Telaah atas Fenomena Sadisme pada Generasi
OpiniProses pendidikan bagi anak dan generasi saat ini telah gagal membentuk pribadi sebagaimana yang diharapkan. Pengaruh budaya kebebasan yang didapat dari Barat deras membanjiri arus informasi melalui kecanggihan teknologi yang ada. Apa-apa yang berasal dari Barat, dari luar negeri dipandang keren diikuti. Anak-anak yang merupakan generasi di negeri Muslim terbesar ini akhirnya terbiasa bahkan terdidik dengan budaya semau gue, dan cenderung mengedepankan kesenangan semata. Keimanan dan halal haram yang semestinya menjadi dasar dan patokan dalam menjalani kehidupan, tergantikan dengan dominasi pemikiran sekadar puaskan nafsu hedonis dan peraihan eksistensi diri. Maka ketika dirasa budaya kekerasan dan sadisme dapat memuaskan itu semua, naluri mengasihi antar sesama, terlebih rasa takut akan dosa kian menguap dari benak. Perkelahian hingga tawuran pun menjadi satu kesenangan dan kepuasan
Penulis Yuliyati Sambas
Founder Media Kuntum Cahaya & Pegiat
Literasi Komunitas Penulis AMK
KUNTUMCAHAYA.com - Betapa meresahkan
melihat kondisi anak muda saat ini. Tabiat sebagian dari mereka makin memburuk
saja. Perangai sadis dan kekerasan kian membudaya. Salah satunya muncul
fenomena perang sarung yang merembet menjadi aksi tawuran. Suasana Ramadan yang
semestinya diisi dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat, kini dicederai oleh
perilaku yang jauh dari akhlak islami. Bahkan aksi mereka cenderung berujung
pada tindak kriminal karena dapat melukai hingga berpotensi menghilangkan nyawa
pihak lain. Astagfirullah.
Dilansir Detik[dot]com (25/3/2023)
bahwa Kapolsek Jagakarsa Kompol Multazam Lisendra membenarkan telah mengamankan
15 remaja yang kedapatan melakukan aksi tawuran menggunakan sarung yang
ujungnya diikat dengan batu. Kejadian tersebut berlangsung pada Jumat malam
(24/3), kisaran pukul 21.45 WIB, di Jalan Durian, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Rencana tawuran dengan
modus tarung sarung pun pada Sabtu (26/3) dini hari berhasil digagalkan oleh
pihak kepolisian di Sukabumi, pasca adanya laporan dari masyarakat.
Sukabumiupdate.com (25/3/2023) memberitakan bahwa sebanyak 7 anak di bawah umur
telah diamankan Kepolisian Sektor Cibadak. Mengerikannya, selain didapati sarung-sarung,
barang bukti lainnya yang berhasil disita berupa besi-besi, stik golf, pedang,
hingga celurit. Ya Allah, kalau hanya
untuk bermain perang-perangan sarung di antara anak-anak dan remaja, lantas untuk
apa sampai ada pedang dan celurit? Ngeri.
Perang sarung hanya
satu di antara beragam fenomena kekerasan dan kesadisan yang bermunculan di
kalangan remaja. Mulai dari perkelahian, bullying,
pemerkosaan, bahkan tak sedikit di antaranya yang sampai pada penganiayaan
hingga menghilangkan nyawa. Apa sebenarnya
yang melatarbelakanginya?
Faktor
yang Melatarbelakangi
Budaya kekerasan yang dilakukan
oleh generasi muda termasuk pelajar kini tampak makin sadis. Dilihat dari
jumlahnya yang kian banyak saja. Bahkan modus yang dilakukan pun demikian beragamnya.
Hal miris ini tentu butuh untuk diurai penyebab, dampak dan solusinya. Agar
kengerian yang ditimbulkan oleh aksi-aksi mereka segera dapat diakhiri.
Selanjutnya para pemuda negeri ini dapat diarahkan menjadi generasi yang
beradab, berakhlak mulia dan berprestasi.
