Pesantren Kilat, akankah Men-shalih-kan Pejabat?
OpiniSaat ini sistem yang berlaku adalah Kapitalisme sekuler, yang menjauhkan agama dari kehidupan. Tentu saja cita-cita membuat salih para pejabat, hanya sekadar angan semata. Sekularisme yang dijadikan landasan justru merusak mental dan spiritual para pejabat. Agama (Islam) tidak lagi dijadikan landasan dalam berbuat, sebaliknya liberalisme menguat di tengah pejabat dan masyarakat pada umumnya. Tujuan mempelajari agama pun pada akhirnya sekadar ditujukan untuk meraih keuntungan bukan mewujudkan pribadi yang bertakwa
Penulis Oom Rohmawati
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member AMK
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sanlat atau pesantren kilat, merupakan kegiatan sekolah yang biasa dilakukan selama Ramadan. Namun pada bulan suci kemarin, tepatnya di tahun 1444 H/April 2023, para pejabat pun ternyata tak mau ketinggalan, mereka mengikuti acara serupa.
Bupati Bandung H.M. Dadang Supriatna mewajibkan para pejabat di Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Bandung, untuk mengikuti sanlat. Hal tersebut beliau sampaikan di acara Nuzulul Qur'an, Ramadan 1444 H. Tujuannya agar bisa meraih prestasi dengan dasar-dasar agama. Menurutnya pembangunan yang berbasis agama akan meningkatkan prestasi termasuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebab pasca pandemi Covid-19 ternyata PAD naik drastis sampai 30 persen. Dari semula Rp900 miliar menjadi Rp1,25 triliun, sehingga bisa dialokasikan bagi guru ngaji, RT/RW bahkan Babinkantibmas dan Babinsa. (Jurnal Soreang, 6 April 2023)
Mengikutsertakan pejabat dalam sanlat dengan tujuan untuk menjadikan pejabat amanah dalam melayani masyarakat tentu merupakan kebaikan. Hanya saja tepatkah hal demikian dilakukan? Adakah unsur lain dari menjamurnya pejabat yang tidak amanah? Mengapa harus melalui pesantren kilat?
Saat ini sistem yang berlaku adalah Kapitalisme sekuler, yang menjauhkan agama dari kehidupan. Tentu saja cita-cita membuat salih para pejabat, hanya sekadar angan semata. Sekularisme yang dijadikan landasan justru merusak mental dan spiritual para pejabat. Agama (Islam) tidak lagi dijadikan landasan dalam berbuat, sebaliknya liberalisme menguat di tengah pejabat dan masyarakat pada umumnya. Tujuan mempelajari agama pun pada akhirnya sekadar ditujukan untuk meraih keuntungan, bukan mewujudkan pribadi yang bertakwa.
Keikutsertaan dalam kegiatan pesantren malah dikaitkan dengan peningkatan PAD. Pesantren di bawah sistem Kapitalisme sekuler yang seharusnya sebagai pencetak ulama pun malah diharuskan melakukan diversifikasi keilmuan unggulan khusus dengan keahlian praktis tertentu yang memiliki nilai plus. Nilai plus tersebut tidak hanya tentang ilmu seperti kajian hadis, fikih, tafsir, ilmu falak, dan sebagainya, tetapi dituntut juga berdaya secara ekonomi. Semisal pesantren bercorak nelayan, otomotif, elektronik dan lainnya yang orientasinya adalah materi atau keuntungan. Sehingga kesempatan memperdalam ilmu agama tersita waktunya.
Dengan demikian untuk membentuk pejabat amanah tidak mungkin hanya melalui pembekalan agama yang terbatas waktunya hanya tiga hari.
Kapitalisme sekuler adalah sistem rusak yang lahir dari pemikiran manusia yang terbatas. Maka ia cenderung menghasilkan kerusakan yang sistemik pula. Sekarang ini korupsi terjadi secara sistematis dan melembaga, perselingkuhan dan kemaksiatan lainnya banyak dilakukan oleh para pejabat. Padahal pemimpin yang rusak dan menyesatkan itulah yang menghancurkan masyarakat.
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, At-Tirmizi dan Ad-Darimi Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah (berkuasanya) para pemimpin yang menyesatkan."
Oleh karena itu jalan satu-satunya agar integritas pemimpin dan aparatur negara terjaga, solusinya harus sistemik juga. Hal ini dilakukan supaya bisa membawa kepada perbaikan yang total, yang hanya bisa terwujud dalam naungan sebuah pemerintahan Islam. Sebuah sistem yang akan mampu membentuk pribadi-pribadi yang amanah, bertakwa dan takut kepada Sang Pencipta.
Salah satu contohnya, pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau kerap menutup hidungnya ketika membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium aroma minyak tersebut yang bukan haknya. Beliau pun pernah mematikan lampu di ruangan kerjanya pada saat menerima kedatangan anaknya terkait hal yang tidak berhubungan dengan urusan negara.
Sifat dan karakter para pemimpin pada masa keemasan Islam mempunyai nilai di atas rata-rata jika dibandingkan dengan penguasa sekarang. Karena mereka memegang teguh syariat Islam. Baik dalam hal keimanan maupun syariat dalam muamalah. Karena mereka yakin bahwa setiap kebijakan yang diambil akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Sementara saat ini, tidak terhitung pejabat yang tidak amanah, jadi wajar jika budaya korupsi makin menjamur. Dalam Islam selain para individunya bertakwa, hukum pun berlaku tidak pandang bulu.
Dengan demikian sudah saatnya kita perjuangkan sistem pemerintahan Islam, yang akan mencetak para pemimpin amanah tanpa harus mengikuti sanlat, tapi cukup melalui aturan yang berlaku secara menyeluruh (kafah) sesuai dengan kehendak Allah Swt. yaitu sistem pemerintahan Islam. Wallahualam bissawab. []