Ada Pungli di Rutan KPK, Sungguh Ironis
OpiniPenyebab semua itu adalah sikap materialistis akibat pengaruh budaya kapitalisme sekuler yang keukeuh dianut negeri ini. Semua diukur dengan cuan, sehingga menganggap semua persoalan bisa diselesaikan dengan uang
Inilah dorongan kuat tindak korupsi yang dilakukan oleh seseorang. Maka wajar jika korupsi sudah menjadi budaya yang mengakar kuat dan teramat sulit untuk dicabut
______________________________
Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd.
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Merinding. Terungkapnya kasus pungli di Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat kita semua mengelus dada. Lembaga yang selama ini diharapkan menjadi pioner pemberantasan korupsi di negeri ini, ternyata di rutannya tak luput dari praktik kotor tersebut.
Kasus ini mencuat setelah Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengumumkan adanya temuan praktik pungli di lingkungan Rutan KPK. Anggota Dewan KPK, Albertina Ho menjelaskan praktik pungutan liar tersebut nominalnya mencapai 4 miliar rupiah, terhitung sejak Desember 2021 hingga Maret 2022. (Tirto[dot]com, 24/6/2023)
Sejatinya, kasus pungutan liar, korupsi, kolusi dan kasus yang sejenis lainnya, kerap mengisi laman-laman berita di negeri ini. Namun yang patut disayangkan hal ini terjadi di lingkungan lembaga antikorupsi. Lembaga independen yang telah dipercaya dapat menuntaskan kasus korupsi di negeri ini. Lantas, kepada siapa lagi masyarakat harus bergantung? Akankah pemberantasan korupsi hanya menjadi ilusi di negeri tercinta ini?
Sikap Materialistis
Persoalan korupsi di negeri ini, tidak dapat dimungkiri telah membelenggu hampir semua lembaga kenegaraan.
Mulai dari aparatur tingkat desa hingga pejabat pusat, hampir semua tidak luput dari tindak korupsi. Di lingkungan kementerian, kegubernuran, kabupaten nyaris tidak ada yang bersih dari tindak pidana korupsi. Anggota DPR, pegawai pajak, polisi, hakim, tidak ada yang tak tersentuh tindakan laknat tersebut. Termasuk lembaga antikorupsi KPK.
Penyebab semua itu adalah sikap materialistis akibat pengaruh budaya kapitalisme sekuler yang keukeuh dianut negeri ini. Semua diukur dengan cuan, sehingga menganggap semua persoalan bisa diselesaikan dengan uang. Inilah dorongan kuat tindak korupsi yang dilakukan oleh seseorang. Maka wajar jika korupsi sudah menjadi budaya yang mengakar kuat dan teramat sulit untuk dicabut.
Pudarnya Integritas KPK, Alat Sandera bagi Koruptor
Sejumlah kasus pungli yang terjadi di Rutan KPK jelas merusak integritas pegawai di lingkungan lembaga antikorupsi itu. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya menilai, bahwa pola kepemimpinan KPK saat ini yang nir-etika dan nir-integritas menjadi salah satu faktor rusaknya KPK secara kelembagaan, dengan kata lain memang nilai integritas KPK sudah pudar. (Tirto[dot]com, 24/6/2023)
Bagaimana mungkin lembaga yang bertugas memberantas korupsi, tidak bisa memastikan integritas para pegawainya, bahkan justru menjadi pelaku korupsi. Hal ini makin mencederai kepercayaan publik. Apalagi KPK telah banyak melakukan blunder.
Meski terbongkarnya kasus pungli di Rutan KPK merupakan bukti dari ketegasan KPK, namun ketegasan ini tampak tebang pilih. KPK hanya tegas terhadap masalah kelas teri sedang masalah kelas kakap dapat lolos dari jeratan hukum. Di antaranya kasus suap Hakim Patrialis Akbar, pelanggaran kode etik oleh para pimpinan KPK, Lily Pintauli Siregar dan Firli Bahuri.
Rusaknya integritas para pegawai KPK akan menjadi alat sandera untuk menarik mereka dalam jejaring koruptor. Mereka akan dengan mudah dimanfaatkan untuk meloloskan segala kepentingan koruptor tanpa khawatir dengan jeratan hukum. Bahkan menyeret aparat pemberantasan korupsi berada di pihak para koruptor.
Mimpi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Kapitalisme Sekuler
Tampaknya masyarakat harus berhenti berharap. Pemberantasan korupsi di negeri ini sulit, bahkan nyaris mustahil. Hampir semua aparat negara termasuk aparat pemberantas korupsi, terlibat dalam penggelapan uang ini. Memang, tidak dapat dinafikan ada juga aparat yang bersih. Namun jumlahnya amat sedikit.
