Menilik Faktor Kemiskinan di Tanah Papua
OpiniDalam sistem kapitalis saat ini, swastanisasi atau privatisasi difasilitasi negara, sehingga peran negara menjadi seminimal mungkin dan rakyat dibiarkan bebas berkompetisi
Artinya penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab si miskin bukan urusan negara apalagi para hartawan
_____________________________
Penulis Siti Aisah, S.Pd.
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Keadilan sejarah, memoria passionis, dan rekonstruksi identitas Papua adalah beberapa akar penyebab kekerasan konflik di Papua. Hal ini dikarenakan masyarakat asli yang tinggal di wilayah tersebut secara linguistik sangat kompleks. Selanjutnya propaganda dan keinginan rakyat Papua untuk merdeka lebih disebabkan dari kurangnya kesetaraan sosial dengan provinsi lain di Indonesia. Sehingga tak ayal kemiskinan sistemik dan multidimensi terjadi di tanah Papua.
Dilansir dari laman berita cnnindonesia[dot]com (11/06/2023) salah satu staf kepresidenan tenaga Ahli utama (KSP) Theofransus Litaay menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo dalam kurun waktu 10 tahun ini telah memprioritaskan pembangunan di Papua, sehingga membawa banyak perubahan dan keberhasilan di masyarakat paling timur Indonesia itu.
Selanjutnya Theofransus juga menuturkan fakta tentang pernyataannya tersebut. Di antaranya mengeklaim bahwa tingkat kemiskinan di lumbung emas itu mengalami penurunan signifikan. Yakni dari sebesar 28,17 persen pada Maret tahun 2010 menjadi 26,56 persen di tahun 2022. Menurutnya arahan pembangunan Papua yang diberikan oleh Jokowi dengan sistem dan desain baru yang lebih efektif bertujuan menghasilkan lompatan kemajuan kesejahteraan bagi rakyat Papua dan Papua Barat.
Hal yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pemerataan pembangunan. Wilayah atau luas tanah Papua yang terlalu luas. Maka demi memudahkan jangkauan pelayanannya, dibangunlah daerah-daerah otonomi baru. Lalu saat kunjungan kerja kepresidenan pada 21 Maret 2023, di Jayapura, Presiden Joko Widodo menyebutkan pembangunan di Indonesia saat ini bukan Jawa sentris melainkana Indonesia sentris dan Tanah Papua ini menjadi prioritas utama.
Perlu dipahami pula, salah satu fokus utama setiap negara di dunia termasuk Indonesia adalah mengentaskan kemiskinan. Pulau Papua yang terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki proporsi kemiskinan tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Sehingga tak ayal tingkat kemiskinan propinsi pun masih menjadi yang tertinggi berdasarkan data BPS (2021).
Permasalahan tentang kemiskinan sampai sekarang belum terselesaikan, dalam mencapai pembangunan yang berkualitas. Upaya mengakhiri kemiskinan menjadi salah satu tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di setiap tempat.
Indonesia turut berkomitmen dan berupaya dalam mengatasi persoalan khususnya kemiskinan yang termasuk di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) IV 2020-2024 yaitu penurunan tingkat kemiskinan antara 6-7 persen pada akhir tahun 2024. Menurut data BPS, persentase penduduk miskin Indonesia sejak 2012-2019 cenderung mengalami penurunan dengan persentase yang relatif kecil. Pada tahun 2020 persentase penduduk miskin mengalami peningkatan, kemudian pada tahun 2021 persentase penduduk miskin kembali turun. Walaupun terjadi penurunan, namun persentase penduduk miskin masih jauh untuk memenuhi target RPJMN.
Pulau Papua terdiri dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki otonomi khusus. Walaupun adanya otonomi khusus yang diberikan, namun kedua provinsi tersebut masih belum bisa mengatasi masalah yang ada khususnya kemiskinan. Menurut data BPS, Provinsi Papua dan Papua Barat adalah Provinsi yang selalu memiliki persentase penduduk miskin tertinggi dan indeks pembangunan manusia terendah di Indonesia dari tahun 2012-2021.
