Kala Regulasi Tak Berpihak Pada yang Berhak
Opini
Dengan adanya keputusan untuk mengimport beras seakan menyiratkan bahwa pemerintah tidak percaya bahwa umat mampu menyelesaikan masalah di atas. Padahal dengan melihat jumlah panen dari para petani sebenarnya cukup untuk menyongsong kekeringan di masa mendatang
____________________
Penulis Siti Nurtinda Tasrif
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah Kampus
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Beberapa pekan lalu, tersiar kabar bahwa pemerintah akan melakukan import beras besar-besaran. Hal ini dilakukan untuk menyongsong kehadiran El Nino. Namun, apakah memang benar karena El Nino atau ada yang lain? Pasalnya, El Nino ini bukanlah pertama kalinya terjadi. Tapi, sudah pernah dialami sebelumnya oleh masyarakat, khususnya para petani.
Jika karena El Nino, pemerintah akan mengimport beras, kenapa tidak dari sebelumnya untuk disampaikan kepada masyarakat untuk lebih fokus pada pertaniannya? Sehingga, El Nino ini bisa teratasi dengan baik. Hal ini, diberitahukan secara tiba-tiba dan seakan menyiratkan bahwa para petani tidak mampu memgatasi masalah ini.
Sedang di satu sisinya, para petani sedang marak-maraknya mengalami panen raya. Lalu, yang menjadi pertanyaan, akan dikemanakan hasil panen dari para petani? Jika, pemerintah melakukan import beras besar-besaran. Hal seperti ini dirasa sangat janggal, karena negara indonesia memiliki SDM yang sangat banyak terutama dari petani.
Dimana, dari tangan-tangan petani, masyarakat meletakkan asupan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya. Jika, para petani sudah tidak dimanfaatkan lagi. Maka, yang mengalami kesulitan bukan saja para konsumen tetapi juga produsen yakni para petani itu sendiri. Karena itu adalah pekerjaan yang menghidupi dirinya berikut keluarganya.
Maka bukannya tidak mungkin, masyarakat bukan hanya sengsara dari segi ekonomi tetapi dari sulitnya produksi kebutuhan juga. Keputusan untuk mengimport beras ini tidak ada yang memberikan persetujuan mutlak secara keseluruhan. Bahkan, ada juga pemerintah yang mengkritisi dan menyayangkan keputusan ini.
Sebagaimana yang penulis kutip dari Media bandung[dot]kompas[dot]com (23/05/2023) bahwa Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, tidak setuju dengan wacana impor beras untuk menanggulangi ancaman kekeringan akibat fenomena El Nino. Yasin mengatakan, stok beras dalam negeri masih cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia hingga beberapa waktu ke depan.
"Tanya yang mau (impor beras), kalau saya enggak. Beras (dalam negeri) kita kan banyak," ujar Yasin Limpo usai membuka pelatihan petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang, Bandung Barat. Maka, terlihat jelas ketidak setujuan dari Menteri Pertanian di atas. Bagaimana tidak, para petani bahkan sangat banyak dan cukup mampu untuk menyongsong adanya El Nino yang akan mendatang.
Sungguh ironis, regulasi yang ada sama sekali tidak berpihak pada umat. Bahkan, regulasi yang diputuskan cenderung mendukung para korporat dan bukan masyarakat menengah apalagi kecil. Para petani bahkan bisa saja berpikir dua kali untuk tetap pada pekerjaannya, mengingat negara sendiri tidak mau mendukung kerja keras para petani.
Dengan adanya keputusan untuk mengimport beras seakan menyiratkan bahwa pemerintah tidak percaya bahwa umat mampu menyelesaikan masalah di atas. Padahal dengan melihat jumlah panen dari para petani sebenarnya cukup untuk menyongsong kekeringan di masa mendatang. Bukankah negara juga akan hemat APBN jika memanfaatkan tenaga dari rakyat sendiri?
Namun ironisnya, negara saat ini tidak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan apalagi memberikan kemaslahatan bagi umat. Tetapi, bertujuan untuk meraup keuntungan yang diperoleh dari kerjasama antar negara juga antar investor. Bahkan, hal ini cenderung memperkaya diri sendiri. Sehingga, patutlah jika regulasi yang ada hanya berpihak pada penyedia modal sedangkan yang lain hanya mendapatkan ketimpangan kehidupan.
Inilah yang dirasakan umat saat ini, mengalami ketidakadilan selama hidupnya. Hanya bisa pasrah dan menerima garis kehidupan yang serba sulit. Tanpa tahu akar permasalahan dari pada kesulitan yang dirasakan. Bahwa, setiap kesulitan yang dirasakan oleh masyarakat bukan sebuah kebetulan. Akan tetapi terdapat sebab yang mendasar dibalik itu semua.
Yaitu penerapan regulasi yang berlandaskan sistem sekulerisme kapitalisme. Pasalnya, sistem ini melahirkan para individu hanya memiliki pandangan hidup duniawi semata. Maksudnya bukan nilai kemanusiaan yang dicari, tetapi nilai materi. Maka, dengan regulai yang ada hanya bertujuan untuk mencari materi. Tidak perduli dengan cara apapun harus didapatkan.
Bahkan, dari sistem ini menjadikan individu pemerintah bersikap egois bahkan apatis terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pemerintah menunjukkan kejelasan dalam sebuah perkara tatkala ada kepentingan di dalamnya. Misalkan, oknum pemerintahan yang mengkampanyekan janji-janji manis untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Namun, ketika sudah menang dan berhasil menjabat, apakah janjinya ditepati? tidak.
Inilah yang terjadi, jika negara menggunakan sistem kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan dan materi saja. Namun, disisi yang berbeda, umat pada dasarnya memiliki satu solusi fundamental, yang tidak sekedar memberikan janji tetapi dapat memenuhi amanahnya. Yaitu sistem Isam. Sebuah sistem yang berasal dari wahyu dan bukan kejeniusan manusia yang terbatas.
Sistem islam menjamin kebutuhan umat melalui pemanfaatan SDM yang ada dan tidak akan terjadi yang namanya import beras, karena fokus pada potensi SDM yang dimiliki negara. Bahkan, sistem islam sendiri akan mengerahkan seluruh SDM untuk memiliki pekerjaan sebagai petani, untuk dapat bekerjasama dalam menyelesaikan masalah kekeringan dan tidak membiarkannya berlarut-larut.
Sistem Islam juga nelahirkan para pemerintah yang adil lagi amanah. Dengan visi misi menjalankan kewajiban untuk menggapai ridha Allah Swt. semata. Maka, para pejabatnya akan memenuhi tanggang jawab dengan baik. Bahkan, setiap keputusan yang ditetapkan akan memberikan kemaslahatan pada umat saja bukan individu pemerintah.
Wallahualam bissawwab [Dara Hanifah]