Jika mau jujur, kita
akan katakan bahwa proses pendidikan bagi anak dan generasi saat ini telah
gagal membentuk pribadi sebagaimana yang diharapkan. Pengaruh budaya kebebasan
yang didapat dari Barat deras membanjiri arus informasi melalui kecanggihan
teknologi yang ada. Apa-apa yang berasal dari Barat, dari luar negeri dipandang
keren diikuti. Anak-anak yang merupakan generasi di negeri Muslim terbesar ini
akhirnya terbiasa bahkan terdidik dengan budaya semau gue, dan cenderung mengedepankan kesenangan semata. Keimanan
dan halal haram yang semestinya menjadi dasar dan patokan dalam menjalani
kehidupan, tergantikan dengan dominasi pemikiran sekadar puaskan nafsu hedonis
dan peraihan eksistensi diri. Maka ketika dirasa budaya kekerasan dan sadisme
dapat memuaskan itu semua, naluri mengasihi antar sesama, terlebih rasa takut
akan dosa kian menguap dari benak. Perkelahian hingga tawuran pun menjadi satu
kesenangan dan kepuasan. Ini yang pertama.
Kedua,
Barat minded yang menginfeksi kaum
muda ternyata menyerang pula kalangan para emak
dan bapak-bapaknya. Materi dan prestasi akademik kerap menjadi satu-satunya
“harapan” para orangtua atas anak-anaknya di zaman now. Maka mereka sudah sangat puas jika anak-anaknya telah dibekali
dengan limpahan harta dan disekolahkan/dileskan di lembaga-lembaga bergengsi.
Sementara bekal agama luput dari perhatian. Terlebih dari sisi perhatian, kasih
sayang, emotional bonding dengan anak
kerap tak mendapat porsi yang cukup.
Di sisi lain bagi
mayoritas keluarga di negeri ini yang berada pada posisi ekonomi sulit telah
banyak kehilangan waktu untuk bercengkerama dan memberi didikan agama kepada
anak-anaknya. Suasana stressing ketika
berjuang mengais rezeki telah menguras perhatian dan energi untuk sekadar
memastikan kecukupan porsi pemahaman agama sang buah hati.
Ketiga,
liberalisme dan individualisme benar-benar telah merasuki masyarakat. Perilaku
saling mengingatkan akan kebaikan dan mencegah dari keburukan dipandang mencederai
privasi. Pada akhirnya yang muncul adalah masa bodoh dengan keburukan yang
terjadi pada orang lain. Pikirnya, ‘yang penting bukan aku, anakku, atau
sodaraku’. Jika pun ada sebagian kecil saja yang tampak peduli dengan kerusakan
yang terjadi di tengah masyarakat, framing
‘usil’ atau ‘tukang turut campur urusan orang’ bahkan ‘sok suci’ siap-siap
dilekatkan pada yang bersangkutan.
Keempat,
sistem
pendidikan yang diberlakukan di negeri mayoritas Muslim ini pun bersifat
sekuler. Ditambah dengan prinsip beragama yang diajarkan adalah moderasi. Maka
alih-alih menghasilkan output pelajar
dan mahasiswa beriman dan bertakwa, yang ada justru generasi yang materi oriented dan diri-diri yang terpecah kepribadiannya.
Karena agama pun hanya dipahamkan sebagai urusan ibadah mahdhah dan bersifat pribadi. Masalah kehidupan, agama
dipinggirkan.
Kapitalisme
Sekuler Biangnya
Itu semua sesungguhnya
adalah buah busuk dari akar sistem kehidupan Kapitalisme sekuler. Dalam sistem
ini, materi menjadi tolak ukur kebahagiaan dan pencapaian. Maka bermunculanlah
orang-orang yang silau akan kemajuan semu yang diraih Barat. Apapun yang datang
dari sana dipandang baik dan menjadi trend
setter.
