Angka Baby Blues Tinggi, Ada Apa dengan Kesehatan Ibu?
OpiniKurangnya kesadaran akan pentingnya agama sebagai petunjuk hidup menyebabkan sang ibu merasa berat dalam menghadapi perannya sebagai seorang ibu. Mereka akan terbebani dengan keberadaan anak dan menganggap bahwa rutinitas menjadi seorang ibu adalah hal yang menjemukan
Ya, secara sistemik, perempuan hari ini tidak dipersiapkan menjadi seorang ibu
________________________
Penulis Novi Puji Lestari
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah Kampus
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Detik-detik momen haru pasca melahirkan yang diiringi dengan lantangnya suara tangisan bayi yang baru saja dilahirkan merupakan salah satu momen terindah bagi seorang ibu. Lebih dari itu, bagi sebagian wanita, keberhasilan melahirkan sang buah hati ke dunia dengan sehat wal a'fiyat menjadi salah satu indikator kesempurnaan seorang wanita. Tentu, isak tangis bahagia dari anggota keluarga pun semakin melengkapi kisah bahagia sang ibunda.
Nyatanya momen menimang sang buah hati pasca melahirkan tak selalu diiringi dengan perasaan bahagia dari seorang wanita. Sebaliknya, ada kalanya seorang wanita mengalami perasaan cemas, sedih, bahkan depresi setelah melahirkan. Kondisi ini dinamakan dengan "baby blues syndrom".
Dilansir dari HalloSehat[dot]com, 27/10/2022, baby blues syndrome atau sindrom baby blues adalah perubahan suasana hati setelah kelahiran yang bisa membuat ibu merasa terharu, cemas, hingga mudah tersinggung. Sindrom blues disebut juga sebagai postpartum blues yang biasanya dialami oleh sekitar 80 persen atau 4-5 ibu baru.
Kondisi ini menyebabkan seorang ibu merasa mudah tersinggung dan khawatir dengan masalah menyusui atau masalah kesehatan sang buah hati. Akibatnya, para ibu yang mengalaminya seringkali sulit tidur dan terus menangis tanpa alasan yang jelas. Jika kondisi ini dialami terus berlarut-larut, maka dikhawatirkan akan menuju pada fase depresi. Parahnya, fakta membuktikan bahwa Indonesia masuk ke dalam kategori negara dengan kasus baby blues tertinggi di Asia Tenggara. Miris!
Dilansir dari detikHealth[dot]com, berdasarkan pernyataan dari ketua komunitas Wanita Indonesia Keren dan psikolog Dra. Maria Ekowati bahwa pada penelitian di Lampung, ditemukan fakta bahwa 25 persen ibu mengalami gangguan depresi setelah melahirkan.
Lebih lanjut, dalam penelitian Adrianti pada 2020, sebanyak 32 persen ibu hamil mengalami depresi. Selain itu, 27 persen ibu hamil mengalami depresi post partum atau pasca persalinan.
Maria Ekowati juga mengungkapkan bahwa dalam penelitian nasional, menunjukkan hasil bahwa 50-70 persen ibu di Indonesia mengalami gejala minimal dan gejala sedang baby blues dan ini merupakan kasus tertinggi ketiga di Asia.
Jika kita lihat faktanya, ada banyak faktor penyebab "baby blues syndrom", di antaranya adalah faktor internal maupun eksternal. Seperti perubahan hormon, kesulitan beradaptasi dengan keadaan yang baru, kelelahan, kesulitan menyusui, riwayat gangguan kesehatan mental, kurangnya dukungan dari suami, keluarga, lingkungan dan lain sebagainya. Deretan penyebab ini jelas menjadi bukti bahwa kesiapan mental menjadi orang tua adalah suatu hal yang amat krusial bagi kita.
Apalagi seorang wanita yang akan menjadi arsitek peradaban suatu generasi, perlu memahami fitrah, peran dan kewajiban seorang ibu dengan sempurna. Pemahaman yang paripurna inilah yang menjadi benteng kekuatan seorang ibu saat harus dihadapkan pada tantangan-tantangan baru dalam mengurus dan mendidik sang buah hati. Di sinilah pentingnya peran ilmu parenting yang berasaskan akidah islamiyah yang perlu dipelajari dengan baik dan benar.
