THRIFTING BIKIN PENING?
Opini
Thrifting
dalam tataran individu dipandang mubah sebagai bagian dari bolehnya seseorang
untuk memiliki pakaian baik bekas maupun baru dengan jalan membeli. Seorang
Muslim membeli/mendapatkan dan mengenakan pakaian itu adalah dalam rangka
menutupi auratnya sebagai bentuk taatnya kepada Al-Khalik. Bukan untuk memenuhi
nafsu meraih kesenangan (hedon) dan meraih popularitas (syuhrah)
Negara dalam sistem Islam akan bertanggung jawab terkait kesejahteraan seluruh rakyatnya. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, kebutuhan akan sandang akan menjadi salah satu prioritas perhatian negara untuk menyediakan dan mendistribusikan di tengah rakyat
Penulis Yuliyati Sambas
Founder Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
Komunitas AMK
KUNTUMCAHAYA.com-Sudah lama thrifting (bisnis penjualan pakaian bekas impor) marak di Indonesia. Meski kualitas second nyatanya produk-produknya banyak diminati masyarakat. Maka menjadi sebuah pertanyaan ketika kini Presiden tampak pening dengan thrifting, bahkan mengomando jajaran di bawahnya untuk mengusut dan menelusuri akar penyebabnya. Kenapa baru sekarang?
Sebagaimana dilansir Republika[dot]co[dot]id (19/3/2023)
bahwa merebaknya impor baju seken membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) geram.
Baginya thrifting menjadi satu faktor
penyebab terganggunya industri tekstil di Indonesia. Kapolri Jenderal Listyo
Sigit dalam hal ini mengaku sudah menginstruksikan kepada jajaran di bawahnya
dan berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Ditjen Bea
Cukai untuk mengusut dan mencegah bisnis thrifting.
Dalam video Tribun-News (21/3/2023) diperlihatkan
pemusnahan pakaian seken impor di beberapa wilayah telah dilakukan oleh jajaran
Kementerian Perdagangan hingga senilai Rp20 miliar. Ini sebagai bukti bahwa
pemerintah tidak main-main untuk memerangi bisnis thrifting.
Dasar
Hukum Larangan Thrifting
Larangan terkait thrifting pun telah diundangkan sejak
disahkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang
Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Beberapa pasal di dalamnya menyebut bahwa
barang yang dilarang impor itu adalah kantong, karung dan baju bekas.
Peraturan tambahan
terkait thrifting dipertegas dalam
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker bahwa ketentuan impor itu
hanya untuk produk baru, kecuali ada ketetapan lain dari Pemerintah Pusat. Bahkan
sanksi yang diberlakukan bagi yang melanggar pun telah diatur dalam
Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Yakni berupa
pemenjaraan maksimal 5 tahun ditambah denda sampai Rp5 miliar.
Nyatanya thrifting tetap ada. Tentu ini bikin pening.
Apa
Itu Thrifting?
Thrifting
secara bahasa sebenarnya bermakna penghematan. Berhemat dalam artian bahwa
masyarakat bisa mendapatkan produk bekas yang dibutuhkan, tentu dengan harga
miring. Kita bisa mengenal tempat-tempat yang biasa menjualnya di toko barang
bekas, garage sale atau pasar loak. Lantas
di mana letak kesalahan thrifting?
Selanjutnya kita butuh
tahu kenapa thrifting kian merebak
dan bahkan membudaya. Alasan pertama karena gaya hidup hedon dan branded-mind menyusupi benak masyarakat.
Maka dalam perkara kebutuhan akan pakaian pun tak sedikit yang menginginkan
pakaian bermerek, berasal dari luar negeri alias impor, tapi tetap ramah di
dompet. Ketika barang baru bermerek tak bisa didapat, maka muncullah demand berupa barang bekas branded. Dalam prinsip ekonomi
kapitalistik, demand akan memunculkan
suplai. Maka bermunculanlah pasar-pasar barang/pakaian bekas.
Alasan kedua bahwa tak
dimungkiri betapa negeri ini telah lama berkubang dalam persoalan kemiskinan
sistemik. Potret kemiskinan yang ada di tengah masyarakat sampai-sampai
memunculkan kondisi miris bahwa dalam pemenuhan kebutuhan akan sandang pun
didapat dari pakaian dengan harga murah.
