Menguak Fakta di Balik Hubungan Terlarang
OpiniMenikahi anak kandung adalah termasuk tindakan yang diharamkan oleh Allah Swt.. Apalagi hubungan yang disertai dengan paksaan dan ancaman
Tindakan inses digolongkan sebagai tindakan kriminal (jarimah) karena merupakan pelanggaran syariat. Dosa besar bagi pelakunya, dan harus ada sanksi yang sangat tegas dan keras dari institusi negara
______________________________
Penulis Tinah Ma'e Miftah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi AMK
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Baru-baru ini, publik diramaikan dengan berita ditemukannya tujuh kerangka bayi oleh pihak kepolisian. Dan ternyata, bayi- bayi malang tersebut merupakan hasil dari hubungan terlarang (inses) antara seorang ayah dengan putri kandungnya.
Diberitakan oleh TribunJateng[dot]com (28/ 06/ 2023), Polisi telah menetapkan Rudi (57 tahun) sebagai tersangka pembunuh 7 bayi hasil hubungan bapak dan anak kandungnya. Bayi- bayi tersebut dikubur di RT 1, RW 4, Tanjung, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Menurut pengakuannya, ia melakukan hal itu karena perintah dari guru spiritualnya.
Dalam waktu yang hampir bersamaan kasus serupa juga terjadi di Bukit Tinggi. Terjalinnya hubungan sedarah yang melibatkan seorang ibu dengan anak kandungnya, yang telah berlangsung selama sepuluh tahun. Sejak sang anak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai kini usianya 28 tahun.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), inses adalah hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang masih ada hubungan kekerabatan. Biasanya antara orang tua, dan anak kandung, kakak dan adik kandung, bibi atau paman dengan keponakannya, dan dianggap melanggar hukum sosial serta agama. Bahkan, menurut Konvensi Hak Asasi Manusia, hubungan inses tergolong ke dalam tindakan kriminal. Selain itu, dari segi kesehatan hubungan inses berisiko tinggi melahirkan keturunan dengan cacat bawaan seperti, gangguan mental, penyakit jantung, bibir sumbing, hingga kematian sesaat setelah dilahirkan.
Lalu pertanyaannya, mengapa masih ada orang yang berani melakukannya? Jawabnya adalah, karena sistem sekularisme liberal yang diterapkan di negeri ini. Sistem yang memisahkan antara agama dengan kehidupan, telah membawa masyarakat khususnya kaum muslimin, jauh, bahkan terlalu jauh dari ajaran agamanya. Agama hanya boleh mengatur wilayah aktivitas spiritual semata, sedangkan soal kehidupan dunia biarlah menjadi urusan individu saja.
Hal itulah yang menjadikan manusia dalam bertingkah laku selalu mengedepankan hawa nafsu, sama halnya dengan binatang bahkan lebih biadab dari binatang. Ditambah dengan pemahaman yang salah tentang gejolak seksual, yang mereka anggap sebagai sebuah kebutuhan. Akibatnya, boleh melampiaskannya kepada siapa saja, termasuk kepada kerabat dan keluarga.
Di sisi lain, individu masyarakat pun kini telah kehilangan rasa empati. Mereka terlalu sibuk dengan urusan pribadi masih-masing, dan tidak peduli meski melihat kemungkaran terjadi di depan mata. Baik anggota keluarga atau pun korban enggan melaporkan, biasanya merasa malu karena dianggap sebagai aib, atau pun karena adanya tekanan dan ancaman.
Pada saat yang sama, negara pun seolah hanya diam. Kalaupun ada tindakan hanya sebatas menangkap pelaku, tanpa mencari tahu akar masalah mengapa semua ini bisa terjadi. Sementara hukuman yang diberikan pun terlalu ringan, dengan alasan yang sama menghormati kebebasan dan hak asasi manusia. Maka wajar jika kerusakan moral terus-menerus terjadi. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya negara telah gagal dalam melindungi rakyatnya.
Hal berbeda jika Islam diterapkan sebagai sebuah aturan. Aturan yang berasal dari Allah Swt. sebagai sang pemilik kehidupan, yang mampu memecahkan setiap problematika kehidupan, termasuk bagaimana caranya mengendalikan dan memenuhi tuntutan gejolak seksual.
Islam memandang, bahwa gejolak seksual hanya akan muncul jika ada pengaruh dari luar, seharusnya bisa dikelola dengan manajemen yang sesuai dengan syariat Islam yaitu melalui sebuah pernikahan. Sebab Islam menganjurkan dan bahkan memerintahkan bagi seseorang yang telah mampu untuk melangsungkan pernikahan. Sesuai dengan hadits, dari Ibn Mas'ud ra., ia mengatakan: "Rasulullah pernah bersabda: "Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya"." (Muttafaq' alaihi)
Namun Allah Swt. juga memberikan aturan tentang wanita-wanita mana yang boleh dan wanita yang haram untuk dinikahi. Hal itu telah Allah Swt. jelaskan di dalam kitab suci Al-Qur'an. Allah Swt. berfirman: "Diharamkan atas kamu ( mengawini ) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua)." (TQS. An-Nisa (4): 23)
Dengan adanya ayat di atas maka jelas sudah bahwa menikahi anak kandung adalah termasuk tindakan yang diharamkan oleh Allah Swt.. Apalagi hubungan yang disertai dengan paksaan dan ancaman. Tindakan inses digolongkan sebagai tindakan kriminal (jarimah) karena merupakan pelanggaran syariat. Dosa besar bagi pelakunya, dan harus ada sanksi yang sangat tegas dan keras dari institusi negara.
Maka hukuman yang pantas, yang sesuai dengan syariat Islam adalah hukuman rajam sampai mati. Hukuman diberikan selain untuk menebus dosa, juga diharapkan memberi efek jera kepada orang lain agar tidak melakukan hal yang serupa. Selanjutnya, bagi korban harus disediakan tempat rehabilitasi sampai kondisi kejiwaannya stabil kembali sehingga bisa beraktivitas seperti sedia kala, serta menjaga dan menjauhkan dari hal-hal yang memungkinkan kejadian terulang. Wallahualam bissawab. [BY]