Pemberdayaan Perempuan di Tengah Resesi Ekonomi, Solusi atau Ilusi?
Opini
Peran perempuan sebagai ummun wa rabbatu bait atau pendidik generasi dan manajer rumah tangga adalah peran yang sangat vital. Karena baik buruknya generasi tergatung pada pola pendidikan dan pengasuhan seorang ibu
Syariat Islam menempatkan perempuan dalam kedudukan yang mulia
_________________________
Penulis Ayu Kumalasari
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Mahasiswa
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Resesi ekonomi tengah menjadi ancaman dunia. Hal ini terjadi bahkan sebelum pandemi Covid-19, pada akhir 2019. Kondisi akibat resesi ekonomi global yang muncul bersamaan dengan stagflasi akibat pandemi covid-19, ditambah perang Rusia-Ukraina memperparah kondisi perekonomian dunia. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (PPPA) menyatakan bahwa perempuan rentan terdampak secara ekonomi pada masa pandemi Covid-19 karena perempuan banyak bekerja di sektor yang paling terpengaruh oleh pandemi Covid-19, seperti retail dan industri makanan.
Kondisi ini telah menyebabkan hilangnya pendapatan perempuan secara global. Pada tahun 2021 PBB juga melaporkan meningkatnya jumlah kekerasan dalam rumah tangga selama pandemi Covid-19. Kondisi tersebut telah membuat W20 2021 merekomendasikan agenda pemulihan ekonomi global harus memperhatikan dampak pandemi yang tidak proporsional pada perempuan.
Solusi ala kapitalisme
Kementrian PPPA dalam ‘Statistik Gender Tematik, Potret Ketimpangan Gender dalam Ekonomi’ menyatakan, bahwa keterlibatan perempuan dalam ranah ekonomi merupakan ‘kunci dari pertumbuhan ekonomi’. Ketika semakin banyak perempuan yang bekerja, maka ekonomi akan semakin tumbuh. Solusi dari krisis ekonomi yang makin digencarkan oleh kapitalisme adalah dengan memberdayakan perempuan secara ekonomi.
Salah satunya dengan menjadikannya pembahasan dalam Forum G20. Ketua Umum Panitia Nasional Ministerial Conference on Women’s Empowerment (MCWE) G20 2022 mengatakan, pertemuan G20 mengangkat tema pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi yang merupakan titik awal dalam mengatasi berbagai permasalahan terkait perempuan dan anak. Contoh dari program pemberdayaan ekonomi perempuan ini adalah melalui industri rumahan dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sebagaimana yang tertera dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Indonesia nomor 2 tahun 2016 tentang Pedoman Umum Pembangunan Industri Rumahan Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga Melalui Pemberdayaan Perempuan.
Ilusi gagasan pemberdayaan ekonomi perempuan
Setidaknya terdapat empat ilusi dari gagasan pemberdayaan ekonomi perempuan ala kapitalisme. Pertama, sekulerisme. Sekulerisme menjadi jalan tol terjadinya kapitalisasi. Pemikiran memisahkan kehidupan dengan agama membuat wanita lebih mudah mengambil paham-paham sekulerisme ini. Misalnya, pemikiran bahwa pemberdayaan perempuan mampu memulihkan kondisi perekonomian. Dampaknya perempuan terjun ke sektor ekonomi dengan tujuan berperan sebagai pembangkit perekonomian tetapi, mengambil alih peran Negara yang seharusya menjadi penjamin kesejahteraan.
Begitu juga dengan orientasi kesuksesan ala kapitalisme yang diukur dengan materi. Sehingga standar kesuksesan perempua berubah menjadi, perempuan yang dipandang dari segi kemandirian ekonomi dan karier kerjanya. Bukan lagi kesuksesan menjadi pencetak generasi peradaban masa depan. Walhasil, dampaknya banyak terjadi kasus kerusakan generasi karena hilangnya peran ibu dari sosok perempuan.
Kedua, eksploitasi perempuan. Pemberdayaan ekonomi perempuan yang digadang-gadang sebagai solusi dari resesi ekonomi ternyata merupakan bentuk eksploitasi perempuan. Beban berat yang diterima oleh perempuan hari ini adalah cerminan nyata dari gagalnya kapitalisme dalam memberikan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan. Kondisi ini, memcerminkan fakta bahwa peradaban sekuler kapitalistik memberi ruang hidup yang buruk bagi perempuan. Pasalnya, alih-alih mengantarkan perempuan pada kesejahteraan kaumnya, nyatannya memberikan persoalan baru. Seperti, upah yang minimum, buruknya kondisi tempat kerja, kekerasan di dunia kerja, dan perlakuan buruk yang diterima oleh pekerja hamil dan menyusui.
