Ayah, Lindungilah Putrimu!
AnalisisIni menunjukkan bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak sendiri bukan lagi masalah buruknya moral atau akhlak individu, akan tetapi sudah menjadi masalah sistemis
Keluarga, lingkungan masyarakat, dan negara ikut berpengaruh dalam munculnya kasus-kasus tersebut. Terlebih negara memiliki kontribusi besar melalui aturan yang diterapkan. Sebab negara mengadopsi sistem yang jauh bahkan meniadakan peran agama, maka masalah demi masalah terus terjadi
______________________________
Penulis Ummu Ainyssa
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Istilah yang mengatakan bahwa ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya seolah tidak lagi asing di telinga kita. Konon kebanyakan, anak perempuan akan lebih dekat dengan sosok laki-laki yang menjadi cinta pertamanya ini. Bukan tanpa alasan, sebab ayah memang merupakan seorang figur yang kuat dan gagah untuk dijadikan pelindung yang tak bisa digantikan. Dialah pemikul amanah berat di pundaknya untuk terus berjuang membanting tulang mencari nafkah demi keluarga. Hingga kehadirannya sontak mampu membius anak-anaknya hingga menjadikannya sebagai idola.
Namun sayang, gelar sang pelindung itu tak lagi ada dalam sosok semua ayah. Beberapa sosok ayah yang penyayang itu justru berubah menjadi pengancam jiwa putrinya. Seperti nasib tragis yang dialami oleh DS (20 tahun), gadis manis yang harus meregang nyawa di tangan ayah kandungnya sendiri. Dialah S (53 tahun) warga Desa Bangle, Kecamatan Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur yang tega menghabisi nyawa DS. Kepada polisi, S mengaku tega membunuh darah dagingnya sendiri akibat hubungan yang tidak harmonis antara dia dan anak istrinya. Ia sering merasa sakit hati, lantaran DS sering bersikap cuek dan berkata kasar terhadapnya.
Peristiwa bermula pada Rabu (5/7/2023), saat pelaku meminta DS untuk memutuskan hubungan dengan kekasihnya karena sebuah kepercayaan di desa itu, bahwa hubungan asmara antarwarga desa di Kediri bisa menimbulkan petaka. Namun hal itu dibantah oleh DS. Siapa sangka bahwa petaka itu justru malah datang dari sang ayah sendiri. Pelaku dan korban sempat adu mulut. Hal ini membuat S makin tersulut emosi hingga tega mencekik dan menbekap mulut korban dengan tangannya hingga pingsan. Tidak sampai di situ, S juga mengaku sempat menodai kehormatan putrinya itu saat dalam keadaan pingsan.
Selanjutnya melihat korban yang hendak tersadarkan, S lantas membunuhnya. Ia kemudian memasukkan jasad DS ke dalam karung dalam keadaan mulut dilakban, kedua kaki dan tangan diikat, dan membuangnya di area persawahan. Tiga hari kemudian pada Sabtu (8/5/2023) jasad DS ditemukan oleh warga setempat. (Detik[dot]com, 18/7/2023)
Sementara itu, di Dusun Surodadi, Desa Sekotong Tengah, Lombok Barat seorang ayah berinisial SS (50 tahun) juga gagal menjadi pelindung kehormatan putrinya. Ia justru bak singa yang tega menerkam putri kandungnya sendiri. Pada Ahad (16/7/2023) sekitar jam 14.00 WITA ia babak belur dihakimi massa karena diduga telah menghamili darah dagingnya sendiri. Hingga kini SS masih dirawat intensif di RSUD Tripat Lombok Barat karena luka parah yang dideritanya. (eramuslim[dot]com, 18/7/2023)
Kedua kasus tersebut dan kasus lainnya hanyalah ibarat fenomena gunung es. Hanya beberapa kasus yang nampak di permukaan, sementara kasus yang tidak terlaporkan bisa jauh lebih banyak lagi. Fenomena ini pun bukan tanpa sebab terjadi. Lahirnya para ayah yang sadis dan amoral tak lain adalah buah didikan dari sistem yang telah menjauhkan manusia dari agamanya. Sekularisme yang lahir dari rahim kapitalisme nyata-nyata telah menggerus ketakwaan individu termasuk menghilangkan fungsi ayah sebagai pelindung bagi keluarganya. Ayah telah dibutakan oleh hawa nafsunya. Keluarga bagaikan mangsa yang selalu ia incar untuk kemudian diterkamnya. Jika sudah begini, lantas kepada siapa anak mesti mencari tempat berlindung?
Ditambah lagi lingkungan masyarakat yang tidak Islami, makin meniadakan kontrol masyarakat terhadap sesamanya. Kehidupan yang sekuler mendidik masyarakat untuk hidup dalam kebebasan dan individualis, menimbulkan ketidakpedulian kepada urusan moral maupun hal-hal yang dilarang oleh agama. Halal haram tidak lagi jadi standar perbuatan. Tidak sedikit anak yang menjadi korban berada di bawah ancaman pelaku, sehingga ia tidak berani untuk melaporkan. Akibatnya para pelaku kejahatan merasa bebas melakukan aksinya.