Setidaknya, hal ini di sebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tergerusnya nilai-nilai keimanan dan sistem sekuler dengan prinsip pemisahan agama dari kehidupan dan negara, menyebabkan nilai-nilai ketakwaan hilang dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Sehingga tidak ada kontrol secara internal dalam diri aparat, pejabat, dan pegawai di berbagai lembaga negara. Akhirnya, semuanya hanya bersandar pada kontrol eksternal, dan pengawasan dari atasan, inspektorat dan aparat hukum. Namun ironisnya, mereka sama saja, tidak terkecuali KPK sebagai lembaga pengawasan korupsi.
Kedua, korupsi terlanjur berurat mengakar sedang pengendaliannya amat lemah. Berbagai lembaga pengawas yang terbentuk ternyata tidak mampu mencegah kasus korupsi yang terjadi. Kalau pun harus dilakukan proses hukum, kadang berhenti di tengah jalan. Sebab hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hanya kasus-kasus kecil saja yang tuntas diusut sedang kasus besar, menguap begitu saja. Terlebih, eksekusi hukum yang ada juga tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Harta yang mereka peroleh lewat korupsi pun masih aman karena tidak ada proses “pemiskinan” terhadap koruptor.
Ketiga, berbagai program pemberantasan korupsi selalu tersendat oleh berbagai kepentingan. Sebab berdasarkan sistem politik yang ada, hal itu selalu dibenturkan dengan kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong, bahkan kepentingan koruptor.
Dari paparan di atas, menjelaskan pada kita semua bahwa masalah korupsi bukan sekadar masalah personal. Korupsi adalah masalah sistem dan ideologi. Sistem kapitalisme demokrasi, melanggengkan korupsi dan sistem ini juga menjadi habitat hidup korupsi. Selama ideologi sekuler kapitalisme yang bercokol di negeri ini, bersih dari korupsi akan terus sebatas mimpi. Oleh karena itu, harus ada sistem alternatif yang bisa menghantarkan mimpi menjadi kenyataan.
Islam Mewujudkan Kehidupan Bebas korupsi
Harapan untuk terbebas dari korupsi, tentu tidak bisa menjadi kenyataan jika tempat bertumpu adalah sistem kapitalisme sekuler. Harus ada tumpuan sistem yang lebih baik. Dari sistem yang ada di dunia, tidak ada yang lebih baik dari sistem Islam, mengingat:
Pertama, sistem Islam yang didasarkan pada akidah Islam memunculkan kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi apa yang kita lakukan. Ketakwaan pada diri politisi, pejabat, aparat, pegawai dan masyarakat akan lahir di bawah naungan sistem ini. Negara diwajibkan terus membina ketakwaan itu. Lahirlah kontrol dan pengawasan internal yang menyatu dalam diri pemimpin, politisi, pejabat, aparat dan pegawai, yang bisa mencegah mereka untuk korupsi.
Kedua, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tak tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, penguasa dan parpol. Anggota Majelis umat tidak memiliki kekuasaan politik. Hukum dalam syariat Islam bersumber dari wahyu dan tidak dibuat oleh wakil rakyat dan penguasa. Sehingga hukum tidak akan tersandera oleh berbagai kepentingan.
Ketiga, sanksi yang diberikan, mampu memberikan efek jera. Dalam Islam kriteria harta hasil korupsi amat jelas. Harta yang diambil/ditilap di luar imbalan legal, harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan dan sebagainya sekalipun disebut hadiah, harta pejabat, aparat dan sebagainya, yang melebihi kewajaran yang tidak bisa dibuktikan diperoleh secara legal. Semua itu termasuk harta ghulul. Di akhirat akan mendatangkan azab.
Allah berfirman (yang artinya): "Barangsiapa yang berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya." (TQS. Ali Imran: 161)
Untuk kasus korupsi, sanksi yang berlaku adalah takzir, yakni sanksi yang ditetapkan Khalifah. Sebab Khalifahlah yang berwenang untuk untuk hal itu. Takzir bisa berupa hukuman penjara, pengasingan, diarak dengan disaksikan seluruh rakyat, hingga hukuman mati, tergantung level perbuatan korupsi serta kerugian yang ia timbulkan.
Demikian Islam dalam memecahkan masalah korupsi. Sehingga dengan penerapan Islam secara kafah, pemerintahan akan bebas dari korupsi. Wallahualam bissawab. []