Ketika telah merebak,
lantas saat ini pemerintah mengatakan bahwa thrifting
itu dilarang dengan alasan mengganggu industri tekstil dalam negeri dan
menggerus UMKM. Padahal kita bisa melihat bahwa industri tekstil itu telah lama
kolaps, bukan saat ini saja. Apalagi UMKM di tengah masyarakat menengah ke
bawah, itu sebenarnya kebanyakan hanya bermain di tataran bisnis perpanjangan
rantai produksi saja. Jadi alasan sesungguhnya pemerintah gusar dan
bersungguh-sungguh memberantas thrifting
khususnya yang ilegal itu kenapa?
Alasan
Larangan Thrifting
Alasan yang mengemuka
terkait pelarangan thrifting itu
dikarenakan beberapa sebab. Pertama negara
melihat bahwa thrifting merugikan
industri tekstil dalam negeri. Kedua
negara kehilangan kesempatan mendapat pemasukan pajak bea cukai impor. Ketiga menggerus pertumbuhan industri
pakaian dalam negeri. Keempat, bahwa
produk-produk thrifting berpotensi
membawa madharat bagi masyarakat dari
sisi penyebaran penyakit karena bakteri dalam pakaian bekas. Dan kelima, adanya potensi menambah tumpukan
sampah dari yang tidak terjual dan terpakai.
Namun, beberapa pihak
memandang bahwa pelarangan thrifting
yang kini diaruskan pemerintah cenderung bersifat reaktif saja. Salah satunya
dikemukakan oleh Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto.
Ia mensinyalir bahwa pemerintah tengah memosisikan diri menjadi bagian dari
permainan dagang, pencitraan dan berpotensi mengorbankan masyarakat. (Tempo[dot]co, 18/3/2023)
Hal tersebut tentu
beralasan. Ketika dilihat bahwa di balik pelarangan itu adakah pemerintah
membersamainya dengan arah kebijakan lain? Berupa perlindungan terhadap
industri tekstil dalam negeri dari hulu hingga hilirnya. Di hulu adakah upaya
pemerintah untuk konsisten menghidupkan industri bahan baku tekstil dalam
negeri, tidak melulu tergantung pada impor? Lalu apakah juga melakukan upaya
menopang industri kain dan tenun home
industry agar kembali bergairah? Hingga adakah pemerintah memberi
perlindungan dan dukungan penuh bagi penjualan produk pakaian dalam negeri
untuk bisa dipasarkan secara sehat di negeri sendiri?
Alasan yang menyatakan
bahwa Thrifting membunuh UMKM pun
sebenarnya tidak masuk akal. Anggota DPR RI Adian Napitupulu blak-blakan
menyampaikan bahwa data Asosiasi Pertekstilan memperlihatkan justru pakaian
jadi impor dari Cinalah yang memonopoli pasar Indonesia hingga 80%. Tahun 2019
saja ketika pakaian jadi impor dari Cina 64.660 ton, pakaian bekas impor hanya
bisa masuk ke pasar dalam negeri 417 ton saja, tidak mencapai 0,6%-nya. (Republik[dot]co[dot]id, 18/3/2023)
Jadi sebenarnya siapa
yang sedang dibela oleh pemerintah, rakyatkah atau importir dan oligarki yang
bermain di tataran impor pakaian jadi Cina?
Thrifting di Sistem Kapitalistik Sekuler
Sayangnya kita hari ini
hidup di alam kapitalistik sekuler. Dalam sistem ini negara tidak memberi
perlindungan penuh bagi pengusaha tekstil dalam negeri, produksi pengadaan bahan
baku, hingga penjualan produk pakaian dalam negeri. Itu karena mereka wajib
tunduk pada alur kebijakan pasar bebas yang diadopsi. Semua produk yang berasal
dari negara manapun bebas untuk memasuki pasar dalam negeri. Negaralah justru
yang akan memastikan mekanisme ini, meski usaha rakyat sendiri kalang kabut dan
kolaps dibuatnya.
Hal ini berjumpa dengan
minimnya dukungan bagi kehidupan dan berkembangnya industri dalam negeri.
