Alt Title

Sistem Islam Melindungi Kepemilikan Lahan

Sistem Islam Melindungi Kepemilikan Lahan

Di tengah warga Rempang yang terzalimi, pemerintah justru seolah lepas tangan. Bahkan terkesan ada indikasi pemerintah menggunakan cara domein verklaring ('negarasiasi' lahan)

Yaitu konsep kolonialis Belanda untuk menguasai lahan milik pribumi yang tidak mempunyai bukti kepemilikan lahan

________________________________


Penulis Ummi Qyu

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Komunitas Rindu Surga



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Beberapa minggu lalu jeritan dan tangisan pilu warga Melayu di Rempang begitu menyayat hati. Betapa tidak, tanah yang mereka tinggali digusur dan harus segera dikosongkan. Mereka berteriak, berjuang melawan aparat yang terus menghalau warga sipil yang sedang mempertahankan haknya atas tanah warisan nenek moyangnya. 


Mereka meminta keadilan kepada pemerintah setempat, karena merasa sudah puluhan tahun menempati tanah tersebut. Rencananya di atas tanah tersebut akan dibangun proyek besar milik para oligarki, yaitu proyek Rempang Eco City. Selain itu akan dibangun juga industri silika dan solar panel milik perusahaan Cina. 


Mirisnya, tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga Rempang, kepemilikan tanah warisan itu sudah berpindah tangan. Bahkan pemerintah sendiri melalui aparat kepolisian memaksa warga untuk segera keluar dari kepulauan Rempang. Mereka berdalih bahwa warga Rempang tidak mempunyai hak kepemilikan dan hak pemanfaatan. Maka dari itu pemerintah mengklaim kebijakan di Rempang adalah pengosongan, bukan pengusiran.


Ditambah lagi sebuah pernyataan yang menohok dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Hadi Tjahjanto, kepada warga Rempang, bahwasanya mereka tidak memiliki sertifikat lahan. Maka dengan alasan itulah di tahun 2001 pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelola Lahan (HPL) untuk perusahaan swasta. Lalu HPL tersebut kemudian berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha.


Sungguh miris, di tengah warga Rempang yang terzalimi, pemerintah justru seolah lepas tangan. Bahkan terkesan ada indikasi pemerintah menggunakan cara domein verklaring ('negarasiasi' lahan). Yaitu konsep kolonialis Belanda untuk menguasai lahan milik pribumi yang tidak mempunyai bukti kepemilikan lahan. Kekhawatiran ini telah disampaikan pada sejumlah pihak termasuk Komnas HAM saat mengkritisi RUU Pertanahan pada tahun 2019.


Dengan adanya UU Cipta Kerja juga banyak pihak yang mengkhawatirkan warga yang akan mudah kehilangan hak kepemilikan lahan. Salah satu poin UU Cipta Kerja (Pasal 103 Ayat 2): "Untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, lahan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan". Belum lagi warga terancam oleh penggandaan sertifikat kepemilikan lahan, yang ironinya pelaku kejahatan penggandaan sertifikat tanah ini justru mafia tanah dengan melibatkan oknum pejabat Badan Pertanahan Negara.


Walhi juga menyebutkan, sudah 94,8% lahan di tanah air kita sekarang ini dikuasai oleh para pengusaha daripada rakyat biasa. Pun dengan penguasa, atas nama investasi dan kecenderungannya pada korporasi, mereka menyetujui dalam rangka membantu melancarkan proyek-proyek besar yang berimbas pada keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. 


Itulah gambaran penguasa ynag menjalankan roda pemerintahan dengan sistem kapitalisme sekuler. Sistem yang mengedepankan materi dan keuntungan lagi minim hati nurani. Alih-alih melindungi rakyatnya, ini malah merugikan bahkan tidak segan berlaku zalim. Asasnya yang sekuler juga telah nyata memisahkan agama dari urusan kehidupan, sehingga tampak dalam kebijakannya yang mengesampingkan aturan agama, termasuk dalam urusan kepemilikan lahan.


Kondisi di atas sangat berbeda dengan Islam. Dalam Islam, perlakuan penguasa merampas lahan tanpa alasan syar'i jelas perbuatan ghasab (memanfaatkan/menggunakan harta atau barang milik orang lain) dan zalim. Allah Swt. telah mengharamkan memakan harta yang diperoleh secara batil, termasuk dengan cara menyuap penguasa, demi kesempatan dan kelancaran proyek untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya. Rasulullah saw. mengingatkan kepada kita, bahwa Allah Swt. menunda balasan bagi para pelaku kezaliman. Namun, ketika Allah Swt. menurunkan siksa-Nya, tidak ada yang dapat lolos dari azab itu.


Selain itu, Islam juga sangatlah detail dan terperinci dalam melindungi lahan milik warga. Islam mengatur skema kepemilikan lahan secara adil. Masyarakat bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan. Negara dengan sistem Islam juga bisa menetapkan pembagian tanah kepada masyarakat secara cuma-cuma.


Salah satu contoh, kala itu Rasulullah saw. pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah. Baginda Rasul saw. juga pernah memberikan suatu lembah secara keseluruhan kepada Bilal bin al-Harits al-Mazani.


Syariat Islam juga memperbolehkan warga untuk memiliki lahan dengan cara menghidupkan/mengelola tanah mati, yaitu tanah yang tidak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Bisa dengan cara ditanami misalnya, atau didirikan bangunan di atasnya, bahkan hanya sekadar dipagari, maka otomatis lahan itu akan menjadi miliknya. Rasulullah saw. bersabda: 


"Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya." (HR. ath-Thabrani)


Meskipun demikian, syariat Islam tetap mengingatkan kepada para pemilik lahan untuk tidak menelantarkannya agar tidak diambil paksa oleh negara dan diserahkan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan. Sedangkan pemilik lahan hanya boleh menguasai luas lahan sesuai kesanggupannya untuk ia kelola. Ketetapan itu berdasarkan ijmak sahabat pada masa Khalifah Umar bin al-Khathab r.a.. Imam Abu Yusuf dalam Kitab Al-Kharâj  mencantumkan perkataan khalifah Umar r.a.: "Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah 3 tahun (ditelantarkan)," (Abu Yusuf, Al-Kharaj, 1/77, Maktabah Syamilah)


Kejelasan hukum seperti inilah yang akan memberikan keadilan bagi para pemilik lahan walau tidak bersertifikat. Oleh karenanya, kita dapat meyakini bahwasanya perkara perampasan lahan tidak akan pernah usai, selama tidak dikelola oleh aturan Islam. Hanya aturan Islam-lah satu-satunya yang dapat menjaga dan melindungi warga dari tanah miliknya. Karena aturan Islam yang menyeluruh diturunkan untuk rahmat bagi seluruh alam. Wallahualam bissawab. [SJ]