Solusi Konflik Bersenjata di Bumi Papua
OpiniDisintegrasi dalam pandangan Islam tidak bisa diabaikan begitu saja, merupakan permasalahan serius. Hal ini biasanya diawali dengan munculnya berbagai pemberontakan (bughat) yang disebabkan oleh kekecewaan masyarakat akan pengayoman negara yang dirasa tidak adil. Padahal seorang penguasa memiliki tanggung jawab penuh atas urusan rakyatnya
Penulis Irma
Faryanti
Kontributor
Media Kuntum Cahaya & Member Akademi Menulis Kreatif
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - KKB kembali
membuat onar, mereka tidak lelah
menimbulkan kekacauan di bumi Papua. Konflik semakin memanas ketika empat
prajurit TNI tewas saat melakukan penyelamatan pilot Susi Air, kapten Philip
Mark Merthens yang disandera sejak awal Februari lalu oleh Kelompok Kriminal
Bersenjata di bawah pimpinan Egianus Kogoya. Ia ditawan setelah pesawat yang
diterbangkannya diserbu dan dibakar. (CNN Indonesia, 21 April 2023)
Dalam sebuah
video, Kapten Philip menyatakan bahwa kelompok tersebut akan membebaskannya
jika Papua dinyatakan merdeka, tetapi hal itu ditolak dan TNI pun berusaha
sekuat tenaga untuk membebaskannya dari sandera. Hingga akhirnya kontak senjata
pun tak terhindarkan, menimbulkan korban jiwa dari pihak tentara Indonesia.
Sayangnya, bukan hanya tentara juga berdampak pada kriminalisasi masyarakat
sipil di wilayah tersebut.
Koordinator
Himpunan Mahasiswa Papua, Rudy Kogoya meminta negara menghentikan pengiriman
personil TNI dan melakukan dialog damai agar konflik tidak semakin memanas.
Bahkan ia menuntut penarikan militer organik dan non-organik serta pembentukan
tim investigasi independen untuk mencari fakta penyiksaan warga. Setidaknya ada
delapan orang yang menjadi korban, lima di antaranya berusia belasan tahun yang
berlokasi di Distrik Kuyawage Lanny Jaya.
Muhammad
Isnur selaku Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
berpendapat bahwa operasi tempur yang terjadi di Papua adalah ilegal. Karena
tidak didasarkan perintah presiden serta persetujuan dari pihak DPR-RI.
Menurutnya penggunaan kekuatan militer yang tidak legal akan sangat
membahayakan negara karena bisa digunakan sebagai alat represi masyarakat sipil
di kemudian hari. Berdasarkan udang-undang, disebutkan bahwa pergerakan TNI
baru bisa dilakukan atas perintah Kepala Negara saat terjadi kekerasan senjata.
Konflik yang
selalu berulang, menyiratkan adanya masalah yang tidak kunjung tersolusikan.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bidang Papua, Adriana
Elisabeth mengungkap beberapa penyebab berlarutnya permasalahan. Salah satunya
adalah adanya marginalisasi dan diskriminasi terhadap rakyat di Bumi Cenderawasih itu. Mereka merasa dianaktirikan dan diperlakukan berbeda dari
wilayah lainnya. Pembangunan yang tidak merata pun menjadi alasan lain dari
kekecewaan mereka. Hal inilah yang menimbulkan kecemburuan dan memicu aksi
kekerasan yang telah terjadi sejak tahun 1965 dengan adanya agresi militer yang
memunculkan pelanggaran HAM.
Di sisi
lain, Papua yang dikenal kaya dengan sumber daya alamnya, ternyata didominasi
perusahaan asing dari AS dan Inggris dalam pengelolaannya. Diduga, munculnya
ide kemerdekaan Papua merupakan strategi agar cengkeraman mereka tetap terjaga
melalui terkendalinya kondisi perpolitikan di sana. Bahkan Australia yang
menjadi perpanjangan tangan dari AS mendukung sepenuhnya. Karena dengan
terpisahnya wilayah ini dari Indonesia, mereka akan memperoleh keuntungan
dengan dikuasainya kekayaan alam dan mendominasi kebijakan politiknya. Sehingga
nantinya mereka dapat menguasai daerah ini.
Sejatinya,
kemerdekaan yang mereka tuntut hanyalah semu belaka karena hanya dilandasi oleh
nasionalisme dan kesukuan semata. Hal itu justru akan melemahkan Papua, pembangunan
akan semakin terhambat karena kekayaan alam telah habis dieksploitasi. Tidak
menjamin, dengan merdeka nanti mereka akan terlepas dari pertikaian antar suku,
bahkan terjadinya pergolakan akibat perebutan kekuasaan akan sangat mungkin
terjadi.
Nasionalisme
yang merupakan ide turunan Kapitalisme, sengaja ditanamkan ke negeri-negeri
kaum muslim untuk mempengaruhi dan melemahkan kekuatan politiknya. Kekuatannya
pun rapuh karena keberadaannya bisa muncul dan tenggelam tergantung adanya
permasalahan yang menjadi pemicu. Kapitalis memang memiliki kepentingan yang
besar di balik memanasnya konflik KKB ini. Bahkan diduga sengaja dipelihara
agar posisi mereka di Freeport aman. Padahal jelas sangat berbahaya karena
dapat menjadi ancaman disintegrasi bagi Papua itu sendiri.
Disintegrasi dalam pandangan Islam tidak bisa diabaikan begitu saja, merupakan permasalahan serius. Hal ini biasanya diawali dengan munculnya berbagai pemberontakan (bughat) yang disebabkan oleh kekecewaan masyarakat akan pengayoman negara yang dirasa tidak adil. Padahal seorang penguasa memiliki tanggung jawab penuh atas urusan rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. Al-Bukhari dan Muslim: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."
Terlebih
lagi, dengan adanya korban jiwa, maka negara harus menanganinya dengan konsep
politik perang karena dianggap telah melanggar wibawa negara. Hal ini sama
dengan menghina Islam itu sendiri. Sebagaimana yang pernah terjadi pada perang
Mu'tah, Rasulullah mengirim sejumlah utusan ke beberapa negeri di luar Madinah.
Beliau mengutus Harits bin Umair al-Azdi menemui pemimpin Bashra yang saat itu
di bawah kekuasaan Romawi. Namun sang utusan akhirnya ditahan, diikat dan
dibunuh oleh penguasa tersebut. Hal itu merupakan bentuk pelecehan terhadap
Islam, sehingga dikirimlah pasukan Mu'tah.
Demikianlah
cara Islam dalam menjaga kedaulatan negara dari berbagai upaya disintegrasi.
Tidak akan mungkin semua akan terlaksana dalam naungan Kapitalis. Hanya dalam
sistem kepemimpinan Islam-lah semua akan terlaksana sempurna dengan
diterapkannya syariat Islam di setiap aspek kehidupan. Wallahu a'lam bi ash-shawwab. []