Krisis Populasi Melanda Jepang, Gerbang Awal Kehancuran Negara Liberal?
OpiniIni merupakan potret kehidupan masyarakat kapitalis yang memprihatinkan. Inilah harga mahal yang harus dibayar untuk kemajuan pertumbuhan ekonomi yang mereka kejar. Pemikiran untuk lebih fokus kepada karir daripada menikah dan memiliki anak telah mengakar sebagai dampak bercokolnya pemikiran sekuler dan membuat kehidupan sosial masyarakat sulit dikendalikan. Hal ini sekaligus menjadi titik awal dari gejala sekaratnya sebuah bangsa karena minim penerus. Jika hal ini masih belum teratasi maka tidak menutup kemungkinan penduduk lokal Jepang akan punah dari bumi
Penulis Ati Nurmala
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah
KUNTUMCAHAYA.com - Pasca berakhirnya perang dunia II sains dan teknologi di Jepang berkembang pesat. Jepang dengan teknologi yang dimilikinya mampu membawa nama negeri Sakura tersebut mendapat predikat sebagai negara dengan kekayaan nomor 3 di dunia. Sumbangsih teknologi yang dikembangkan oleh Jepang memberi pengaruh besar terhadap globalisasi yang mengagumkan negara-negara Eropa bahkan dunia. Namun dengan segala kemajuan serta kemegahannya dalam bidang pendidikan dan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi tersebut, tidak lantas menjadikan Jepang aman dari guncangan dalam perjalanannya.
Saat ini Jepang tengah mengalami kegalauan yang memprihatinkan. Pasalnya angka kelahiran di negeri Sakura tersebut dikabarkan menurun selama 14 tahun terakhir dan pada tahun 2022 menjadi yang paling buruk dalam sejarah Jepang. Menurut data grafik kelahiran 14 tahun terakhir, jumlah populasi Jepang menurun dari 125 juta jiwa, diproyeksikan mengalami penyusutan hingga 86,7 juta jiwa per 2060. Sejauh ini angka kelahiran Jepang mencapai 599.636 bayi sepanjang Januari-September 2022. Artinya jumlah ini berkurang 4,9% dibanding tahun lalu yang memecahkan rekor natalitas terendah. (Kompastv, 28/11/2022)
Penyusutan populasi ini berimbas kepada instansi pendidikan yang terancam tutup sebab tidak memiliki murid. Menurut data pemerintah, sejak tahun 2002 sampai 2020, hampir 9 ribu sekolah di Jepang menutup pintu mereka selamanya. Ada sekurangnya 450 sekolah yang ditutup setiap tahunnya, sebut saja SMP Yumoto sebuah sekolah yang berpusat di distrik yang pada puncak kejayaannya di tahun 1960-an memiliki sekitar 50 lulusan setiap tahunnya tapi jumlah ini terus menyusut sejak tahun 2000. Hingga pada beberapa waktu lalu sekolah yang telah berdiri selama lebih dari 76 tahun tersebut resmi menutup pintu untuk selamanya ketika tahun ajaran berakhir. Lulusan sekolah menengah tersebut hanya memiliki dua murid dan itu adalah satu-satunya lulusan terakhir. (Detikhealth[dot]com, 3/04/ 2023)
Fenomena penurunan jumlah populasi yang melanda negara dengan kekayaan nomor 3 di dunia tersebut bukan tanpa alasan. Jepang merupakan salah satu dari negara-negara yang dijuluki keajaiban Asia Timur lantaran keberhasilannya menjadi wilayah pertumbuhan ekonomi yang tinggi saat ini. Namun sayangnya, kemajuan dalam sektor ekonomi tersebut memicu Jepang mengalami risiko kepunahan ras mereka sendiri sebagai sebuah bangsa. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan sebab beginilah ironi di negeri yang mengadopsi sistem Kapitalisme hari ini.
Kapitalisme yang orientasinya kepada materi ditambah lagi arus pemikiran sekuler yang mendarah daging pada masyarakat tentu memberi lebih banyak dorongan untuk enggan memiliki keturunan sebab tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Ternyata dengan predikat negara kaya tidak menjadikan kehidupan ekonomi masyarakatnya tertangani dengan baik. Buktinya alasan masyarakat tidak memiliki anak salah satunya adalah tingginya biaya hidup di negeri Matahari Terbit tersebut.
Selanjutnya, sebagaimana yang kita ketahui Jepang merupakan salah satu negara yang berusaha keras dalam mengontrol populasi rakyatnya dengan memberlakukan program pembatasan kelahiran. Hal ini dilakukan untuk menstabilkan ekonomi dengan memberdayakan perempuan sebagai penggerak ekonomi. Tanpa mempertimbangkan dampak mengerikan yang akan mereka hadapi di masa depan sebagai konsekuensi dari penekanan terhadap angka kelahiran tersebut. Saat ini mereka tengah mengalami keresahan karena minimnya jumlah penduduk bahkan turunnya angka kelahiran tersebut 8 tahun lebih awal dari prediksi pemerintah. Untuk mengatasi hal ini pemerintah Jepang akhir-akhir ini telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong rakyatnya agar mau memiliki keturunan. Bahkan pemerintah menjanjikan subsidi dari awal kehamilan, kelahiran dan perawatan anak. Mereka juga memberi insentif untuk perempuan yang bersedia hamil dan melahirkan. Namun sejauh ini hal tersebut belum memberi dampak yang signifikan untuk menaikkan angka kelahiran.
