Ambisi Proyek Strategis yang Berakhir Dramatis
OpiniInilah yang terjadi jika berpijak pada sistem kapitalis, meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang serendah-rendahnya. Pembangunan yang dilaksanakan menggunakan format perusahaan, hanya sebatas bisnis. Alih-alih ditujukan untuk kepentingan publik, justru yang terjadi hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyat tak ubahnya seperti penjual dan pembeli_________________________
Penulis Irma Faryanti
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member Akademi Menulis Kreatif
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Menjelang akhir masa kepemimpinan Presiden Jokowi, diketahui bahwa saat ini terdapat 58 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang belum diselesaikan. Menanggapi fakta tersebut, Wahyu Utomo selaku Deputi bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata ruang Kemenko Perekonomian yang merangkap sebagai Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), menyatakan bahwa semua itu belum dimulai pembangunannya, tapi juga tidak dikeluarkan dari daftar PSN pemerintah. (CNBC Indonesia, Kamis 13 Juli 2023)
Menurut Wahyu, jika 58 proyek itu tidak tercapai maka dikembalikan kepada Presiden yang berwenang untuk memutuskan apakah akan dikeluarkan dari PSN ataukah tidak. Pun jika itu terjadi, pengerjaannya masih bisa diteruskan dengan menawarkan pembayarannya pada pemerintah daerah maupun investor yang lain. Kepala negara hanya meminta agar mempercepat perizinan, pengadaan tanah dan financing. Karena jika itu selesai dilakukan, maka akan terhindar dari mangkrak.
Adapun yang termasuk ke dalam 58 PSN itu beberapa diantaranya adalah: MRT East-West rute Cikarang-Balaraja, kereta api semi cepat Jakarta-Surabaya, Pelabuhan New Ambon, Tol Bicimi, tol Trans Sumatera dan tol Getaci. Konon nilai investasi proyek-proyek tersebut jumlahnya fantastis yaitu mencapai Rp420 Triliun. Namun sayang, keberadaannya dipastikan tidak akan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat.
Airlangga Hartarto sebagai Menteri Koordinator Perekonomian juga menyatakan pendapatnya bahwa sejauh ini ada 156 PSN yang telah rampung dan akan terus dilaksanakan oleh pemimpin terpilih pada 2024 mendatang. Ia pun mengungkapkan bahwa sampai akhir tahun depan, masih ada 27 proyek yang akan dipercepat pengerjaannya, dengan total nilai mencapai Rp1.360 triliun.
Sayangnya, infrastruktur yang digadang sebagai proyek strategis nasional, faktanya tidak membawa manfaat bagi masyarakat. Karena ujung-ujungnya fasilitas yang dibangun justru dijual pada swasta. Sebagai contoh di tahun 2019, Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melelang enam pembangunan jalan tol yang umumnya ada di Pulau Jawa. Total investasi yang dibutuhkan pun tidaklah sedikit, yaitu mencapai Rp137,74 yang hampir setara dengan APBD wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat. Besarnya biaya yang dibutuhkan, membuat pemerintah berpeluang membuka utang baru, dan untuk mengatasi masalah utang yang membengkak maka jalan tol yang sudah dibangun tersebut dijual pada swasta. Pada akhirnya, rakyat hanya menjadi objek penderita.
Inilah yang terjadi jika berpijak pada sistem kapitalis, meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang serendah-rendahnya. Pembangunan yang dilaksanakan menggunakan format perusahaan, hanya sebatas bisnis. Alih-alih ditujukan untuk kepentingan publik, justru yang terjadi hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyat tak ubahnya seperti penjual dan pembeli.
Asas manfaat begitu melekat kuat, menghalalkan segala cara untuk meraih apa yang diinginkan pun menjadi hal wajar tanpa memperhatikan nilai agama yang melandasinya. Karena sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) menjadi dasar untuk melakukan suatu perbuatan. Sistem kapitalis jelas zalim dan tidak layak dijadikan pegangan dalam kehidupan.
Lain halnya dengan Islam, rancangan pembangunan selalu dilakukan demi kepentingan umat. Tidak untuk sekedar mengejar reputasi atau ambisi modernisasi. Infrastruktur akan dibangun sesuai kebutuhan masyarakat, jika dianggap tidak urgen maka pembangunannya bisa ditunda dan mendahulukan apa yang diperlukan.
Misalnya pembangunan infrastruktur di wilayah pedalaman yang terpencil, tidak cukup hanya sekedar dengan menyediakan jalan tapi juga sarana transportasi umum yang memadai untuk mempermudah masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Seorang penguasa akan melaksanakan kewajiban dalam mengurusi urusan rakyat, karena ia menyadari bahwa kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana sabda Rasulullah dalam HR Muslim dan Ahmad:
"Imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap urusan rakyat yang diurusnya."
Saat kapitalisme dianggap gagal karena kezaliman dan kesengsaraan yang ditimbulkannya, masihkah kita berharap padanya? Padahal Islam merupakan agama sempurna yang dapat menjadi solusi bagi seluruh permasalahan kehidupan, terlebih ketika diterapkan di bawah naungan sebuah kepemimpinan.
Wallahualam bissawab. [GSM]