Apatisme Menggejala di Tengah Masyarakat Individualis, Rasa Peduli Kian Terkikis
Opini
Islam juga memerintahkan muslim untuk bersikap baik kepada tetangganya dan memenuhi hak-haknya
Hak-hak tersebut meliputi menerima nasihat, menolong dan meringankan penderitaannya, menjenguk ketika sakit dan mendoakan kesembuhan baginya, serta mendapatkan perlakuan baik
______________________________
Penulis Etik Rositasari
Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Manusia sejatinya merupakan makhluk sosial yang fitrahnya senantiasa saling membutuhkan satu sama lain. Karena inilah, manusia tidak mungkin bisa hidup seorang diri. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup saja seperti makan, kita membutuhkan peran dari banyak orang, mulai dari petani, nelayan, peternak hingga penjual di pasar.
Apalagi jika sudah berbicara mengenai sektor kehidupan yang lebih kompleks, tentu peran individu lain tak dapat dielakkan. Maka dari itu, sudah seyogyanya manusia memiliki sikap empati dan peduli mengingat ia tidak mungkin bisa hidup tanpa manusia lain. Sayangnya, eksisnya kehidupan modern saat ini agaknya telah menyulap masyarakat menjadi individu-individu yang apatis.
Seperti yang baru-baru ini terjadi di Depok, tepatnya di kawasan Perumahan Bukit Cinere Indah, sesosok jasad ibu beserta anak laki-lakinya ditemukan terbujur kaku di kamar mandi rumah mereka pada Kamis (07/09/2023) lalu. Kronologi penemuan jasad tersebut dimulai saat warga setempat curiga karena dua orang yang merupakan satu keluarga tersebut sudah lama tak terlihat. Mereka pun lantas melaporkan hal tersebut kepada satuan pengaman setempat agar bisa dilakukan pengecekan.
Menanggapi laporan warga, satpam kompleks pun langsung menuju lokasi yang dimaksud dan menemukan rumah dalam keadaan terkunci. Petugas lantas naik melalui dinding pagar dan mendapati bau busuk tercium dari arah kamar mandi dalam rumah. Saat berusaha membuka pintu, terlihat kaki melintang yang menghalangi akses masuk ke kamar mandi. Hal ini lantas membuat petugas terkejut dan memutuskan untuk menghubungi petugas kepolisian.
Benar saja, saat dilakukan pemeriksaan, polisi mendapati dua jasad yang merupakan penghuni rumah itu. Ironisnya, saat ditemukan, kedua jasad dalam kondisi yang mengenaskan, hanya menyisakan tulang belulang. Ahli forensik kepolisian pun memprediksi bahwa keluarga tersebut telah meninggal kurang lebih satu bulan yang lalu.
Berdasarkan keterangan Lurah Cinere, Mashuri, memang keluarga yang terdiri dari ibu dan anak ini dikenal sangat tertutup, apalagi semenjak sang suami meninggal di tahun 2011. Ironisnya, bukannya berempati, hal ini membuat tetangga justru menjadi tak peduli. Buktinya, meski beberapa hari tak terlihat, tak ada teguran kabar dan sapaan dari tetangga sekitar.
Sampai-sampai, saat keluarga ini meregang nyawa, tak satu pun tetangga yang mengetahui. Baru setelah satu bulan berjalan dan jasad telah menjadi kerangka, tetangga mulai menaruh curiga. Jelas terlihat di sini bagaimana rasa kepedulian antartetangga hampir tak terlihat, terkikis dengan rasa individualistis yang tinggi.
Faktanya, kasus ini ternyata bukan kali pertama terjadi. Setahun sebelumnya di tahun 2022, peristiwa yang hampir sama juga terjadi di Kalideres, melibatkan satu keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak yang ditemukan telah membusuk di dalam rumah. Sama seperti kasus Cinere, keluarga tersebut juga dikenal cenderung mengisolasi diri dari lingkungan.
Mirisnya, lingkungan tempat tinggal keluarga itu termasuk lingkungan perumahan elite yang tak minim warga. Kondisi tersebut nyatanya ini tak menjamin tingkat kepedulian dari warga sekitar. Bahkan, kondisi rumah yang rusak, aliran listrik terputus serta absennya korban terlihat di sekitar rumah tak menggerakkan hati untuk mengetahui kondisi mereka. Realitas yang sangat menyedihkan!
