LARANGAN BUKA BERSAMA (BUKBER), KEBIJAKAN BLUNDER KARENA KEDER?
OpiniKebijakan blunder hanya ada dalam demokrasi kapitalis yang berasaskan sekularisme
Aturan Islam (syariat Islam) pasti adil karena bersumber dari Allah yang Maha Adil. Oleh karena itu, dalam sistem Islam tidak akan ditemukan hukum atau kebijakan yang blunder apalagi mendiskreditkan Islam
Penulis Nur Fitriyah Asri
Kontributor Media Kuntum Cahaya & Penulis Ideologis Islam AMK
KUNTUMCAHAYA.com-Dikutip dari Republika[dot]co[dot]id (23/3/2023), Presiden Joko Widodo melarang buka bersama (bukber) bagi jajaran menteri, kepala daerah hingga aparatur sipil negara (ASN) selama Ramadan 1444H. Larangan bukber tertuang dalam edaran surat Sekretaris Republik Indonesia Nomor 38/Seskab/DKK/03/2023 terus mengemuka, menimbulkan kontroversi, dan menuai kritik.
Kali ini protes keras datangnya dari mantan Ketua Umum PP Muhammadiyyah, Din Syamsudin, bahwa larangan bukber dinilai tidak arif dan tidak adil. Oleh karena itu, kepada umat Islam Din menyeru jangan menaati perintah pemimpin yang bermaksiat kepada Allah Swt..
Begitu pun KH. Said Aqil Siroj, mantan Ketua Umum PBNU, mengkritik kebijakkan bukber merupakan bentuk over intervensi atau campur tangan berlebihan negara dalam kehidupan keagamaan. Lantaran larangan bukber terus menuai kritikan publik yang dinilai blunder, yakni kebijakan yang salah besar atau ceroboh. Untuk itu, Said Aqil Siroj mengimbau agar dicabut. (detikNews, 26/3/2023)
Oleh sebab itu, terkait surat larangan bukber bertanggal 21 Maret 2023, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, menjelaskan bahwa larangan bukber hanya ditujukan kepada para menteri, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, Badan/Lembaga. Mereka diminta meneruskannya ke instansi masing-masing agar mematuhinya. Pasalnya, saat ini penanganan Covid-19 dalam transisi dari pandemi menuju endemi, jadi harus hati-hati. Di samping itu, aparat pemerintahan sedang disorot tajam dan kini para pejabat perlu hidup sederhana, kata Anung dalam pernyataan pers di akun YouTube Setpres, (23/3/2023).
Jika menelisik alasan pemerintah melarang bukber tersebut, kebijakan ini merupakan kesalahan besar alias blunder. Karena beberapa hal, di antaranya:
Pertama, jika alasan larangan bukber karena adanya bahaya Covid. Bukankah selama ini Presiden sendiri dan aparatnya sering melanggarnya dengan mengadakan pertemuan dan kunjungan yang mengundang kerumunan? Padahal, belum lama ini tepatnya 10-11 Desember 2022 Presiden Jokowi menikahkan putra bungsunya Kaesang Pangarep dengan Erina Gudono, yang mewah dan meriah. Tapi, nahas bagi HRS waktu itu gara-gara sambutan massa yang luar biasa ketika pulang dari Saudi Arabia dan mengadakan pengajian, membuatnya menjadi tersangka dan masuk penjara.
Sementara, konser dengan puluhan ribu orang digelar itupun dibiarkan. Olahraga, mal-mal, dan tempat rekreasi selama pandemi dibiarkan terbuka, tanpa ada kebijakan larangan bahaya Covid. Mengapa tidak dipersoalkan?
Sungguh, kebijakan yang tidak adil. Seharusnya, peraturan itu berlaku untuk semua warga negara tanpa terkecuali. Bukan pilih-pilih, apa lagi pada momen Ramadan terkait peribadahan umat Islam. Wajar, jika muncul tudingan atau kecurigaan masyarakat bahwa rezim anti Islam.
Kedua, nampaknya rezim kurang memahami makna dan hikmah buka bersama (bukber). Sejatinya, bukber dapat menyambung silaturahim yang tidak hanya mendatangkan rahmat dan pahala. Tapi, lebih dari itu justru dapat meningkatan kinerja ASN. Apalagi bukber disertai adanya tausiyah. Maka bersamaan momen Ramadan akan lebih menyentuh qalbu dan terbukanya pemikiran sehingga menyadari akan arti hidup. Dengan demikian hidup menjadi lebih berarti dan produktif.
Ketiga, alasan lainnya karena aparat pemerintahan harus hidup lebih sederhana karena sedang disorot tajam oleh publik. Muncul pertanyaan, mengapa disorot? Karena para pejabat hingga presiden ditengarai bergaya hidup mewah (hedonis) dan boros. Sementara mencuat fakta korupsi pejabat yang makin menjadi-jadi.
