Alt Title

Suksesi di Balik Rekayasa Istilah Reklamasi

Suksesi di Balik Rekayasa Istilah Reklamasi

Sayangnya Indonesia yang bercita-cita besar sebagai penguasa di sektor maritim sepertinya sangat bersinggungan dengan implementasi kebijakan pemerintah yang akan mengeksploitasi pasir laut dengan alasan besarnya kebutuhan proyek reklamasi di dalam negeri

Alih-alih ingin menyejahterakan warga pesisir pantai yang ada justru dengan adanya aturan ini, beban kerusakan lingkungan akan dialami oleh nelayan dan masyarakat pesisir makin besar

______________________________


Penulis Mia Annisa 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Konten Kreator




KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Resmi. Pasca 2 dekade adanya pelarangan ekspor pasir laut di bawah pemerintahan presiden Megawati saat itu dan Menteri Perdagangan yang dijabat oleh Rini Soemarno lewat Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 mengenai Penghentian Sementara Ekspor Laut. Namun setelah Presiden Jokowi menerbitkan beleid lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dalam beleid tersebut memasukkan beberapa ketentuan soal pemanfaatan pasir laut dan juga pengelolaannya.

Sehingga pemerintah memberikan ruang kepada beberapa pihak untuk membersihkan hasil sedimentasi laut dengan sarana kapal isap, diutamakan mereka berbendera Indonesia. Namun jika pun tidak ada, pemerintah akan mempersilakan kapal asing untuk melakukan pengerukan hasil sedimentasi laut tersebut. Dimana proses pengerukan pasir laut tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Kementerian ESDM dan gubernur setempat dengan membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) peserta sejumlah pungutan-pungutan lainnya. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono.

Kebijakan membuka keran ekspor pasir laut banyak mendapatkan sorotan. Salah satunya Direktur Eksekutif Walhi daerah Riau, Boy Jerry Even Sembiring bahwa kebijakan pemerintah ekspor pasir laut akan mengancam ekosistem laut, pesisir, dan [ulau kecil di Tanah Air. Kebijakan ini tentu melanggar komitmen yang pernah dikeluarkan pemerintah mengenai perlindungan ekosistem laut, wilayah pesisir, dan pulau kecil. (bisnis[dot]tempo[dot]com, 28 Mei 2023)


Gagalnya Poros Maritim Indonesia

Indonesia yang telah didaulat sebagai negara yang mempunyai pulau terbanyak di dunia dengan 17 ribu pulaunya serta memiliki garis pantai kurang lebih 108 ribu km terpanjang kedua setelah Kanada rupanya banyak menyimpan nilai ekonomi yang besar berupa keanekaragaman hayati (perikanan). Keanekaragaman hayati inilah yang nantinya diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang berada di sekitar wilayah pesisir.

Hal ini juga yang menempatkan Indonesia secara potensial berada di posisi silang jalur perdagangan dunia internasional di wilayah Asia Tenggara. Yang mana dari sisi ekonomi, misalnya jika industri pelayaran dan perkapalan itu dikembangkan dapat mewujudkan konektivitas antar pulau. Contohnya Selat Malaka, merupakan cabang-cabang perairan di Indonesia yang dijadikan sebagai jalan sutra laut terpenting. Dengan kata lain memosisikan Selat Malaka sebagai jalur persilangan yang sangat strategis mengingat 90 persen komoditas diangkut menggunakan jalur laut dan 40 persennya melewati perairan di Indonesia.

Filosofi inilah yang memprakarsai cita-cita besar Presiden RI mencanangkan mega proyek poros maritim setelah pertemuan internasional East Asia Summit ke-9 di Nay Pyi Taw, Myanmar, pada 13 November 2014 dalam jangka panjang. Sayangnya Indonesia yang bercita-cita besar sebagai penguasa di sektor maritim sepertinya sangat bersinggungan dengan implementasi kebijakan pemerintah yang akan mengeksploitasi pasir laut dengan alasan besarnya kebutuhan proyek reklamasi di dalam negeri. Alih-alih ingin mensejahterakan warga pesisir pantai yang ada justru dengan adanya aturan ini, beban kerusakan lingkungan akan dialami oleh nelayan dan masyarakat pesisir makin besar. Sebab aktivitas penangkapan ikan akan terganggu karena adanya kegiatan kapal keruk pasir. Otomatis menurunkan pendapatan nelayan. Selain itu dapat merusak keberlangsungan ekosistem laut. Contoh nyata adalah Tanjung Balai Karimun kepulauan Riau, kerusakan lingkungan laut sangat terasa dampaknya akibat terjadi pengerukan pasir pantai yang diekspor ke Singapura.