Perlu dipahami pula bahwa negeri ini sangat kaya bahkan melimpah sumberdaya alamnya. Karena sistem kapitalisme yang diadopsi negeri ini, pendistribusian kekayaan alam tidak adil dan merata, otonomi daerah yang diterapkan pun tidak mampu menanggulangi kenaikan jumlah penduduk miskin. Faktanya Freeport di Papua yang menghasilkan beribu-ribu ton emas ternyata tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, malah kondisi anak-anak di sana mengalami gizi buruk dan transportasi yang masih belum memadai. Sungguh ironis di tengah banyaknya jumlah pengangguran yang secara otomatis meningkatkan jumlah penduduk miskin, pemerintah menetapkan Undang-Undang (UU) Tenaga Kerja Asing.
Jika hal ini terus dibiarkan maka kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin tinggi. Dalam sistem kapitalis saat ini, swastanisasi atau privatisasi difasilitasi negara, sehingga peran negara menjadi seminimal mungkin dan rakyat dibiarkan bebas berkompetisi. Artinya penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab si miskin bukan urusan negara apalagi para hartawan.
Lantas bagaimana menguraikan benang kusut kemiskinan yang terjadi? Solusi tuntasnya adalah terapkan hukum buatan Sang Pencipta negeri dan alam semesta ini yaitu Allah Swt.. Dalam syariat Islam akar masalah terbesarnya adalah tidak diterapkannya hukum Allah. Ketika uraian kemiskinan ini mengakibatkan perekonomian melemah, meningkatnya kriminalitas, dan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang buruk. Deretan itu menjadi struktural dan akan sistemik pula penyelesaiannyai. Jika diterapkannya Islam, maka akan mengubah mata uang menjadi dinar dirham atau emas perak yang tidak akan fluktuatif. Lalu kepemilikan ladang, air dan api akan diserahkan dan benar-benar dikuasai negara yang selanjutnya akan dikembalikan lagi kepada rakyat. Jika pun tidak bisa gratis, maka harganya pun hanya dibebankan harga pengelolaannya saja, hingga akan mudah dan murah diakses masyarakat.
Penerapan hukum potong tangan bagi pencuri yang sampai nisab (baca: batas toleransi harta yang dicuri) akan mengurangi tingkat pencurian. Hingga saat terjadi pencurian dikarenakan kemiskinan atau kelaparan, maka hukum ini pun tidak berlaku bagi kasus ini.
Pengawasan akan kesejahteraan pun tidak luput dari pantauan negara. Sehingga rakyat tidak akan mendapat solusi saat ada kasus makarel bercacing, namun berprotein. Selanjutnya saat daging mahal, solusinya makan keong sawah, lalu solusi beras mahal maka dietlah dan cabe mahal maka tanam sendiri. Dan saat minyak langka dan mahal maka solusinya adalah masaklah dengan dikukus atau dimakan mentah. Sungguh solusi yang menambah masalah.
Tinta emas sejarah Islam telah membuktikan, bahwa saat syariat Islam diterapkan, hal-hal semacam itu tidak pernah terjadi. Pada masa Umar bin Abdul Aziz para pembagi zakat tidak menemukan mustahiq zakat (baca: penerima zakat).
Islam mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan ini dengan cara; (1) menjamin pemenuhan kebutuhan primer rakyat, (2) menerapkan regulasi kepemilikan, (3) menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak mungkin, dan (4) membuka akses pendidikan seluas mungkin.
Sehingga tidak ada alasan lagi untuk menerapkan sistem Islam dalam bingkai institusi negara, agar keberkahan di langit turun untuk para penduduk bumi yang tunduk pada aturan Allah Swt.. Wallahualam bissawab. []