Sayangnya, sistem pendidikan saat ini tidak menjadikan kesiapan mental untuk menjadi orang tua sebagai kompetensi yang penting. Sebaliknya, pendidikan moral yang rendah dan maraknya pergaulan buruk peserta didik menghasilkan para lulusan institusi pendidikan yang hanya berorientasi pada nilai-nilai akademik materi semata. Padahal pendidikan juga harusnya ditujukan untuk mempersiapkan para individu agar mampu menjadi orang tua.
Pemahaman yang benar akan peran istimewa seorang ibu mampu menghasilkan sebuah mindset berpikir bahwa anak merupakan sumber investasi pahala yang perlu dijaga dan dilindungi sebagai bentuk amanah dari Allah Swt..
Pemikiran cemerlang tentang peran besar seorang ibu yang diberi gelar "arsitek peradaban Islam", pasti harus didukung oleh tsaqafah islamiyah dan keilmuan tentang merawat dan mendidik anak. Sayangnya, pada sistem kapitalisme sekuler ini, negara dan masyarakat kurang berperan dalam menjadi support system seorang ibu. Sistem yang telah jelas menjauhkan agama dari kehidupan ini membuat jiwa kita menjadi kering dari keimanan.
Kurangnya kesadaran akan pentingnya agama sebagai petunjuk hidup menyebabkan sang ibu merasa berat dalam menghadapi perannya sebagai seorang ibu. Mereka akan terbebani dengan keberadaan anak dan menganggap bahwa rutinitas menjadi seorang ibu adalah hal yang menjemukan. Ya, secara sistemik, perempuan hari ini tidak dipersiapkan menjadi seorang ibu.
Berbeda dengan para ibu dalam sistem daulah islamiyah, dimana mereka telah memahami betul peran dan kewajibannya menjadi seorang umm wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Peran strategis ini menuntut seorang ibu untuk memantaskan diri dan belajar menjadi seorang madrasatul 'ula (pendidik pertama) bagi anak-anaknya dan pengatur rumah tangga suaminya. Mereka sadar betul bahwa perannya begitu penting hingga mampu menentukan kualitas sebuah generasi. Berbekal pemahaman tsaqafah islamiyah, mental sang ibu akan terlatih untuk menjadi ibu yang tangguh dan memberikan yang terbaik bagi keluarganya.
Sepanjang sejarah berdirinya Daulah Islamiyyah selama 1300 tahun lamanya, tinta sejarah telah menorehkan banyak teladan sosok para ibu yang telah berhasil dalam mendidik anak-anaknya menjadi generasi terbaik sepanjang sejarah. Mereka yang sabar dalam merawat dan menemani anak-anaknya hingga berhasil menjadi para ulama terkemuka. Keberhasilan ini tentu tak datang dengan sendirinya. Daulah Khilafah al-Islamiyyah sebagai institusi negara ikut turut andil dalam menyiapkan pendidikan terbaik berlandaskan akidah islamiyah sehingga terciptalah para individu dengan kepribadian dan pemikiran Islam yang mustanir.
Selain itu, para peserta didik juga diajarkan tentang berbagai keilmuan praktis hingga mereka mampu menjadi para ahli di bidangnya. Hebatnya lagi, menurut Syekh Atha' Khalil Arrustah dalam kitabnya Dasar-dasar Pendidikan dalam Negara Khilafah menyebutkan bahwa dalam pendidikan negara Khilafah secara khusus akan menyediakan mata pelajaran kerumahtanggaan. Mata pelajaran ini akan dikhususkan bagi para perempuan agar mereka mampu mempersiapkan diri menjadi seorang ibu nantinya. Sebaliknya, bagi laki-laki ada sebuah pelajaran agar mampu menjadi sosok suami yang saling peduli dan mendukung istri sesuai dengan tuntutan syariah.
Terakhir, masyarakat dalam sistem Daulah Islamiyyah merupakan masyarakat yang peduli dan saling menyayangi hingga mampu menjadi support system terbaik bagi para ibu dalam menjalankan peran optimalnya dalam ranah domestik. []