Hal ini, tidak lepas dari hilangnya peran Negara. Negara lepas tangan dalam menjaga kemuliaan, kehormatan dan menjamin kesejahteraan perempuan. Peradaban sekuler kapitalistik telah menggerus peran laki-laki. Laki-laki dalam peradaban sekuler kapitalistik pada akhirnya menjadi sosok yang memosisikan perempuan sebagai rival, sehingga kehilangan penghormatan dan penghargaan terhadap sosok perempuan.
Perempuan dalam peradaban sekuler kapitalistik terbentuk menjadi perempuan yang tidak paham hak-haknya sehingga tuntutannya sering salah arah. Feminisme dan kesetaraan gender telah menipu banyak perempuan sehingga menghilangkan peran keibuan, juga membuat bangsa-bangsa kehilangan generasi peradaban masa depan yang kuat. Perempuan mengorbankan peran keibuan dan waktu berharganya dengan keyakinan bahwa program ini akan meningkatkan status mereka. Ironisnya, semua itu tidak mampu terealisasi meski dalam aspek ekonomi.
Penting untuk memahami bahwa dorongan negara-negara memberdayakan perempuan dalam ekonomi tidaklah tulus dalam rangka meningkatkan kualitas hidup para perempuan dan keluarga mereka. Tujuan yang sebenarnya, yang berasal dari Pemerintah Kapitalis Barat, adalah dalam rangka mengamankan keuntungan ekonomi bagi negara. Agenda ini bertujuan meningkatkan tingkat kerja kaum perempuan demi kepentingan keuangan. Salah satunya bisa kita perhatikan dari kalimat Hilary Clinton dalam sebuah konferensi di Peru, dia mengatakan, “Pembatasan partisipasi ekonomi perempuan membuat kita kehilangan banyak sekali pertumbuhan ekonomi dan pendapatan di setiap wilayah di dunia. Di Asia Pasifik, lebih dari $40 miliar dari PDB yang hilang setiap tahun”.
Ketiga, propaganda ide gender. Upaya pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi tak lepas dari ide kesetaraan gender yang diusung oleh kapitalis-feminis. Feminisme berpandangan bahwa pembatasan peran perempuan hanya dalam sektor domestik adalah bentuk penindasan. Sehingga perempuan harus terlibat dalam sektor publik agar mampu berdaya saing dan setara dengan laki-laki. Hal ini merupakan hasil dari kebebasan berekspresi (liberalisme) yang dipadukan dengan kehidupan yang berorientasi materi ala kapitalis. Sehingga, feminisme berpendapat bahwa ketidaksejahteraan dan penindasan terhadap perempuan adalah akibat dari perempuan yang tidak mandiri secara ekonomi.
Tuntutan kesetaraan gender ini akan semakin menempatkan perempuan dalam situasi sulit karena perempuan dihadapkan pada pilihan, antara peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dengan peran ekonomi sebagai tenaga kerja dan politik, yakni menjadi pemimpin di pemerintahan. Perdebatan ini akan membuat perempuan menderita dan fisiknya lelah sehingga perempuan tertindas.
Dari sini muncul ide-ide sesat feminisme, salah satunya adalah kebebasan hak reproduksi. Yang paling menonjol dari hak reproduksi perempuan adalah adanya hak memutuskan memiliki anak atau tidak. Hal ini sejalan dengan faktor keberhasilan bonus demografi dalam kacamata Kapitalisme, yaitu tingkat kelahiran harus dikendalikan. Kaitannya dengan hal ini adalah Negara-negara barat berusaha mengurangi populasi dunia (depopulasi). Setelah terjadi ledakan demografi, dengan mengadopsi teori Malthus. Malthus menyatakan bahwa penduduk akan bertambah lebih cepat dari pertambahan bahan makanan (sumber daya) sehingga akan menyebabkan kelangkaan. Maka, proyek depopulasi ini harus dilakukan Negara-negara kapitalisme barat, meski, hal ini bertentangan dengan fitrah manusia.
