Liberalisasi Kesehatan Melalui RUU Kesehatan, Berbahaya!
OpiniNegara menjadikan paradigma health care menjadi health industry yang artinya pasien yang memiliki dana lebih akan menikmati fasilitas kesehatan yang layak dan terjamin
Negara lepas tangan dengan menghapus Dana alokasi RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara) untuk layanan kesehatan. Tidak ada lagi sokongan dari pemerintah sehingga semua pihak yang terkait harus mandiri
______________________________
Penulis Nur Indah Sari
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dua fraksi yang menolak RUU Kesehatan (Rancangan Undang-undang Kesehatan) tak jua membuat keputusan RUU ini menjadi UU (undang-undang) gagal disahkan. Dilansir dari Kompas[dot]id. Senin (19/6) 7 Fraksi di komisi IX DPR RI menerima RUU itu untuk disahkan menjadi Undang-Undang, sedangkan fraksi Partai Demokrat dan PKS tegas menolak. Tak hanya penolakan dari dua fraksi saja, ternyata organisasi-organisasi kesehatan juga protes menolak. Penolakan tersebut tetap saja tidak digubris oleh pemerintah.
Pihak yang menolak di antaranya berasal dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) bersama Forum Tenaga Kesehatan. Mereka semua menolak disahkan RUU Kesehatan ini menjadi UU Kesehatan. Penolakan tersebut muncul dari tidak dilibatkan dalam rancangan RUU Kesehatan tersebut. Penggodokan RUU Kesehatan bersifat tertutup tidak ada perundingan sama sekali dengan pihak tenaga kesehatan, organisasi kesehatan dan masyarakat.
RUU Kesehatan ini apabila disahkan akan berdampak terhadap Undang-Undang yang lain. Sekitar ada 13 Undang-Undang yang akan mengalami perubahan. Demonstrasi besar-besaran terjadi. Para demonstran yang menolak disahkan RUU ini mengancam akan menghentikan pelayanan kesehatan apabila legislatif tetap mengesahkan RUU Kesehatan ini menjadi Undang-Undang.
Apa yang Membuat RUU Kesehatan Harus Ditolak?
1. Penyusunan RUU Kesehatan cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi masyarakat sipil dan organisasi profesi.
2. Sentralisme kewenangan Menteri Kesehatan yaitu kebijakan ditarik ke Kementrian Kesehatan tanpa melibatkan masyarakat.
3. Pendidikan kedokteran untuk menciptakan tenaga kesehatan murah bagi industri kesehatan sejalan dengan masifnya investasi.
4. Sarat kriminalisasi terhadap tenaga kesehatan dengan dimasukan pidana penjara dan denda yang dinaikan tiga kali lipat.
5. RUU Kesehatan mengancam keselamatan rakyat dan hak rakyat atas pelayanan kesehatan yang bermutu dan dilayani oleh tenaga kesehatan yang memiliki etik dan maraf yang tinggi.
6. RUU Kesehatan mempermudah datangnya tenaga kesehatan asing berpotensi mengancam keselamatan pasien.
7. RUU Kesehatan berpihak pada investor dengan mengabaikan hak-hak masyarakat, hak-hak tenaga medis dan tenaga kesehatan akan perlindungan hukum dan keselamatan pasien.
8. RUU Kesehatan mengancam ketahanan bangsa serta mengkebiri peran organisasi profesi yang telah hadir untuk masyarakat.
9. Pelemahan peran dan independensi konsil Kedokteran Indonesia dan konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dengan berada dan bertanggung jawab kepada Menteri bukan Presiden lagi.
10. Kekurangan tenaga kesehatan dan permasalahan mal distribusi adalah kegagalan pemerintah bukanlah kesalahan organisasi profesi.
11. RUU Kesehatan hanya mempermudah masuknya tenaga kesehatan asing tanpa kompetensi keahlian dan kualifikasi yang jelas.
12. RUU Kesehatan mengabaikan hak masyarakat atas fasilitas pelayanan kesehatan yang layak, bermutu, dan manusiawi.
Kesimpulannya negara menjadikan paradigma health care menjadi health industry yang artinya pasien yang memiliki dana lebih akan menikmati fasilitas kesehatan yang layak dan terjamin. Negara lepas tangan dengan menghapus Dana alokasi RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara) untuk layanan kesehatan. Tidak ada lagi sokongan dari pemerintah sehingga semua pihak yang terkait harus mandiri. Masih ada anggaran saja banyak masalah dalam layanan kesehatan. Contoh kasusnya di daerah terpencil seringkali kekurangan tenaga medis, fasilitas kesehatan kurang memadai, kekurangan obat-obatan. Tenaga medis kadang ditunda pembayaran gajinya sehingga menyulitkan tenaga medis untuk bertahan hidup.
Inilah yang dimaksud dengan liberalisasi di sektor kesehatan. Sejatinya layanan kesehatan merupakan hak dasar setiap manusia. Liberalisasi adalah ciri khas dari sistem kapitalisme. Tidak berpihak kepada masyarakat tapi pada investor.
Islam Berbeda dengan Kapitalisme yang Mengagungkan Liberalisme
Layanan kesehatan adalah wajib dilaksanakan oleh negara untuk seluruh masyarakat baik muslim maupun nonmuslim. Tidak ada perbedaan semua punya hak yang sama. Tidak ada pengkelasan layanan kesehatan. Masyarakat tidak dipungut biaya atas layanan kesehatan alias gratis. Hal ini karena anggaran sistem pemerintahan Islam berbeda dengan sistem kapitalis. Anggaran kapitalis diambil hanya dari sektor pajak sedangkan anggaran pemerintah Islam berasal dari banyak sumber.
Pajak dalam sistem Islam adalah opsi paling terakhir yang dipilih bila dana baitul mal kosong. Pajak hanya dipungut kepada orang yang mampu saja. Sumber pendapatan negara dalam sistem Islam berasal dari pengelolaan sumber daya alam dan harta milik umum, seperti tambang, hasil laut, dsb. Pengelolaan dikelola oleh negara, tidak ada privatisasi harta milik umum ini. Pendapatan sektor lain ada fa'i, ghanimah, jizyah, 'usyur, kharaj, khusus rikaz, harta ghulul pejabat aparat, dsb.
Biasanya persentase orang yang sakit tidak lebih banyak dari orang yang sehat. Jadi seharusnya negara bisa mengcover anggaran kesehatan masyarakat. Adapun ketika terjadi wabah itu bisa saja diambil dari anggaran darurat seperti pajak. Dana yang ada selain untuk pelayanan kesehatan juga untuk riset pengembangan kedokteran dan farmasi.
Pelayanan kesahatan dalam Islam bukan hanya isapan jempol, sejarah menorehkan berbagai peristiwa yang benar-benar terjadi beberapa abad yang lalu. Pada masa kejayaan Islam Bani ibn Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi depan tempat mencuci tangan, tempat obat-obatan dan disediakan dokter untuk memeriksa kesehatan. Pada masa ke Khilafahan Bani Umayyah, banyak pembangunan rumah sakit untuk pasien penyakit lepra dan tuna netra. Nabi Muhammad juga mencontohkan pelayanan kesehatan ketika menjadi kepala negara. Nabi menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay dan hal tersebut dilanjutkan pada masa ke Khilafahan Umar bin Khattab. Hanya di sistem Islam lah tidak ada liberalisasi sektor pelayanan kesehatan yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Wallahualam bissawab. [Gn]