Sejatinya apabila tingkat perempuan yang belum menikah pada suatu wilayah tersebut tinggi maka otomatis akan diikuti dengan minimnya angka kelahiran. Kemudian akhirnya hal ini mengarah kepada depopulasi yang mengerikan. Kasus serupa terjadi pada setiap negara Kapitalisme maju termasuk Jepang. Pasalnya dalam sistem Kapitalisme yang menjadikan materi sebagai orientasinya membuat para perempuan lebih memperioritaskan kesuksesan materi dibanding membangun sebuah keluarga. Mereka beranggapan bahwa menjalankan peran sebagai seorang Ibu justru mengekang kaum perempuan dengan tugas-tugas rumah tangga. Mereka menganggap anak-anak adalah beban ekonomi yang menyulitkan.
Ini merupakan potret kehidupan masyarakat kapitalis yang memprihatinkan. Inilah harga mahal yang harus dibayar untuk kemajuan pertumbuhan ekonomi yang mereka kejar. Pemikiran untuk lebih fokus kepada karir daripada menikah dan memiliki anak telah mengakar sebagai dampak bercokolnya pemikiran sekuler dan membuat kehidupan sosial masyarakat sulit dikendalikan. Hal ini sekaligus menjadi titik awal dari gejala sekaratnya sebuah bangsa karena minim penerus. Jika hal ini masih belum teratasi maka tidak menutup kemungkinan penduduk lokal Jepang akan punah dari bumi. Sekali lagi terbukti bahwa sistem kapitalis hanya menyediakan solusi praktis yang menyelesaikan masalah dengan menghadirkan masalah baru. Hingga permasalahannya tersebut berlarut-larut tanpa bisa ditemukan solusi tuntasnya, Inilah wajah asli sistem Kapitalisme buatan manusia.
Kemudian jika kita melihat bagaimana upaya pemerintah Jepang untuk memotivasi warganya agar mau memiliki keturunan, maka kita temui fakta bahwa betapa dunia menyadari pertumbuhan penduduk adalah potensi demografi bukan ancaman. Sebab para generasi muda adalah tulang punggung peradaban mereka merupakan aset bangsa yang sangat berharga. Melalui tangan merekalah estafet kehidupan ini akan terus berlanjut. Maka dalam sistem Islam yang pernah berjaya selama lebih dari 13 abad, penurunan populasi tidak pernah terjadi sepanjang sejarah peradabannya. Hal ini sebab Islam memegang prinsip-prinsip di antaranya adalah pertama Islam memuliakan lembaga pernikahan dan menjadikan pernikahan sebagai satu-satunya metode melestarikan keturunan.
Islam juga memiliki seperangkat hukum-hukum bekerluarga untuk menata pembagian peran antara suami dan istri. Kedua, tujuan berkeluarga dalam Islam yakni beribadah kepada Allah untuk melestarikan keturunan dan mendatangkan ketenteraman sakinah mawadah warahmah bukan hanya memuaskan naluri seksual atau status sosial semata. Selain itu Islam sangat menekankan paradigma identitas bertanggung jawab dalam mendidik generasi.
Islam membentuk pondasi keimanan dan ketawakalan rezeki bagi kaum Muslimin. Sehingga pembagian peran dalam keluarga tidak goyah seperti yang terjadi saat ini. Islam mengatur pihak laki-laki sebagai penanggung jawab jaminan nafkah bagi keluarganya. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 233:
"Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh. Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan sesuai kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena kesengsaraan karena anaknya. Dan ahli waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu. Apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Ketiga, Daulah Islam menerapkan sistem ekonomi yang sehat. Dalam Islam tidak ada model keuangan cacat ala kapitalis yang berbasis riba. Islam menerapkan larangan privatisasi sumber daya alam, melarang asing berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur, perindustrian, pertanian, maupun teknologi. Oleh sebab itu tidak akan terjadi kasus kemiskinan, kesenjangan, langkanya lapangan pekerjaan seperti dunia Islam hari ini akibat dari penerapan sistem ribawi ala sistem bathil kapitalis sekuler.
Sesungguhnya Daulah Islam atau negara Islam adalah perisai bagi umat. Khalafah atau kepala negara dalam Islam akan menghapuskan sistem ekonomi berbasis riba. Islam akan menjamin ketahanan keluarga, menjaga kehormatan kaum ibu dan menjaga generasi kaum Muslim yang bermartabat. Daulah Islam juga akan mampu melindungi warga dari guncangan akibat keserakahan ekonomi kapitalis. Dari sinilah Islam akan mampu membangun ketahanan keluarga di tengah tuntutan materialistik yang kian melanda keluarga-keluarga Muslim. Karena penerapan Islam secara kaffah tersebut maka sepanjang sejarah peradaban Islam yang telah berjaya selama lebih dari 13 abad penurunan populasi tidak pernah terjadi. Wallahu a'lam bi ash-shawwab. []