Keempat, kebebasan kepemilikan. Dalam sistem kapitalisme, terdapat konsep kebebasan kepemilikan yang membiarkan individu masyarakat menguasai sumber daya alam strategis, seperti pertambangan yang seharusnya dikelola oleh Negara untuk kesejahteraan rakyat. Yang terjadi hari ini, justru SDA yang berpengaruh terhadap pemenuhan hajat hidup orang banyak malah dikuasai oleh segelintir individu saja (swasta) dan dijual kepada asing.
Pemberdayaan perempuan yang mendorong perempuan ke ranah publik untuk berpartisipasi ekonomi dan politik hanya akan mengukuhkan kapitalisme neoliberal dengan menyediakan limpahan tenaga kerja, terwujudnya pasar, dan menguatkan nilai-nilai kebebasan yang diinginkan oleh demokrasi liberal. Menguatnya demokrasi liberal akan melapangkan jalan lahirnya kebijakan prokapitalis atau pemilk modal.
Di sisi lain, dalam sistem kapitalisme, kemiskinan adalah sesuatu yang relatif tergantung standar ukurannya. Jika menggunakan standar BPS yaitu Rp535.547 per kapita per bulan, maka pada Maret 2023 jumlah orang miskin di Indonesia berjumlah 25,9 juta orag, atau 9,36% penduduk. Sedangkan dengan standar garis kemiskinan ekstrim menurut Bank Dunia, yaitu US$2,15 atau setara Rp967.960 per kapita per bulan, maka jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 40%, atau sebanyak 111,47 juta penduduk Indonesia terkategori miskin ekstrim. Tentu ini merupakan angka yang sangat besar.
Di tengah ancaman kemiskinan, krisis ekonomi dan ancaman resesi global, faktanya tidak semua manusia terdampak oleh krisis ini. Mirisnya, populasi Ultra-high Net Worth Individual (UHNWI) atau individu bepenghasilan sangat tinggi mengalami peningkatan lebih dari 50% selama periode 2018-2022. Berdasarkan laporan soal kesenjangan sosial yang dirilis lembaga Oxfam, sekitar 1% populasi dunia yang menjadi orang terkaya di dunia hartanya bertambah dua kali lipat. Dalam dua tahun hingga Desember 2021, kekayaan 1% tersebut melonjak hampir dua pertiga (63%) dari total kekayaan dunia. Sebagaimana data dari BPS yang mencatat tigkat ketimpangan pada Maret 2023 mencapai 0,388 dan angka ini selalu meningkat setiap tahunnya.
Dari data tersebut, nampak nyata jurang kesenjangan antara si kaya atau kapitalis (para pemilik modal) dan si miskin. Istilah “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” seolah menjadi rumus paten dalam penerapan sistem kapitalisme. Sebagai contoh, masyarakat miskin adalah kelompok yang paling terdampak dari kenaikan harga barang. Karena mereka kehilangan kemampuan dalam membeli kebutuhan pokok, seperti makanan dan pakaian. Kenaikan harga barang juga menghilangkan kemampuan masyarakat miskin untuk menabung, membayar layanan kesehatan, dan lain-lain. Sehingga mau tak mau perempuan pun harus diikut sertakan dalam upaya mengatasi kemiskinan, dalam lingkup terkecil adalah keluarganya.
Islam memuliakan perempuan
Peran perempuan sebagai ummun wa rabbatu bait atau pendidik generasi dan manajer rumah tangga adalah peran yang sangat vital. Karena baik buruknya generasi tergatung pada pola pendidikan dan pengasuhan seorang ibu. Sehingga syariat Islam menempatkan perempuan dalam kedudukan yang mulia. Seperangkat peraturan yang mengikat mereka sejatinya untuk melindungi kemuliaan mereka sebagai pencetak generasi cemerlang. Perempuan dijaga kehormatannya dengan mengoptimalkan peran perempuan di ranah publik untuk kemaslahatan umat, yaitu aktivitas amar ma’ruf nahii munkar dan membina umat dengan tsaqofah Islam.
Bekerja bagi perempuan hukumnya mubah. Karena dalam islam, kewajiban nafkah dibebankan kepada laki-laki, sehingga perempuan dapat fokus pada peran mulianya sebagai pencetak peradaban generasi cemerlang. Inilah pandangan Islam tentang peran perempuan. Hanya Islam yang mampu menempatkan perempuan pada kedudukan yang mulia. Dengan diterapkannya sistem Islam secara kafah, perempuan tidak akan tereksploitasi dan terbebani persoalan ekonomi semata.
Wallahualam bissawab [Dara]