Menikah, karena-Nya Atau karena-'nya'?
NafsiyahSungguh pernikahan itu adalah milik para pemenang, jika ia memulainya dengan ihsan, menjalaninya dengan penuh kasih sayang dan meniatkan segalanya atas nama Tuhan
Bukan sebatas syahwat, bukan sebatas diburu usia, bukan sebatas dihimpit situasi. Tapi tentang sunah yang Allah ridai
________________________________
Penulis Candelaria Athaya
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, NAFSIYAH - Bismillah .... Menikahlah karena-Nya, bukan karena-'nya'.... Salihah, menikahlah karena-Nya. Bukan karena sepantaranmu sudah bergandeng tangan, memiliki pasangan dan kekasih halal yang siap menemani hingga ke awan, pun bukan karena para junior sudah lebih dulu menggamit tangan mungil buah hati..
Menikahlah karena Allah. Agar jalan hidup lebih banyak berisi kebajikan. Tidakkah pernikahan adalah penyempurna separuh agama? Maka niatkanlah ia sebagaimana mestinya. Bukan sebagaimana dan apa maunya kita.
Adalah salah, jika kita terburu-buru melangkah jauh ke depan sementara kita tak pernah menyibukkan diri memperkaya perbekalan. Adalah keliru jika statement sama-sama belajar nantinya, adalah jawaban dari ketidaktahuan. Karena sejatinya melangkahkan kaki pada jenjang pernikahan bukan soal ujian sistem kebut semalam..
Persiapkan!! Persiapkan ilmunya, persiapkan mentalnya, persiapkan hatinya, persiapkan visi misinya, persiapkan amunisinya. Bukan hanya menyibukkan diri tentang menjadi ratu sehari. Gaunnya harus A, tidak peduli melanggar aturan Ilahi. Make up-nya harus B tidak peduli tabarruj dan fitnah diri. Resepsinya harus "WAH" tidak peduli tanggungan dosa dikemudian hari.
Astagfirullah. Salihah. Menikah itu sunah, sementara akadnya tak sampai seperempat jam. Resepsinya yang hanya sehari dua hari, akankah kita akan memanen dosa dari keharaman demi keharaman yang kita amini hadir dalam acara yang kita harap sakral dan menjadi momen sekali seumur hidup?
Kembali lagi, bukankah katamu menikah untuk menyempurnakan separuh agama? Lantas layakkah penyempurnaan separuh agama itu dengan menyusun maksiat demi maksiat di dalamnya? Mengisinya dengan dosa yang diamini dengan sadar sepenuhnya?
Sekali seumur hidup! Adalah dalih para pemilik hati yang mudah goyah. Tidak apa-apa tabarruj, sebab ini sekali seumur hidup. Tak apa memangkas sedikit alis agar terlihat lebih cetar sebab ini momen sekali seumur hidup. Tak apa berpakaian diluar batas syari sebab ini hanya sehari dalam hidup. Tak apa tamu berbaur sebab mereka berbahagia di hari sekali seumur hidup.
Parahnya, banyak yang meninggalkan salat sebab tak ingin mengganggu alis yang telah tegas, kelopak yang telah berwarna, bibir yang merona dan pipi yang bersemburat merah. Tidakkah menikah sunah? Lantas atas dasar apa kita meninggalkan ibadah wajib kita?
Dan lagi, dalih ini sekali seumur hidup. Seolah ia sudah sangat yakin hanya akan menikah sekali seumur hidup. Seolah dialah yang paling berani menanggung besarnya dosa yang banyak di sehari dalam seumur hidupnya. Seolah jembatan maksiat adalah baik-baik saja untuk kehidupan yang ia harap sakinah mawaddah wa rahmah.
Apakah kita tiba-tiba saja amnesia? Bahwa Tuhan pemilik skenario dunia? Yang bisa saja mengubah segalanya dalam hitungan sepersekian detik saja?
Ah sudahlah. Telah hilang idealisme penyempurna separuh agama. Habis tak tersisa terkikis ego dunia. Seolah menikah karena memang seharusnya, sejatinya ia maju ke medan pernikahan karena kebelet usia dan situasi, terdesak beribu tanya sinis dari manusia soalan pernikahan kapan akan terlaksana..
Bukan berarti menikah itu tak boleh, Bukan! Silahkan saja. Sebab ia adalah ladang pahala paling luas bagi kita kaum wanita. Sungguh sangat!
Hanya saja, jangan sampai kita belum mempersiapkan diri sebagai petani untuk memanen pahala, hingga kita merugi dalam proses dan hasil. Tidakkah kita adalah manusia yang tak pernah rela mendekat dalam kerugian?
Maka pikirkanlah lagi! Ini bukan tentang usia saja, tapi tentang kematangan, kesiapan dan kelayakan. Tentang tujuan dan jalan yang akan ditempuh ke depan. Apakah menikah karena ibadah? Atau terdesak nafsu dunia?
Terakhir. Duduklah dalam diam, pada ruang paling tenang. Pikirkan tentang PERBEKALAN. Bukan sekadar persiapan sehari dan sekali seumur hidup.
Duduklah dengan hikmah, pikirkan lagi tentang KESIAPAN menjadi petani pahala pada ladang panjang bernama pernikahan, ttentang bibit, pupuk dan panen seperti apa yang diharap. Sungguh pernikahan itu amatlah indah. Kompleks warnanya, beragam intriknya, banyak progresnya, dan itu akan berulang terus, terus berulang hingga ke penghujung takdir yang Tuhan tetapkan..
Salihah. Sungguh pernikahan itu adalah milik para pemenang, jika ia memulainya dengan ihsan, menjalaninya dengan penuh kasih sayang dan meniatkan segalanya atas nama Tuhan. Bukan sebatas syahwat, bukan sebatas diburu usia, bukan sebatas dihimpit situasi. Tapi tentang sunah yang Allah ridai.
Semoga sakinah selalu tercipta atas rida-Nya, hingga ia limpahkan mawaddah warrahmah hingga sepasang insan menua sampai kembali berkumpul di tempat terindah, tempat yang Tuhan janjikan bagi mereka yang saling mencinta karena-Nya. Wallahualam bissawab. []