Iuran BPJS akan Naik, Rakyat Semakin Menjerit
Opini
Dalam sistem kapitalisme, rakyat miskin seakan dilarang sakit. Sebab, bagi rakyat yang belum menjadi peserta BPJS, ia harus membayar biaya kesehatan yang sangat mahal jika berobat ke rumah sakit.
Begitu pula bagi rakyat yang telah mendaftar menjadi peserta BPJS pun tetap terbebani dengan cicilan iuran yang wajib dibayarnya. Jika telat dalam pembayaran maka akan mendapatkan denda. Terlebih jika tidak membayar, maka akan menjadi utang yang terus membengkak
_________________________
Penulis Ummi Nissa
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - "Sehat itu mahal." Inilah ungkapan yang sering kita dengar seiring dengan tingginya biaya pengobatan. Di sisi lain, pemerintah hadir demi menjamin kesehatan rakyat melalui program BPJS. Program ini memberikan layanan kesehatan dengan skema asuransi yang berasaskan gotong royong. Meski telah berjalan selama sembilan tahun, tetapi program BPJS ini masih terus menuai perdebatan. Alih-alih menjamin kesehatan masyarakat, yang ada justru membebani rakyat. Karena iuran yang ditetapkan terus mengalami kenaikan secara berkala.
Terkait kenaikan iuran BPJS, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memprediksi iuran BPJS kesehatan berpotensi naik pada Juli 2025. Kenaikan tersebut, menyusul perubahan tarif standar layanan kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 3 Tahun 2023. Permenkes ini mengatur standar tarif terbaru yang menggantikan standar tarif pelayanan kesehatan lama baik untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang diatur dalam Permenkes Nomor 52 Tahun 2016. (cnbcindonesia[dot]com, 20 Juli 2023)
Kenaikan iuran BPJS juga disepakati oleh Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, bahwa menurutnya iuran BPJS lumrah dinaikkan jika memang ada potensi defisit. Namun, ia menilai harus ada evaluasi kinerja BPJS Kesehatan terutama sistem yang mereka gunakan di rumah sakit.
Di sisi lain, demi meningkatkan pelayanan kesehatan, pemerintah berencana menghapus kelas rawat inap menjadi Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN). Namun, kelompok buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolaknya. Sebab, dengan diluncurkannya program KRIS tersebut, dikhawatirkan bakal memicu kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Bahkan, Said Iqbal selaku Presiden KSPI menduga bahwa, program KRIS JKN diluncurkan sebagai bentuk komersialisasi. Ia menilai program tersebut dibuat sebagai instrumen pelaksanaan money follow program yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan yang baru disahkan beberapa waktu lalu oleh DPR RI.
Oleh sebab itu, jika kenaikan iuran BPJS ini terealisasi, tentu akan menambah beban rakyat semakin berat. Terlebih masyarakat yang menjadi peserta BPJS mandiri. Ia harus membayar iuran lebih besar.
Perlu diketahui terdapat empat kategori peserta BPJS Kesehatan. Pertama, Penerima Bantuan Iuran (PBI). Untuk PBI biayanya ditanggung pemerintah sepenuhnya. Kedua, Pekerja Penerima Upah Pemerintah (PPU-P) yang terdiri dari Aparatur Sipil Negara (ASN) atau TNI atau Polri. Ketiga, Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU-BU) yang umumnya karyawan swasta. Keempat, Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang biayanya dibayar secara mandiri.
Sesungguhnya komersialisasi kesehatan hanya terjadi dalam sistem kapitalisme sekuler. Dalam aturan ini, pemerintah telah menyerahkan pengelolaan kesehatan pada pihak swasta. Sehingga kesehatan dijadikan sebagai lahan bisnis yang dapat menghasilkan cuan. Hal ini wajar terjadi, karena pihak swasta tentu hanya fokus pada keuntungan, bukan pelayanan. Oleh sebab itu, penerapan sistem kapitalisme hanya menjadikan masyarakat sebagai konsumen. Pada akhirnya rakyatlah yang menanggung beban untuk mendapat jaminan pelayanan kesehatan.
Dalam sistem kapitalisme, rakyat miskin seakan dilarang sakit. Sebab, bagi rakyat yang belum menjadi peserta BPJS, ia harus membayar biaya kesehatan yang sangat mahal jika berobat ke rumah sakit. Begitu pula bagi rakyat yang telah mendaftar menjadi peserta BPJS pun tetap terbebani dengan cicilan iuran yang wajib dibayarnya. Jika telat dalam pembayaran maka akan mendapatkan denda. Terlebih jika tidak membayar, maka akan menjadi utang yang terus membengkak.
Sejatinya, pelayanan kesehatan dalam sistem kapitalisme bertolak belakang dengan pelayanan kesehatan dalam Islam. Sebab layanan kesehatan dalam Islam menjadi kewajiban negara. Dalam hal ini, negara wajib menjamin terpenuhinya salah satu kebutuhan pokok masyarakat secara optimal, baik dari sisi pembiayaan, pembangunan, hingga pelayanan. Pemimpin dalam Islam tidak akan menjadikan kesehatan sebagai komoditas layaknya bisnis. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhamad saw.:
"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus). Ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya." (HR. Bukhari)
Adapun mekanisme pelayanan kesehatan dalam aturan Islam yang dapat dilakukan di antaranya: Pertama, negara menyediakan infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang memadai. Hal ini sebagaimana terjadi pada masa pertengahan zaman keemasan era Ke Khilafahan. Hampir semua kota besar pada saat itu memiliki rumah sakit. Di Kairo, ada Rumah Sakit Qalaqun yang dapat menampung pasien hingga 8.000. Semua rumah sakit di zaman itu dilengkapi dengan tes kompetensi bagi setiap dokter dan tenaga kesehatan. Bahkan, rumah sakit menjadi favorit para wisatawan asing yang ingin merasakan sedikit pelayanan mewah tanpa biaya karena seluruh rumah sakitnya gratis. (Al-waie[dot]id)
Kedua, negara menjamin pembiayaan kesehatan sepenuhnya. Anggaran untuk pembiayaan kesehatan bersumber dari pos-pos pendapatan Baitul Mal. Salah satunya berasal dari pengelolaan kepemilikan umum seperti barang tambang yang jumlahnya melimpah. Negara juga memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf bagi rakyat yang mau beramal dan berkontribusi untuk kepentingan umat. Sehingga banyak fasilitas kesehatan bebas biaya.
Ketiga, pelayanan kesehatan wajib ditujukan untuk menyelamatkan jiwa manusia. Di masa peradaban Islam, pelayanan kesehatan rumah sakit sejak awal dan perkembangannya mengedepankan pelayanan dan pengurusan pasien. Kala itu, ada dua jenis rumah sakit, yaitu permanen dan nomaden (berpindah-pindah). Rumah sakit permanen dibangun di tengah kota. Sedangkan, rumah sakit nomaden dikhususkan ke wilayah-wilayah pelosok yang sulit dijangkau masyarakat.
Selain itu, pelayanan dokter-dokter sepanjang peradaban Islam dikenal memperlakukan pasiennya dengan lembut dan manusiawi, tanpa melihat latar belakang agamanya. Siapa saja yang sakit pasti mendapat pelayanan terbaik.
Untuk itu, agar mendapatkan jaminan layanan kesehatan yang gratis dengan pelayanan optimal, hanya akan dirasakan ketika pengaturan Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Hingga rakyat pun tidak akan dibebani dengan biaya kesehatan yang mahal.
Wallahualam bissawab. [GSM]