Penularan Antraks, Bentuk Kelalaian Penguasa
Surat PembacaIslam menghargai tradisi dan membolehkannya selama tidak bertentangan dengan hukum syariat serta tidak membahayakan diri
Beda halnya dengan tradisi yang bertentangan dan membahayakan. Penguasa haruslah memberikan pemahaman yang jelas dan tegas demi kebaikan masyarakat
___________________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - “Desa mawa cara, negara mawa tata”. Pepatah Jawa ini memberikan nasihat bahwa setiap daerah memiliki adat istiadat atau aturan yang berbeda. Namun, bagaimana jika tradisi ini malah menjerumuskan manusia kepada kebinasaan?
Sebagaimana yang terjadi di Padukuhan Jati, Gunungkidul yang seminggu lalu dilaporkan bahwa 87 warganya terpapar antraks. Diduga ini disebabkan warga yang melaksanakan tradisi nenek moyang yakni tradisi mbrandu yang dijalankan dengan menjual murah enam sapi dan enam kambing mati karena antraks kepada warga sebagai bentuk wajib dalam membantu meringankan kerugian pemilik ternak. Satu lansia dikabarkan meninggal dunia akibat penyebaran antraks ini. (republika[dot]co[dot]id, 07/07/23)
Tradisi, layaknya kebiasaan yang menjadi keyakinan akan membawa manfaat bagi masyarakat, sejatinya adalah hal yang manusiawi. Namun, apabila dalam praktiknya bertentangan dengan agama bahkan membahayakan nyawa tentu harus ditinggalkan. Memakan hewan mati apalagi karena sakit alias bangkai adalah haram menurut Islam. Allah Swt. berfirman, yang artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala." (TQS. Al-Ma’idah [5]: 3)
Secara medis memakan bangkai juga sangat berbahaya terlebih jika hewan tersebut mati disebabkan oleh penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hewan segar yang disembelih, terpapar mikroba lebih sedikit dibandingkan bangkai hewan. Sebab hewan yang mati akan segera membusuk dan menjadi media perkembangbiakan berbagai mikroba patogen (pembawa penyakit). Sehingga mengkonsumsi bangkai sangat berbahaya bagi kesehatan apalagi jika jelas hewan itu mati karena berpenyakit.
Islam menghargai tradisi dan membolehkannya selama tidak bertentangan dengan hukum syariat serta tidak membahayakan diri. Contohnya, kebiasaan halal bihalal terdapat manfaat silah ukhuwah yang mempererat tali persaudaraan. Beda halnya dengan tradisi yang bertentangan dan membahayakan seperti kasus di atas. Penguasa haruslah memberikan pemahaman yang jelas dan tegas demi kebaikan masyarakat. Islam mewajibkan penguasa agar menjamin keselamatan agama dan keselamatan jiwa. Sehingga praktik menyimpang semacam ini dapat dicegah dan diatasi.
Kasus yang terjadi juga merupakan indikasi lalainya penguasa dalam mengurus rakyatnya. Karena praktik berbahaya itu masih dilaksanakan, maka penguasa wajib memberikan edukasi dan pemahaman yang benar agar masyarakat meninggalkan kebiasaan tersebut. Kurangnya perhatian penguasa disebabkan lemahnya aturan yang diterapkan. Tidak adanya sanksi yang tegas dan kurangnya pengurusan terhadap rakyat akibat sistem kapitalis yang hanya mementingkan persoalan yang menguntungkan kepentingan tertentu, menambah karut marut permasalahan. Akibatnya pengawasan terhadap rakyat menjadi lemah bahkan abai. Oleh karena itu, hendaknya penguasa memperhatikan bagaimana ia melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya.
Penguasa wajib memiliki rasa takut kepada Allah Swt. kala ia lalai dalam memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Sosok pemimpin demikian hanya akan terwujud di luar sistem cacat kapitalis yang menyengsarakan. Kepemimpinan yang amanah akan mampu diwujudkan dalam sistem yang baik yakni sistem Islam yang datang dari Zat yang Mahabaik. Maka, marilah kita merenungkannya dan menata pemikiran kita bahwa tiada yang lebih baik selain sistem Islam. Mari kita kembali pada sistem Islam yang sesuai fitrah manusia dan membawa kebaikan dunia akhirat. Wallahualam bissawab. [SJ]
Intan A. L.
Aktivis Muslimah Bandung Jabar