Ada Apa di Balik Ancaman Pembunuhan terhadap Warga Muhammadiyah?
OpiniSekularisme inilah pangkal kerusakan dalam semua tatanan kehidupan. Dampaknya sungguh luar biasa, umat Islam dibius dengan mantra pluralisme (paham semua agama sama benar), liberalisme (paham kebebasan), dan isme-isme lainnya. Akibatnya imannya tergerus sehingga gampang dihasut, dan diadu domba
_______________________
Penulis Nur Fitriyah Asri
Kontributor Kuntum Cahaya dan Penulis Ideologis Akademi Menulis Kreatif
KUNTUMCAHAYA.com - OPINI - Gonjang-ganjing, akibat beredarnya ancaman pembunuhan terhadap warga Muhammadiyah oleh oknum pakar dan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangerang Hasanuddin, viral di media sosial.
Berawal dari menanggapi akun Thomas Jamaluddin (BRIN), terkait penentuan lebaran yang berbeda dengan keputusan pemerintah, tetapi masih minta difasilitasi tempat Salat Id.
Kemudian dikomentari: "Perlu saya halalkan nggak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian," demikian respons Andi di Facebook. (detikNews, 24/4/2023)
Tentu saja pernyataan Andi menuai kecaman dan kemarahan publik. Di antaranya adalah aktivis dan advokat Muslim, Ahmad Khazinuddin. Beliau menanggapi bahwa unggahan AP Hasanudin tidak hanya mengancam pembunuhan, tetapi mengandung unsur fitnah seakan-akan Muhammadiyah disusupi oleh Hizbut Tahrir melalui penanggalan Islam global.
Padahal, kalender Islam global yang merupakan kalender Hijriah dengan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia, adalah wacana murni yang digelorakan oleh Muhammadiyah.
Demikian, dalam menentukan awal Ramadan dan awal Syawal, antara Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir berbeda. Muhammadiyah mengadopsi metode hisab yang jauh hari sudah menentukan 1 Syawal jatuh pada hari Jumat, 21 April 2023. Sedangkan Hizbut Tahrir menggunakan metode rukyat global, yakni metode pemantauan hilal yang dilakukan di seluruh penjuru negeri kaum muslimin. Hasil pemantauan hilal terlihat di beberapa negara seperti di Arab Saudi, Uni Emirat, dan Qatar. Sehingga 1 Syawal jatuh pada hari Jumat, 21 April 2023 bersamaan dengan Muhammadiyah.
Sementara pemerintah mengadopsi metode rukyat lokal, berhubung hilal belum tampak maka Ramadan digenapkan 30 hari dan 1 Syawal jatuh pada hari Sabtu, 22/4/2023.
Dengan tegas Ahmad Khozinuddin menyayangkan anak buah Megawati di BRIN yang menuduh Muhammadiyah disusupi Hizbut Tahrir adalah fitnah keji dan mengadu domba ormas Islam. (Lamongan[dot]Network[dot]com, 28/4/2023)
Muncul Wacana Negara Terpapar Komunis, Skenario Habisi Ormas Islam?
Banyak indikasinya, di antaranya adalah, pertama, seharusnya sebagai seorang akademisi dan intelektual peneliti BRIN, memahami adanya perbedaan 1 Syawal karena metodenya berbeda. Apalagi BRIN berada di bawah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), diketuai Megawati Soekarnoputri bertugas memantau BRIN bekerja sesuai Pancasila. Sangat disayangkan, justru faktanya tidak Pancasilais.
Kedua adanya surat edaran dari oknum kepala daerah yang melarang Muhammadiyah Salat Idulfitri di lapangan karena menyelisihi ketetapan pemerintah. Bukankah perbedaan itu sering terjadi sejak rezim sebelum Jokowi?
Ketiga hilangnya spanduk pengumuman Salat Idufitri di Surabaya. Bahkan jauh hari, papan nama Muhammadiyah di Masjid Al-Hidayah, Kecamatan Cluring-Banyuwangi kembali hilang pada tanggal 8/4/2023.
Keempat kejadian-kejadian tersebut di atas adalah bentuk persekusi yang pernah dialami oleh ormas Islam lainnya seperti HTI, FPI, dan Khilafatul Muslimin. Semua berawal dari persekusi, yang selanjutnya berujung pada kriminalisasi, yaitu pencabutan badan hukumnya. Apalagi disebutkannya nama Hizbut Tahrir seakan menggiring opini ke arah sana.
Semua kejadian itu terjadi di rezim ini. Patut diduga ada otak intelektual di balik semua itu. Bahkan hingga ada yang menduga rezim terpapar komunis, karena hanya komunis saja yang membenci dan memusuhi agama. Jika hal ini dikaitkan dengan RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara) yang menimbulkan kontroversial karena tidak memasukkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunis/Marxisme. Juga wacana Pancasila diperas menjadi Trisila dan Ekasila, maka patut diduga.
