Tanah Rakyat Tersita demi Pembangunan Bandara
OpiniKeberadaan Bank Tanah memiliki peran yang sejalan dengan motif bisnis pembangunan IKN. Proyek yang terkesan dipaksakan faktanya tetap menjadi prioritas walaupun tidak didukung oleh dana yang memadai, alhasil APBN jebol dan krisis multidimensi pun tidak bisa dihindari
Demi ambisi meraih keuntungan dan kekuasaan, rakyat pun menjadi korban. Infrastruktur yang dibangun tidak ditujukan untuk membuat masyarakat sejahtera
________________________________
Penulis Irma Faryanti
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member Akademi Menulis Kreatif
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pada tanggal 6 Juni lalu Presiden Joko Widodo telah menandatangani Perpres Nomor 31/2023. Beleid itu ditujukan untuk pembangunan Bandara Very Very Important (VVIP), dalam rangka pengembangan infrastruktur dan pendukung konektivitas Ibu Kota Negara (IKN). Untuk itu, Badan Bank Tanah telah melakukan pematokan dan pembersihan (land clearing) seluas 360 hektare pada lahan yang terletak di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. (news[dot]prokal[dot]id, 19 Juni 2023)
Namun hal ini menuai protes masyarakat setempat. Ratusan warga di wilayah tersebut melakukan aksi demo sebagai bentuk ketidak setujuan mereka karena lahan mereka diambil alih oleh Bank Tanah untuk proyek Bandara VVIP. Mereka berasal dari lima kelurahan yang empat diantaranya terletak di Gersik, Jenebora, Pantai Lango dan Riko. Sementara yang satu lainnya dari Maridan yang terletak di Kecamatan Sepaku.
Dalle Roy, seorang warga Kecamatan Gersik memberi keterangan bahwa masyarakat yang terdampak proyek pembangunan bandara telah mencapai 1000 orang lebih. Mereka terpaksa harus pindah dari kawasan tersebut setelah diambil alih oleh pihak Bank Tanah. Ia pun menyatakan penolakannya karena mereka telah menempati lahan itu sejak Indonesia merdeka. Sementara pematokan langsung dilakukan tanpa ada proses sosialisasi. Dalle pribadi tidak merasa keberatan dengan adanya rencana pendirian fasilitas ini asalkan tidak mengorbankan tanah penduduk setempat.
Pada dasarnya warga hanya berharap tanah yang tidak masuk Hak Guna Usaha (HGU) tidak diambil. Namun faktanya sekitar 1.884 ha yang seharusnya menjadi hak penduduk pun dijadikan sebagai lahan pembangunan bandara, sehingga lima kelurahan dipaksa pindah dari kawasan tersebut. Sementara tempat yang dipersiapkan untuk relokasi tidak sebanding dengan ukuran yang semestinya. Sayangnya, ketika hal ini dikonfirmasi pada Juru bicara proyek IKN, Troy Pantouw, ia justru mengarahkannya langsung pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Danis Sumadilaga selaku Ketua Satgas Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur IKN belum bisa memberi tanggapan apapun terkait hal ini.
Sementara Moh. Syafran Zamzami selaku project team leader Badan Bank Tanah masih belum memberi respon atas aksi protes warga terhadap pematokan yang dilakukan oleh pihaknya. Lembaga ini seolah ingin cuci tangan, padahal jika dicermati lebih jauh keberadaannya lahir berdasarkan RUU Pertanahan yang materinya secara sah masuk melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja di bulan Oktober 2020 lalu. Sejak awal Presiden Jokowi menegaskan bahwa keberadaannya ditujukan untuk menjamin kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma agraria. Tapi harapan tidak sejalan dengan realita, karena rakyat hanya merasakan dampak buruknya saja.
Jika dilihat, keberadaan Bank Tanah ini memiliki peran yang sejalan dengan motif bisnis pembangunan IKN. Proyek yang terkesan dipaksakan faktanya tetap menjadi prioritas walaupun tidak didukung oleh dana yang memadai, alhasil APBN jebol dan krisis multidimensi pun tidak bisa dihindari. Alih-alih rakyat diuntungkan, dengan dibangunnya ibukota baru ini justru cenderung pada perbuatan zalim karena telah merampas lahan yang menjadi hak milik rakyat. Demi ambisi meraih keuntungan dan kekuasaan, rakyat pun menjadi korban. inilah realita hidup dalam naungan kapitalis, peran penguasa tidak lebih sekedar untuk kepentingan kapitalistik semata. Infrastruktur yang dibangun tidak ditujukan untuk membuat masyarakat sejahtera.
Sungguh jauh berbeda dengan Islam, yang menjadikan hukum Allah Swt. sebagai landasan penentu kebijakan. Begitu pula dalam hal pengaturan masalah tanah, syariat telah menetapkan bahwa suatu lahan bisa menjadi milik seseorang saat ia mampu menghidupkannya atau memanfaatkannya (ihya' al mawat).
Imam Bukhari meriwayatkan hadis dari Umar bin Khathab, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: "Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya."
Jika pemiliknya di kemudian hari mengabaikannya selama tiga tahun, maka negara berhak mengambil alih dan memberikannya pada pihak lain yang bisa melakukannya.
Terkait harta yang menjadi milik masyarakat secara umum, pengelolaannya dikembalikan pada negara. Penguasa berhak memberikan ataupun mengambilnya dari seorang individu pada pihak lainnya. Namun jika dimiliki secara pribadi, maka tidak boleh diambil alih terlebih merampasnya, kecuali jika pemiliknya bersedia menjualnya secara sukarela, dengan harga yang pantas dan tidak merugikan pihak penjual.
Inilah cara Islam menghormati kepemilikan individu, tidak boleh ada seorangpun yang melanggarnya sekalipun penguasa. Setiap pelanggaran yang terjadi terkategori tindakan zalim yang bisa diadukan ke Mahkamah Mazhalim untuk ditetapkan sanksi atasnya. Tentunya hal ini hanya dapat terwujud saat syariat diterapkan secara keseluruhan dalam naungan sebuah kepemimpinan Islam. Wallahualam bissawab. []