Yang jadi pertanyaan, ada apa sebenarnya dengan masyarakat saat ini? Mengapa sikap individualistis begitu subur menjangkiti masyarakat bak jamur di musim hujan? Padahal, bukankah negeri kita dikenal sebagai negeri yang ramah yang selalu mengedepankan gotong royong dan persaudaraan. Namun saat ini kemana hilangnya perasaan tersebut?
Jika kita amati, sebenarnya ini tak lepas dari adanya pergeseran nilai dan pola hubungan antarindividu dalam masyarakat saat ini. Biang keladinya tak lain dan tak bukan adalah karena bercokolnya sistem kapitalisme sekuler. Sistem yang berasaskan individualisme ini meniscayakan terbentuknya masyarakat apatis yang tak mau peduli dengan urusan orang lain.
Hal ini karena dalam sistem kapitalisme, kehidupan pribadi merupakan urusan privat yang harus dihormati. Tak heran jika telinga kita pun akrab dengan kalimat-kalimat seperti “Jangan campuri urusanku.” “Urus saja urusanmu sendiri.” Dan lain sebagainya.
Kondisi seperti ini membuat masyarakat akhirnya sungkan untuk peduli dengan orang lain, meskipun orang tersebut merupakan kerabat maupun tetangganya. Rasa khawatir mencampuri urusan orang lain membuat mereka tak lagi mengindahkan empati. Mulut pun terbungkam untuk sekadar menyapa. Pada akhirnya, di tahap yang kronis, di mana hal ini terus menerus terjadi, empati pun akhirnya menjadi tumpul.
Tak heran jika saat ini kasus ironis seperti penemuan jasad yang telah membusuk karena terlambat diketahui tetangga bisa terjadi. Bahkan, tak menutup kemungkinan, kasus-kasus serupa akan terjadi di kemudian hari jika manusia masih dalam kendali sistem kapitalis sekuler.
Maka, agar kasus ini tak berulang, sudah selayaknya kita berpaling pada solusi sistemis. Bukan hanya sekadar imbauan untuk meningkatkan kepedulian semata, namun merujuk pada sesuatu yang bersifat komprehensif menyelesaikan akar masalah dari problem tersebut yaitu terkait sistem kehidupan.
Berbicara mengenai solusi, Islam sebenarnya sudah memiliki aturan sistem kehidupan yang lengkap, termasuk terkait bagaimana membentuk masyarakat menjadi individu-individu yang peduli, saling menghormati dan mempunyai empati yang besar terhadap sesamanya. Allah berfirman,
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan. Dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya siksa Allah sangat berat.” (QS. Al-Maidah: 2)
Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan kalimat perintah “tolong menolonglah” yang maknanya menunjukkan wajibnya umat muslim mempunyai sikap saling peduli terhadap sesamanya.
Selain itu, dalam surat Ali-Imran ayat 104, Allah juga berfirman agar umat muslim menjadi penyampai nasihat kepada muslim yang lainnya, menjadi penyeru kepada perkara yang makruf dan pencegah dari perbuatan munkar. Dengan demikian, jelas di dalam Islam tak ada istilah apatis dan sikap tak peduli dengan urusan orang lain.
Islam juga memerintahkan muslim untuk bersikap baik kepada tetangganya dan memenuhi hak-haknya. Hak-hak tersebut meliputi menerima nasihat, menolong dan meringankan penderitaannya, menjenguk ketika sakit dan mendoakan kesembuhan baginya, serta mendapatkan perlakuan baik.
Semua hal tersebut akan efektif dilaksanakan saat negara turut ambil bagian dalam penerapannya. Hal ini dikarenakan hanya negara-lah yang mempunyai otoritas dan alat untuk memaksa dan mengatur warga negaranya. Maka, apa yang kita butuhkan saat ini tak lain adalah adanya negara yang mampu menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan secara kafah.
Negara inilah yang nantinya akan menjamin persatuan serta mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Bukankah kita telah merindukan hidup dalam negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur?
Wallahualam bissawab. [SJ]