Sekularisme Biang Keroknya
Semua itu terjadi akibat negara mengadopsi sekularisme sebagai asasnya. Yakni, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem yang menafikan agama sebagai sumber hukum dalam mengatur kehidupan. Baik kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Akibatnya umat tidak paham terhadap agamanya. Apalagi kebebasan sebagai pilar utamanya. Ini menjadikan tolok ukur perbuatannya bukan lagi haram dan halal. Melainkan berasaskan manfaat dan hawa nafsunya.
Sekularisme inilah pangkal kerusakan dalam semua tatanan kehidupan. Dampaknya sungguh luar biasa, umat Islam dibius dengan mantra pluralisme (paham semua agama sama benar), liberalisme (paham kebebasan), dan isme-isme lainnya. Akibatnya imannya tergerus sehingga gampang dihasut, dan diadu domba.
Insiden pembubaran pengajian, bentrok sesama ormas Islam, persekusi dan kriminalisasi ulama, dan Khilafah ajaran Islam adalah fenomena yang marak terjadi dalam sistem demokrasi sekuler. Mereka termakan propaganda busuk yang selalu dihembuskan untuk melabeli kelompok yang berseberangan dengan rezim, seperti radikalisme, anti-Pancasila, intolerasi, dan lainnya. Sejatinya semua itu untuk mengadu domba umat Islam dan menciptakan islamofobia supaya takut terhadap agamanya, serta tidak bersatu.
Contohnya, untuk penentuan 1 Syawal saja tidak bersatu, berbeda hingga lima hari. Jemaah Al-Mudhor Tulungagung, Salat Id Rabu, 19 April 2023. Jemaah Aolia Gunung Kidul-Yogyakarta, Kamis, 20 April. Muhammadiyah, Jumat, 21 April. Menag tetapkan Sabtu, 22 April. Islam Aboge Purbalingga, Ahad, 23 April. Bahkan gara-gara berbeda, ada insiden ancaman pembunuhan terhadap ormas Muhammadiyah. Sungguh ironis. Itulah bukti kegagalan sistem demokrasi sekuler yang menafikan agama sebagai sumber hukum.
Memang tidak dimungkiri bahwa penentuan 1 Syawal adalah persoalan khilafiah (perbedaan). Setidaknya ada tiga masalah, yaitu: 1) Masalah fikih, dengan metode rukyat atau hisab, jika menggunakan rukyat, apakah rukyat lokal atau rukyat global. 2) Masalah ilmiah yang terkait dengan rukyatul hilal. 3) Masalah politik, berkaitan dengan pihak yang patut ditaati oleh umat dalam penentuan awal bulan Qamariah.
Dengan tiadanya Khilafah, umat Islam terpecah menjadi lebih dari 50 negara bangsa yang masing-masing merasa berhak menentukan kapan puasa dan kapan berhari raya. Padahal, khilafiah tersebut bisa menjadi solusi ketika negeri-negeri Muslim bersatu dalam satu institusi Khilafah.
Sistem Islam Pemersatu Umat
Dalam sistem Islam (Khilafah), asasnya adalah akidah Islam. Akidah Ini yang mendorong individu Muslim menjadi insan takwallah, yakni melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Karena meyakini semua perbuatannya diawasi Allah dan di hari akhir akan dimintai pertanggungjawaban.
Akidah Islam sebagai perekat ukhuwah umat Islam seluruh dunia dalam sebuah institusi Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat 10: "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat."
Pada hakikatnya seorang pemimpin (Khalifah) harus menerapkan hukum-hukum Allah. Bagaimana jika terjadi perbedaan dalam menentukan awal bulan Qamariah? Khalifah akan mengadopsi satu ijtihad dari sekian ijtihad syar'i yang ada. Maka, hanya pendapat Khalifah itulah yang wajib diikuti oleh seluruh kaum Muslim.
Dengan demikian akan hilang perbedaan pendapat serta terwujud persatuan. Sebab, kaidah fikih menyebutkan: "Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah (khilafiah)." (Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi al-Siyasah al-Syar'iyah, 1/105 dan 2/904)
Alhasil hanya Khilafah sistem yang dapat mewujudkan persatuan seluruh umat Islam. Jika syariat Islam diterapkan secara kafah (menyeluruh), maka tidak hanya akan mampu menyelesaikan masalah khilafiah. Akan tetapi, juga akan mampu menyelesaikan semua persoalan-persoalan umat. Dengan demikian, rahmatan lil alamin akan terwujud. Wallahualam bissawab. []