Negara yang baik dalam sistem Kapitalisme adalah negara yang memosisikan diri
sebagai pembuat regulator yang arah kebijakannya demikian tampak lebih memihak
pada kaum oligarki dan pihak kapitalis raksasa baik lokal terlebih global. Temuan
adanya pembelaan pada monopoli impor pakaian jadi Cina menjadi satu buktinya.
Maka pelarangan thrifting pun tak akan berarti banyak
ketika kemiskinan dan budaya hedon berupa branded-minded
dan shoppacholic di tengah masyarakat
dibiarkan terus merebak. Sementara kemiskinan yang ada kini lebih bersifat
sistemik karena gagalnya sistem ekonomi Kapitalisme dalam menyejahterakan
rakyatnya.
Adapun budaya-budaya
yang disebut di atas telah banyak menghinggapi benak masyarakat juga
dikarenakan sistem kehidupan kapitalistik sekuler yang dianut. Di sistem ini
kebahagiaan dipandang dari sisi ketika materi dan kesenangan dapat teraih. Maka
untuk mendukung pemikiran ini sensasi kesenangan berupa mampu mengumpulkan dan
membeli sebanyak-banyaknya pakaian branded
impor dipandang keren dan digandrungi.
Prinsip bisnis dalam
sistem ekonomi Kapitalisme pun mengatakan di mana ada demand maka di situ akan muncul suplai. Tak melihat bahwa produk
yang dimaksud halal atau haram, baik atau buruk, merugikan pihak lain atau
tidak. Selama itu menguntungkan dari sisi materi bagi dirinya, tentu akan
disediakan.
Maka selama sistem
Kapitalisme sekuler masih dianut, thrifting
meski –katanya- bikin pening akan
selalu ada.
Thrifting dalam Pandangan Sistem Sahih
Islam sebagai sistem
kehidupan sahih karena berasal dari Zat Yang Maha Pencipta memiliki pandangan
dan mekanisme yang khusus dalam beragam urusan yang ada di tengah masyarakat.
Tak terkecuali terkait thrifting.
Thrifting
dalam tataran individu dipandang mubah sebagai bagian dari bolehnya seseorang
untuk memiliki pakaian baik bekas maupun baru dengan jalan membeli. Seorang
Muslim membeli/mendapatkan dan mengenakan pakaian itu adalah dalam rangka
menutupi auratnya sebagai bentuk taatnya kepada Al-Khalik. Bukan untuk memenuhi
nafsu meraih kesenangan (hedon) dan meraih popularitas (syuhrah).
Rasulullah saw.
bersabda melalui jalur Ibnu Umar, “Barangsiapa
mengenakan pakaian syuhrah untuk mencari popularitas di dunia, niscaya Allah
akan mengenakan pakaian kehinaan kepadanya di hari kiamat nanti, kemudian
membakarnya dengan api neraka.” (HR.
Abu Daud dan Ibnu Majah)
Maka Islam tidak
memberi kesempatan hedonisme berupa brandedminded
dan shopacholic membudaya di
kalangan masyarakat.
Negara dalam sistem
Islam akan bertanggung jawab terkait kesejahteraan seluruh rakyatnya. Dengan
menerapkan sistem ekonomi Islam, kebutuhan akan sandang akan menjadi salah satu
prioritas perhatian negara untuk menyediakan dan mendistribusikan di tengah
rakyat.
Dalam hal penyediaan
industri pakaian dan tekstil dalam negeri akan didukung keberlangsungannya
dengan serius. Mulai dari hulu (bahan baku) hingga hilir (penjualan bahan
tenun, tekstil hingga pakaian jadi). Aspek distribusi dan akses keterjangkauan
urusan sandang sampai di tengah masyarakat pun menjadi tanggung jawab negara.
Ini karena pemimpin dalam Islam sadar dan yakin bahwa tanggung jawab pengurusan
setiap urusan dan kesejahteraan rakyat akan menjadi penentu kemuliaan dan
selamatnya diri mereka di akhirat kelak.
Maka demikian tampak
bahwa hanya di sitem Islamlah thrifting tak
bikin pening. Dan yang pasti keberpihakan
negara pada rakyat dan kesejahteraannya nyata adanya. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.