Selanjutnya, sanksi yang diberikan oleh negara yang rata-rata hanya berupa hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara ternyata belum mampu meredam kejahatan seksual terhadap anak. Setiap tahun kasus serupa terus mengalami pertambahan. Data yang dicatat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sepanjang Januari hingga Mei 2023, jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak di Indonesia mencapai 9.645 kasus. Jumlah ini didominasi oleh kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan 4.280 kasus. Kemudian sebanyak 3.152 kasus kekerasan fisik dan sisanya kekerasan psikis. Sementara dari data ini sebanyak 8.615 kasus yang menjadi korban adalah perempuan. Sisanya adalah korban anak laki-laki.
Hal ini semakin diperburuk tatkala negara yang masih nyaman hidup dalam gempuran sistem liberalisme tidak juga menindak tegas situs-situs pornografi. Atas nama kebebasan, masyarakat dengan mudah membuat konten yang berbau pornografi dan pornoaksi. Alhasil, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa maupun orang tua begitu mudah dan bebasnya mengakses tontonan pornografi dari berbagai media massa terutama internet. Hawa nafsu syahwat pun tak bisa dikendalikan, hingga anak kandung menjadi pelampiasan.
Ini menunjukkan bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak sendiri bukan lagi masalah buruknya moral atau akhlak individu, akan tetapi sudah menjadi masalah sistemis. Keluarga, lingkungan masyarakat, dan negara ikut berpengaruh dalam munculnya kasus-kasus tersebut. Terlebih negara memiliki kontribusi besar melalui aturan yang diterapkan. Sebab negara mengadopsi sistem yang jauh bahkan meniadakan peran agama, maka masalah demi masalah terus terjadi. Maka dari itu, satu-satunya solusi bagi permasalahan ini tak lain adalah dengan mencampakkan aturan yang nyata-nyata telah menyebabkan berbagai masalah dan menggantinya dengan aturan yang akan menjadi pelindung bagi seluruh umat.
Aturan tersebut tidak lain adalah aturan yang berasal dari Sang Pemilik Kehidupan ini, Allah Swt., yakni aturan Islam. Allah Swt. menciptakan manusia secara sempurna beserta aturannya. Maka, apa pun masalah yang manusia hadapi Allah telah menyiapkan solusinya. Solusi itu tak lain adalah mengembalikan kepada Al-Qur'an dan sunah Rasul-Nya.
Di dalam Islam, keluarga selalu dibina dalam suasana ketakwaan. Untuk membentuk ketakwaan individu antar anggota keluarga tersebut diajarkan tsaqofah dasar sejak dini melalui sistem pendidikan islam di sekolah-sekolah. Dengan tsaqofah dan ilmu agama yang mereka miliki, tentu sesama anggota keluarga sama-sama memahami hak dan kewajiban mereka masing-masing.
Di dalam Al-Qur’an surah At-Tahrim ayat 6 Allah Swt. menegaskan kepada orang-orang yang beriman, agar menjaga diri dan keluarganya dari siksa api neraka yang bahan bakarnya terbuat dari manusia dan batu. Bahkan di dalam surah An-Nisa ayat 9 Allah Swt. juga berpesan agar kita selalu bertakwa kepada-Nya, serta merasa takut sekiranya kita meninggalkan keturunan yang lemah di belakang kita.
Itu artinya sebagai orang tua kita harus benar-benar mendidik anak-anak kita agar paham tentang ilmu agama sebagai bekal kehidupannya. Anak adalah amanah besar yang Allah Swt. titipkan kepada orang tua. Sungguh besar pertanggungjawaban orang tua di hadapan Allah kelak ketika mereka membiarkan anak-anaknya dalam keadaan tidak paham agama. Apalagi jika amanah itu justru mereka rusak. Dengan memahami hal ini, maka mustahil seorang ayah tega melecehkan anak kandungnya sendiri, karena dia paham sekali bahwa hal itu merupakan suatu keharaman.
Sementara dalam lingkungan sosial Islam menerapkan beberapa aturan untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan seksual. Islam mengatur pakaian yang wajib menutup aurat saat berada di kehidupan umum. Islam juga melarang terjadinya ikhtilat atau bercampur baur antara lelaki dan perempuan di dalam kehidupan umum, kecuali untuk hal-hal yang diperbolehkan oleh syarak seperti di lingkungan pasar, rumah sakit dan pendidikan. Lingkungan masyarakat yang Islami tentu akan sangat memengaruhi ketakwaan individunya. Terbayang saat seluruh masyarakat sudah berpikiran dan berperilaku Islam, saling melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap sesama, maka sudah pasti hal ini akan mampu meminimalisasi tindak kejahatan.
Selanjutnya aspek yang terpenting adalah negara yang juga wajib menjaga suasana takwa di semua lingkungan. Negara mewajibkan penanaman suasana yang Islami baik di lingkungan sekolah, masjid, lingkungan perumahan, dan lain-lain. Di sinilah negara wajib mengatur penyebaran media informasi di tengah masyarakat yang bisa memberikan edukasi, menguatkan akidah, membentuk nilai moral dan kemuliaan akhlak masyarakat.
Sementara berbagai informasi maupun tontonan yang tidak layak, yang merusak perilaku masyarakat akan diberantas tanpa terkecuali. Jika ada yang melanggar, maka negara tidak segan menerapkan sanksi yang tegas. Hal ini dimaksud agar sanksi yang diberikan benar-benar dapat memberikan efek yang jera terhadap semua pelaku kejahatan, sehingga tindak kriminal bisa sangat diminimalisasi bahkan diberantas tuntas. Semua pengaturan ini hanya akan sempurna pelaksanaannya di dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara kafah. Wallahualam bissawab. [GSM]