Alt Title

Karhutla Terjadi Lagi? Islam Hadir sebagai Solusi

Karhutla Terjadi Lagi? Islam Hadir sebagai Solusi

 

Lahan pertanian memang sangat dibutuhkan masyarakat untuk  menunjang perekonomian. Namun, perlu diperhatikan pula dampak buruk akibat pembukaan lahan pertanian. Jangan sampai maksud hati meningkatkan kesejahteraan, tetapi di sisi lain justru menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan hingga lalu lintas penerbangan, bahkan menghadirkan petaka bagi orang lain

-------------------------

Penulis Narti Hs

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Dakwah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Beberapa pekan yang lalu peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Puluhan ribu hektare hutan dan lahan terbakar sepanjang tahun ini. Di Kalimantan Timur misalnya, titik panas terus bermunculan. BMKG Stasiun Balikpapan telah mendeteksi ada 20 titik. (Repubika[dot]co[dot]id, 23 Juni 2023)


Karhutla juga telah terjadi di Riau yang kini semakin merembet ke Suaka Marga Satwa Gajah Sumatera di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Diperkirakan ada 10 hektare habitat gajah Sumatera ini musnah terbakar sejak pertengahan Juni lalu. Menurut Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau Genman Hasibuan, bahwa kebakaran hutan tersebut dipicu oleh aksi pembukaan lahan dengan cara membakar hutan untuk perkebunan kelapa sawit. (medcom[dot]id, 25 Juni 2023)


Aktivitas terorganisasi karhutla sebetulnya kembali membuktikan bahwa negara telah gagal dalam melindungi jutaan jiwa baik kehidupan manusia maupun, hewan, dan pepohonan dari keganasan kabut asap, akibat tidak mampu mencegah pembakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut ribuan hektare.


Belum lagi peristiwa berulangnya karhutla menunjukkan rendahnya kesadaran dan edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dalam rangka melestarikan alam.


Selain itu, membuktikan pula bahwa sistem kapitalisme yang mencengkeram negeri inilah yang menyebabkan deretan peristiwa tersebut terjadi. Segelintir orang dengan mudah berperilaku berbahaya demi mewujudkan ambisi  untuk menambah kekayaan mereka. Hal ini diperparah dengan rancunya konsep kepemilikan terhadap suatu barang (hutan) yang seharusnya pengelolaan serta pemanfaatan hutan tersebut ditangani oleh  negara karena termasuk dalam kepemilikan umum.


Namun pada kenyataannya, hutan malah dimiliki oleh pemilik modal besar atau individu tertentu sehingga pengelolaannya diberikan kepada pemilik. Pun karena menganut prinsip kapitalisme sehingga ketika membuka lahan, mereka  menggunakan cara yang efektif dengan pengeluaran dana yang minim. Maka cara yang sangat mudah adalah dengan menggunakan api alias membakar hutan dan lahan tersebut.  


Di sisi lain, perilaku masyarakat tersebut bisa terjadi karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya yang tidak dijamin oleh negara. Sementara penguasa justru dengan mudah memberikan koneksi hutan kepada perusahaan besar. Terlebih adanya kebutuhan untuk memperbanyak dan memperluas perkebunan sawit yang menjadi sumber biofuel.


Lahan pertanian memang sangat dibutuhkan masyarakat untuk menunjang perekonomian. Namun, perlu diperhatikan pula dampak buruk akibat pembukaan lahan pertanian. Jangan sampai maksud hati meningkatkan kesejahteraan, tetapi di sisi lain justru menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan hingga lalu lintas penerbangan, bahkan menghadirkan petaka bagi orang lain. 


Padahal setiap warga negara berhak untuk mendapatkan udara yang segar dan sehat. Masyarakat  juga ada hak untuk melakukan aktivitas tanpa terganggu oleh asap yang menyesakkan dada. Semua itu menjadi tanggung jawab negara sebagai pemimpin sekaligus pengayom masyarakat.


Berbeda dengan kapitalisme sekuler, sistem Islam adalah solusi tuntas dalam mengatasi karhutla yang terus berulang. Benarlah bahwa Hadis yang diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ahmad:

" ....Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api."


Memperhatikan hadis tersebut, padang rumput adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh seseorang atau hanya sekelompok orang. Dengan demikian, berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadis di atas, karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap orang banyak, yang jika tidak ada, maka mereka akan terjadi perselisihan.


Hutan/rumput termasuk fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh masyarakat. Artinya merupakan milik umum dimana manusia sangat membutuhkannya. Jadi, hutan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, sekelompok orang, ataupun oleh negara. Seseorang ataupun negara tidak boleh menghalangi individu atau masyarakat umum yang akan memanfaatkannya. Sebab hutan adalah milik mereka secara berserikat. Akan tetapi, supaya semua  mendapatkan manfaat dari hutan secara adil, maka negara wajib mengatur kemaslahatannya secara tepat.


Dengan tatacara tersebut, maka kasus pembakaran hutan dan lahan secara liar akan diminimalisir karena masyarakat juga menyadari bahwa hutan adalah milik umum yang harus dijaga kelestariannya. Selain itu, Islam juga memiliki aturan peradilan yang mampu untuk menyelesaikan persoalan yang dapat membahayakan rakyat, seperti karhutla.


Di dalam sistem peradilan Islam, terdapat hakim yang menangani permasalahan penyimpangan (mukhalafat) yang bisa saja membahayakan hak-hak rakyat seperti gangguan pada lingkungan hidup seperti karhutla. Hukumannya dapat dijatuhkan kepada pelaku pembakaran hutan dan lahan di tempat kejadian perkara, yang mampu menimbulkan efek jera bagi pelakunya.


Maka dari itu, dengan pengaturan yang terperinci tentang kepemilikan, maka kesadaran umum untuk menjaga lingkungan dan sanksi tegas bagi pelaku kemaksiatan akan menjadi solusi tuntas terjadinya karhutla yang terus berulang. Aturan Islam kafah hadir sebagai solusi tuntas atasi karhutla yang terus berulang. Maka sudah seharusnya kita segera hijrah menuju sistem Islam menyeluruh dalam sebuah kepemimpinan.

Wallahualam bissawab. [SJ]