Sekularisme sebagai
asas dalam berkehidupan, menjadikan pribadi-pribadi yang ada hanya
mengedepankan apa yang dipandang baik oleh nalarnya tanpa panduan agama. Maka
ketika ego dan eksistensi diri terusik, apapun bisa dilakukan termasuk
kekerasan kepada pihak yang mencederainya.
Adapun masyarakat yang
terdidik oleh Kapitalisme sekuler akan bersifat individualistik. Mereka enggan
untuk saling peduli, terlebih membudayakan saling ingat-mengingatkan akan
kebaikan dan mencegah dari keburukan. Bahkan makna baik dan buruk pun telah
bias, tergantung pribadi masing-masing. Tak ada standar yang baku.
Ketika Kapitalisme
dianut, negara pun abai dalam mengurus urusan rakyat. Penjagaan terhadap akidah
dan keselamatan demikian minimnya. Negara dalam hal ini abai dari menyortir
masuk dan menyebarnya budaya buruk dan menyesatkan dari Barat. Prinsip
Kapitalisme pulalah yang menjadikan negara tidak berdaya memblokir arus
informasi yang disiarkan oleh korporasi media global. Maka budaya hedonistik
pemuja kesenangan, vandalisme pemuja kekerasan, dan sederet budaya sesat
lainnya demikian mudah mengkooptasi benak generasi.
Dalam Kapitalisme pula sistem
pendidikan yang semestinya diarahkan dengan target menghasilkan generasi yang
beriman takwa, berbelok arah menjadi generasi yang materi oriented kering akan ruhiyah.
Butuh
Sistem Islam
Jika demikian adanya,
maka tentu butuh sistem alternatif yang akan mampu mengubah generasi dari yang
sebelumnya materi oriented, terbuai
budaya sadisme dan kekerasan menjadi generasi yang menjadikan agama sebagai
standar dalam berpikir dan berperilaku.
Islam sebagai way of life memiliki panduan yang
menyeluruh dalam menyolusikan semua problematika kehidupan, termasuk di
antaranya pendidikan terhadap generasi. Maka dalam hal ini, sebagai negeri
dengan penduduk Muslim terbesar sedunia, tak berlebihan kiranya jika menengok
arah solusi yang berasal dari ajaran agamanya.
Islam mengajarkan bahwa
umat wajib berpegang pada risalah Allah Swt. bersifat kaffah (menyeluruh). Sebagaimana yang difirmankan dalam Al-Qur’an
surah Al-Baqarah ayat 208. Ketika hal itu dilakukan maka Allah menjanjikan
keberkahan dari langit dan bumi akan dilimpahkan ke tengah-tengah umat (QS.
Al-A’raf ayat 96). Keberkahan berupa kebaikan dan kebahagiaan hidup, tentu
termasuk di antaranya terwujudnya generasi muda umat yang berakhlak dan
berperilaku mulia.
Ke-kaffah-an dalam memegang Islam terlihat dari beberapa indikasi. Pertama, memberlakukan sistem pendidikan
Islan untuk menyolusikan persoalan di tengah-tengah generasi. Hal ini dalam
rangka mengembalikan mereka menjadi sosok Muslim sejati. Kedua, Masyarakat tentu wajib diasah untuk memiliki kepedulian satu
sama lainnya, dengan membudayakan amar
makruf nahi mungkar. Ketiga
adalah mendorong negara agar mengambil peran untuk melindungi generasi secara
utuh dari hantaman budaya/pemikiran asing (kufur). Dengan cara menerapkan
aturan Islam yang menyeluruh dalam setiap sendi kehidupan.
Sejarah membuktikan, di
saat sistem kehidupan Islam diberlakukan, maka generasi yang dihasilkan
demikian hebat dan mulianya. Hebat karena mereka menggunakan segenap potensi
masa mudanya untuk mendalami ilmu, berkarya dan mengukir prestasi. Mulia
dikarenakan visi yang bersarang di dalam benak tak sekadar pencapaian dunia
semata, melainkan kesuksesan meraih kebahagiaan di akhirat. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.