Alt Title

RDP: Disemprot karena Bahasa, Bukan karena Menyerobot SDA

RDP: Disemprot karena Bahasa, Bukan karena Menyerobot SDA

Banyak yang tidak disadari oleh pemerintah hari ini, Indonesia hanya dimanfaatkan sebagai pemasok bahan mentah atau setengah jadi ke negara-negara maju seperti Cina sebagai penopang industrialisasi mereka. Mengingat biaya operasional yang dilakukan di Indonesia jauh lebih murah

Tidak salah jika nantinya Indonesia menjadi sarang perburuan para investor di dunia yang menjarah tambang-tambang tanpa memperhitungkan dampak kerusakan lingkungan atau hilangnya sumber pemasukan bagi rakyat secara menyeluruh atas nama investasi

_____________________________


Penulis Mia Annisa

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Ramai, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno. pimpinan rapat menyemprot 20 Dirut Perusahaan Smelter Nikel yang mayoritas dikuasai Cina karena tidak bisa berbahasa Indonesia saat memperkenalkan diri dan perusahaannya dalam rapat dengar pendapat bersama Plt. Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Direktur Jenderal ILMATE Kementerian Perindustrian pada Kamis, 8 Juni 2023.


Tidak hanya memperkenalkan diri dalam bahasa asing, Inggris dan Mandarin diketahui ada 4 perusahaan yang mangkir tidak mengikuti rapat dengar pendapat tersebut. PT Dexin Steel Indonesia, PT Weda Bay Nickel, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel dan PT Virtue Dragon Nickel Industry.


Apalagi yang dibahas dalam rapat dengar pendapat tersebut? Tak jauh-jauh soal hilirisasi nikel di Indonesia. Seperti yang dikatakan Dahlan Iskan, nikel adalah kisah sukses pertama hilirisasi sumber daya alam di Indonesia.


Merilis dari laman cnnindonesia[dot]com, Jumat 9 Juni 2023, setidaknya ada sekitar 34 perusahaan smelter, namun hanya 4 perusahaan yang memenuhi standar proyek hilirisasi pemerintah dengan metode hidrometalurgi dengan pendekatan High Pressure Acid Leaching (HPAL), yang menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP) untuk pergunakan sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.


Melalui Direktur Jenderal ILTIMAE Kemenperin Taufik Bawazier, berharap pemerintah menggenjot dibukanya investasi untuk merealisasikan hilirisasi di sektor tambang industri nikel.


Hilirisasi Bukan Untung Malah Buntung


Seperti yang kita ketahui Indonesia adalah negara penghasil nikel terbesar di dunia. Melalui kebijakan hilirisasi, nikel menjadi salah satu komoditi yang digadang-gadang mampu memberikan nilai tambah jika dijual ke luar negeri untuk pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Sayangnya kebijakan ini tak sejalan sebab pengelolaan industri nikel hampir 90 persen pengelolaannya dikuasai oleh perusahaan Cina yang berada di Indonesia. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Zulfikar Hamonangan, Anggota Komisi VII DPR RI. Aneh tapi nyata, 90 persen perusahaan Cina melakukan penguasaan tambang bijih nikel sementara penambangan yang dilakukan oleh warga pribumi banyak yang dicabut izin operasinya (cnnindonesia[dot]com, 23/11/2022).


Keuntungan besar yang diraup oleh Cina ketika mendirikan pabrik di Indonesia bisa mendapatkan harga jauh lebih murah dengan harga beli US$25-35 per ton ketimbang mendirikan pabrik di Cina dengan harga beli US$100 per ton. Ini seperempat atau sepertiga lebih murah dari harga internasional. Dimana, proses pengolahan bijih nikel hanya mencapai maksimal 25-30 persen saja (asiatoday[dot]id).


Jelas, ini sangat merugikan Indonesia. Pertanyaannya mengapa pemerintah harus mengekspor produk nikel setengah jadi ke luar negeri? Mengapa tidak diolah sendiri untuk menjadi produk seperti sendok, garpu, pisau bahkan lembaran baja yang tahan karat dengan kualitas terbaik yang nilai jualnya lebih tinggi akan menaikkan pendapatan negara. Jika sudah begini bukan untung yang didapat tapi malah buntung.


