Artificial Inteligence (AI) Meniadakan Agama?
TsaqafahIslam itu tidak anti sama sekali dengan teknologi
Muslim sama sekali tidak menolak teknologi apa pun. Bahkan ketika teknologi itu hadir, harusnya seorang muslim adalah orang pertama yang memanfaatkan teknologi dan sains itu untuk kebaikan
_____________________________________________
Bersama Ustaz Felix Siauw
KUNTUMCAHAYA.com, TSAQAFAH - Human is still human. Itulah ungkapan Ustaz Felix Siauw ketika menjelaskan pandangan Islam tentang AI (artificial intelegence) dalam channel youtube miliknya (08/04/2023).
"Teknologi berkembang sangat pesat. Dulu sekitar tahun 2008, ketika pergi ke suatu tempat harus membawa kompas untuk menentukan arah salat. Lalu saat mencari alamat, bertanya kepada orang agar sampai di tempat tujuan. Tapi kini berbeda, dengan adanya teknologi sudah ada Google Maps. Tak terlalu ribet saat mencari alamat," ungkap Ustaz.
Ustaz menjelaskan, pembahasan teknologi bukan sekarang saja, tetapi sudah dari zaman dulu. Ketika orang-orang Barat merasa bahwa agama mereka itu menghambat teknologi dan kemajuan. Bahkan mereka katakan "The Dark Age" bahwasanya masa-masa keimanan itu adalah masa-masa kegelapan. Karena agama seolah-olah menghalangi orang-orang untuk mengetahui tentang sains dan teknologi.
Mereka berpendapat bahwa sains dan agama tidak bisa dipadukan. Hal itu dikarenakan, pada zaman dulu ketika gereja masih menjadi sekutu dengan para tuan tanah. Para tuan tanah mendapat legitimasi dari gereja untuk mengatur rakyatnya sesuai keinginan mereka. Karena perintah Raja adalah perintah Tuhan. Akhirnya kaum pekerja merasa dizalimi karena kadang-kadang mereka tidak mendapatkan upah, merasa tidak dihargai sebagai manusia, dan masih banyak kezaliman yang lainnya.
Sementara itu kaum pekerja, para cendekiawan, para saintis, para ahli teknologi berada di blok yang lain. Mereka berpendapat bahwa jika agama masih mendominasi kehidupan, maka tidak akan tercapai pencerahan. Karena menurut mereka yang bisa mengubah peradaban menjadi gemilang adalah teknologi. Teknologi dan agama tidak bisa dipadukan.
"Akhirnya muncul peristiwa Renaissance yaitu abad pencerahan atau revolusi. Sehingga pada saat itu agama dipisahkan dari kehidupan. Karena orang-orang sains merasa ketika negara diatur oleh agama dan agama dijadikan legitimasi bagi raja, maka kerajaan ini membuat sains tidak berkembang dan membuat kehidupan menjadi terbelakang. Inilah awal mula adanya sekularisme yang kita rasakan sampai saat ini," jelasnya.
"Jadi jelas, kalau sekularisme bukan berasal dari Islam," tegasnya.
Ustaz menceritakan, muncullah anggapan di kalangan orang-orang Barat, ketika teknologi sudah berkembang, maka peran Tuhan sudah tidak diperlukan lagi. Misal, ketika hujan maka yang dilakukan muslim adalah salat istisqa. Kalau kepercayaan lain mungkin melakukan ritual-ritual tertentu. Setelah ada teknologi, maka tinggal membuat hujan buatan.
Saat sakit, berdoa kepada Tuhan agar disembuhkan. Sekarang ilmu kedokteran sudah berkembang. Jadi, apa pun penyakitnya, dokter bisa menyembuhkan. Jadi seolah-olah peran Tuhan dan agama sudah tidak diperlukan lagi.
"Padahal, jika kita amati sehebat apa pun peradaban dan teknologi yang dibuat manusia, human is still human. Bahwa manusia tetaplah manusia. Seorang manusia dari zaman primitif sampai peradaban sekarang, masih tetap memerlukan makan, tetap perlu buang air," ucapnya.
Ustaz menambahkan, yang berubah dari perkembangan teknologi hanyalah perbedaan wasilah saja. Dulu orang-orang jalan kaki, lalu punya kuda, memakai kereta, kemudian punya kendaraan bermotor. Di bidang komunikasi, dulu untuk berkomunikasi menggunakan surat. Sekarang sudah bisa menggunakan handphone.
Kesimpulannya, manusia dari zaman dulu sampai sekarang sama aktivitas dan kebutuhannya. Yang membedakan hanya wasilahnya saja, caranya saja. Yang jelas tetap manusia itu-itu saja. Artinya kemajuan teknologi itu tidak mengubah keperluan manusia, tidak mengubah keinginan manusia. Hanya saja membuatnya jauh lebih mudah atau membuatnya punya alternatif.
Agama itu long lasting, sedangkan teknologi apa pun itu hanya sebagai perantara untuk memudahkan aktivitas manusia. Agama adalah solusi bagi manusia. Misalnya, pisau bisa kita gunakan untuk memotong sayuran. Berbeda halnya ketika pisau digunakan untuk membunuh manusia.
Maka dari itu, penggunaan teknologi harus sesuai dengan aturan Islam. Agar mendatangkan maslahat bagi kita. Jika digunakan bertentangan dengan aturan Islam, maka akan mendatangkan mudarat.
"Adapun dengan adanya teknologi AI, kita dapat memanfaatkannya untuk berdakwah. Misalnya, membuat skrip menggunakan AI. Tapi tetap yang nentuin skripnya saya. Penggunaan AI ada di dalam kendali kita. Gunakan teknologi ini untuk menambah amal kebaikan bagi kita," bebernya.
"Islam itu tidak anti sama sekali dengan teknologi. Muslim sama sekali tidak menolak teknologi apa pun. Bahkan ketika teknologi itu hadir, harusnya seorang muslim adalah orang pertama yang memanfaatkan teknologi dan sains itu untuk kebaikan. Karena tidak ada pertentangan antara sains dan teknologi dengan agama di dalam Islam," tambahnya.
"Tidak seperti orang-orang Barat yang sudah saya ceritakan tadi. Ketika mereka punya sebuah pengalaman buruk terhadap agama, maka mereka tidak mau untuk bergaul lagi dengan agama, karena mereka khawatir keberadaan agama itu akan menyebabkan keterbelakangan," pungkasnya. [Siska]