keimanan kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. bersabda: “... Seorang kepala negara adalah pemimpin atas
rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas perihal rakyat yang
dipimpinnya ....” (HR. Muslim)
Salah satu contohnya yakni pada era kepemimpinan Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, pada saat itu
bahkan tidak ditemukan satu orang pun yang bersedia menerima zakat,
karena seluruh rakyatnya hidup berkecukupan.
Negara yang menerapkan aturan Islam memastikan terpenuhinya
seluruh kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan,
kesehatan, dan keamanan. Selain itu, negara juga menyediakan lapangan pekerjaan
bagi kaum laki-laki, bahkan dalam kondisi tertentu negara memberikan nafkah
kepada individu per individu rakyatnya. Melarang aktivitas riba dalam setiap
kegiatan perekonomian dan mengelola sumber daya alam secara mandiri dan adil
sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Maka, mengentaskan kemiskinan ekstrem hanya akan menjadi angan-angan, selama sistem kapitalis masih dipergunakan untuk mengatur kehidupan. Hanya sistem Islam yang memiliki solusi tuntas dalam memutus mata rantai kemiskinan di negeri-negeri kaum muslimin, yaitu dengan penerapan hukum-hukum syariat secara total dan menyeluruh dalam sebuah kepemimpinan Islam. Wallahu a’lam bi ash-shawab.