Salahnya Pijakan Ekonomi Kapitalis


Banyaknya smelter yang didirikan oleh perusahaan Cina sehingga Indonesia tidak mampu mengolah bahan mentahnya secara mandiri karena diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang mengandalkan perbankan sebagai sistem pembiayaan.


Diketahui dalam pembangunan smelter yang ada di Indonesia didanai oleh perbankan sebesar 10-20 persen dari total investasi US$200-250 juta. Artinya pengusaha lokal akan diberikan insentif jika memiliki ekuitas sebesar 30-40 persen. Akhirnya banyak penambang yang tak berkutik alias mati kutu, belum lagi besaran bunga yang diberikan terlalu besar dibanding kepada investor yang hanya diberikan bunga pinjaman sebesar 5 persen dari total ekuitas yang lebih kecil hanya sekitar 10 persen. Lagi-lagi sistem pendanaan berbasis ribawi jadi tumpuan.


Ini tak bisa dilepaskan soal urusan negara yang mencari cuan sekalipun harus menjadi lintah darat menjerat siapa saja apabila itu menguntungkan. Wajar, Jika perusahaan-perusahaan smelter lokal ingin tetap eksis mesti mengikuti aturan main terlibat dalam perbankan ribawi. Padahal jelas ini adalah sebuah keharaman.


Sayangnya, banyak yang tidak disadari oleh pemerintah hari ini, Indonesia hanya dimanfaatkan sebagai pemasok bahan mentah atau setengah jadi ke negara-negara maju seperti Cina sebagai penopang industrialisasi mereka. Mengingat biaya operasional yang dilakukan di Indonesia jauh lebih murah. Tidak salah jika nantinya Indonesia menjadi sarang perburuan para investor di dunia yang menjarah tambang-tambang tanpa memperhitungkan dampak kerusakan lingkungan atau hilangnya sumber pemasukan bagi rakyat secara menyeluruh atas nama investasi.


Bagaimana Pengelolaan Tambang dalam Paradigma Islam?


Nikel merupakan salah satu barang tambang yang strategis dan penting bagi sumber pemasukan perekonomian negara. Secara kapasitas jumlah nikel di Indonesia sangat berlimpah atau dalam jumlah deposit yang besar. Maka dalam Islam, pengelolaan nikel tidak boleh diserahkan kepada individu manapun karena depositnya yang banyak. Sehingga negara (imam) yang mengurusi urusan umat, harus memproteksinya dari monopoli individu sekalipun tentang keumuman bolehnya kaum muslimin berserikat dalam tiga hal air, padang rumput dan api. Sebagaimana hadis Nabi yang menyatakan, "Tidak ada siapapun hak yang memproteksi (barang atau lahan) kecuali hak Allah dan Rasul-Nya". (HR. Al Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa'i dan Ahmad)


Hal ini dipertegas lagi dalam hadis lain mengenai larangan menyerahkan barang tambang yang jumlahnya banyak kepada individu, baik asing ataupun domestik adalah sebagai sebuah keharaman, "Dari Abyadh bin Hammal bahwa ia pernah meminta kepada Nabi diberikan tanah yang (digunakan untuk tambak) garam, yang ada di Ma'rib. Lalu beliau hendak memberikan tanah itu. Kemudian ada seorang lelaki yang berkata kepada Rasulullah, bahwa itu seperti air yang tidak terputus sumbernya. Oleh karena itu beliau enggan memberikan tanah tersebut.".


Namun, apabila sifat keberlimpahan yang kecil maka boleh dikelola mandiri oleh perorangan termasuk jika lahan tambang itu ada di tanah miliknya. Demikian pula proteksi yang dilakukan oleh imam/khalifah pertimbangannya bukan karena hawa nafsu atau kepentingan para pejabatnya melainkan karena memperhatikan kemaslahatan umat.


Oleh karena itu dalam kacamata Islam, sebelum menentukan bagaimana pengelolaan barang tambang dalam hal ini nikel yang menjadi sasaran empuk penjajahan asing. Maka, harus ditentukan terlebih dahulu karakteristik dan jumlah tambang nikel itu sendiri. Sehingga negara dalam hal ini daulah akan menentukan kebijakan pengelolaannya akan seperti apa nantinya agar asing tidak dengan seenaknya menggarong sumber daya alam yang dimiliki kaum muslimin. Wallahualam bissawab. []