Merilis pernyataan Susan Herawati sebagai perwakilan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau Kiara kepada Tempo[dot]co (31 Mei 2023). Kebijakan ekspor pasir laut hanya akan merampok sumber daya laut dan semakin menunjukkan pemerintah hanya berorientasi menambah pemasukan negara, tapi tidak menghitung secara mendalam akan terjadi kerusakan sumber daya kelautan jika PP 26/2023 ini dijalankan.

Padahal pasir laut justru banyak memberikan keuntungan diantaranya adalah menjaga pelestarian hutan mangrove agar tetap eksis, menjaga garis pantai dari banjir dan mencegah bercampurnya air laut dengan air bawah tanah (intrusi).

Lantas, apakah implementasi kebijakan seperti ini yang akan mengantarkan Indonesia bisa berdigjaya sebagai poros maritim dunia? Jika untuk menguasai dan mengelola laut dengan segala kekuatannya belum mampu mengolahnya secara maksimal. Lalu siapa yang diuntungkan?

Dikutip dari Reuters, sebelum terbit pelarangan ekspor pasir laut, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut ke Singapura untuk memenuhi proyek reklamasi mereka sebagai akibat belum adanya kejelasan batas teritorial di bagian selatan inilah yang dimanfaatkan oleh Singapura. Adalah pelabuhan Tuas diperkirakan rampung pada tahun 2030 untuk mengendalikan perdagangan dunia dengan membangun pelabuhan kelas utama dengan berbagai keunggulan pelabuhannya, antara lain seperti sistem kecanggihan teknologi serta kualitas pelayanan mereka. Artinya hampir seluruh kapal-kapal yang hendak menuju ke laut Asia Pasifik melintasi Selat Malaka, Selat Sunda dan terus menyeberangi Samudera Hindia hingga ke Arabia nantinya lebih memilih singgah di pelabuhan Singapura. Siapa yang tidak tergiur, mengingat mulai dari Laut Cina Selatan hingga Selat Malaka merupakan jalur lalu lintas ekonomi barang dan jasa yang padat dengan nilai lebih US$ 1 triliun per tahun. Setiap harinya dilalui 200 kapal tanker minyak dan gas. (Info Militer Dunia, 14 Juli 2014)

Makin bonyok. Ini berpengaruh terhadap bergesernya batas maritim Indonesia yang semakin berkurang wilayah perairan dan kedaulatan teritorialnya. Sedangkan Singapura yang semula memiliki luas wilayah 578 km² namun sekarang luas teritorialnya bertambah menjadi 719 km² atau bertambah sebanyak 25% lebih garis pantainya menjorok ke pantai Indonesia.


Lemahnya Visi Geopolitik Indonesia

Lemahnya visi geopolitik Indonesia dengan tetap mengekspor pasir laut ke negara tetangga menandakan jika pemerintah tidak serius mewujudkan poros maritimnya. Ini sinyal bahaya yang harus segera disadari oleh umat hari ini yang terpecah oleh paham nation state berikut turunannya untuk memahami urgensitas membangun kembali kesadaran ruang. Jika tak mau batas-batas wilayah negeri dengan mayoritas muslim terbesar ini semakin samar.

Ekspor pasir laut hasil silat lidah pemerintah. Pertama, semakin menyukseskan Singapura sebagai juru kunci memperluas jaringan pelabuhan mereka untuk memonopoli jalur laut yaitu Selat Malaka sebagai navigasi paling efisien dan terpendek di dunia ini akan memangkas biaya operasional ketimbang melintasi laut Cina Selatan. Kedua, akan tetap menjadikan Indonesia jauh tertinggal di sektor industri karena hanya menjual sumber daya alam mentahnya bukan menjual hasil produksinya. Padahal syarat untuk menjadi negara maju adalah kontribusi 40% dari PDB di bidang manufaktur. Jangan salah jika pada akhirnya Indonesia sulit keluar dari gelar "middle income trap". (cnbcindonesia[dot]com, 29 Mei 2023)

Ekspor pasir laut ini sejatinya perilaku para antek-antek penjajah di negeri ini demi memuaskan keserakahannya dengan mengesampingkan dharar yang ditimbulkan. Beginilah mental-mental kaum perusak, orang-orang kapitalis rela menjual tanah airnya sendiri, mereka seolah-olah sedang memberikan kebaikan untuk bangsanya padahal justru sebaliknya. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam Firman Allah Swt., “Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi!" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al-Baqarah: 11)

Wallahualam bissawab. [GSM]