Belum lama ini publik dikagetkan dengan adanya dana 500 triliun untuk pengentasan kemiskinan bocor. Kini, terkuak harta kekayaan para pejabat pajak yang berujung soal kecurigaan pencucian uang di Kementerian Keuangan senilai Rp349 triliun, oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
Seharusnya, perhatian pemerintah fokus pada permasalahan tersebut. Bukan malah membuat kebijakan blunder yang justru melukai hati umat. Di saat rakyat susah, hidupnya sengsara masih dibebani pajak. Tidak tahunya uang pajak malah dipakai bancakan, bukan untuk menyejahterakan rakyat.
Walhasil, larangan bukber sejatinya hanya untuk pencitraan dan mengalihkan isu yang sedang santer. Agar rakyat tidak marah maka dibuatlah kebijakan blunder melarang bukber. Hal ini, justru mengindikasikan rezim merasa keder (takut) menghadapi rakyat yang sudah muak dan marah.
Sistem Kapitalis, Lahirkan Pejabat Materialis
Kebijakan blunder hanya ada dalam demokrasi kapitalis yang berasaskan sekularisme. Yakni, memisahkan agama dari kehidupan. Karena dalam sistem ini manusialah yang berhak membuat aturan yang bersumber dari akalnya yang terbatas. Wajar, jika aturan atau kebijakan yang dihasilnya tidak adil dan blunder. Karena tolok ukurnya bukan haram dan halal, melainkan berdasarkan manfaat dan hawa nafsu.
Dampaknya, semua cara dihalalkan demi meraup pundi-pundi materi. Oleh sebab itu, kekuasaan dan jabatan hanya sebagai alat untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Ironisnya, melalui kebijakan (undang-undang) yang dibuatnya, mereka bekerja sama dengan para pemilik modal asing dan aseng. Itulah wajah buruk sistem demokrasi kapitalis yang bertentangan dengan Islam dan akan selalu menyengsarakan rakyatnya.
Aturan Islam Adil, Membahagiakan Dunia dan Akhirat
Aturan Islam (syariat Islam) tentu adil karena bersumber dari Allah yang Maha Adil. Oleh karena itu, dalam sistem Islam tidak akan ditemukan hukum atau kebijakan yang blunder apalagi mendiskreditkan Islam.
Sebab, pada hakikatnya pemimpin (Khalifah) adalah meriayah (mengatur urusan umat) dengan menerapkan syariat yang bersumber pada Al-Qur'an dan Hadis.
Sejatinya, tujuan akhir setiap perintah Allah Swt. adalah la'allakum tuflihuna (supaya kalian berbahagia/beruntung). Bahagia dalam Islam itu mudah, yakni mendapat rida dari Allah Swt..
Berbeda dengan sudut pandang sistem sekuler yang berasumsi bahwa kebahagiaan diukur dengan banyaknya materi. Sampai tidak ingat mati, lupa kalau semua akan dimintai pertanggungjawaban Allah.
Adapun Islam telah memberikan tuntunan untuk bahagia yang tertulis dengan jelas di banyak ayat. Di antaranya pada ujung QS. Al-Baqarah ayat 189, (... dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung atau bahagia).
Takwa adalah kunci kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Menurut pernyataan Imam Al-Hasan al-Bashri, bertakwa adalah melaksanakan perintah dan meninggalkan semua larangan Allah Swt..
Sayangnya, hidup dalam sistem sekuler justru mendorong umat Islam suka memilah dan memilih syariat Islam. Padahal, belum disebut takwa meskipun melakukan puasa Ramadan, salat, zakat, haji, dan ibadah lainnya. Sedangkan maksiat jalan terus, seperti syirik, korupsi, menipu, berzina, mengumbar aurat, transaksi riba, dan lain-lainnya. Seakan rasa malu dan takut berbuat dosa telah hilang. Semua ini, akibat negara mengadopsi sekularisme yang menjauhkan umat dari agamanya tak terkecuali para pemimpinnya.
Ironis, jika pemimpin tidak memahami hakikat puasa Ramadan, yakni untuk mewujudkan ketakwaan. (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Jika takwa adalah buah dari puasa Ramadan. Tentunya ketakwaan itu harus selalu ada pada individu muslim kapan pun, di mana pun dan bagaimana pun. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Bertakwalah engkau dalam segala keadaanmu!" (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)
Seharusnya, seorang pemimpin mendorong dan memfasilitasi agar ketakwaan hakiki bisa diwujudkan meski Ramadan telah usai. Sebab, takwa adalah kunci kebahagiaan.
Caranya, tidak lain dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh di semua lini kehidupan. Bukan menerapkan hukum yang bertentangan dengan syariat. Wajib hukumnya menolak dan tidak mengikutinya. Sebab, hanya Islam saja yang menjanjikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Wallahualam bissawab.