Wakil Rakyat dalam Demokrasi vs Wakil Rakyat dalam Sistem Islam
OpiniMahalnya biaya kampanye membuat apapun bisa dilakukan untuk tercapainya perolehan suara. Padahal wakil rakyat adalah cermin daripada umat. Merekalah representatif umat, yang akan menyampaikan suara kepentingan umat
Namun hal itu, sesuatu yang mustahil dalam sistem kapitalisme demokrasi. Sebab, dalam sistem ini siapa pun akhirnya bisa menjadi penguasa atau wakil rakyat manakala mereka memiliki modal atau uang
____________________________________
Penulis Verawati S.Pd.
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Menjelang pemilihan umum 2024, masyarakat sudah banyak di sodorkan dengan berbagai foto-foto calon legislatif. Di setiap sudut jalan sudah banyak baliho yang dipasang dengan slogan yang mereka usung. Amanah dan peduli, anti korupsi adalah slogan yang banyak dipakai untuk mendapatkan hati rakyat. Namun, tak disangka banyak dari mereka yang ternyata mantan terpidana korupsi dan ada yang pelaku maksiat lainnya.
Dilansir media Republika[dot]co[dot]id, (28/08/2023), bahwa pihak Indonesian Corruption Watch menemukan setidaknya ada 24 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara Bakal Calon Legislatif yang diumumkan KPU pada 19 Agustus 2023 lalu. Mereka berasal dari berbagai partai politik.
Hal ini membuat miris, seolah-olah tidak ada orang baik yang bisa jadi wakil rakyat. Seharusnya orang yang akan menjadi wakil rakyat adalah mereka yang memiliki sifat-sifat yang baik. Seperti amanah, adil, bertakwa dan bersih dari kemaksiatan. Jika tidak, bahaya atau kemudharatan akan dirasakan oleh rakyat sediri juga negara.
Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) menilai pengusungan koruptor menjadi Caleg menandakan buruknya mekanisme demokrasi di internal parpol. JPPR khawatir fenomena pencalonan koruptor ini merupakan hasil praktik mahar politik, yakni si koruptor membayar sejumlah uang kepada pengurus parpol agar mendapat tiket masuk daftar calon legislatif.
Hal semacam ini sangat mungkin terjadi, mengingat untuk mengikuti pemilihan ini membutuhkan uang yang tidak sedikit. Menurut LPM FE UI, modal untuk menjadi calon legislatif bervariatif. Untuk calon DPR RI Rp1,15 miliar-Rp4,6 miliar. Calon anggota DPRD Provinsi Rp250 juta-Rp 500juta (cnbcindonesia[dot]com, 24/08/2023). Biaya termahal adalah di jakarta hingga puluhan miliar. Dana yang bikin syok
Mahalnya biaya kampanye membuat apapun bisa dilakukan untuk tercapainya perolehan suara. Padahal wakil rakyat adalah cermin daripada umat. Merekalah representatif umat, yang akan menyampaikan suara kepentingan umat. Namun hal itu, sesuatu yang mustahil dalam sistem kapitalisme demokrasi. Sebab, dalam sistem ini siapa pun akhirnya bisa menjadi penguasa atau wakil rakyat manakala mereka memiliki modal atau uang.
Tak heran ketika mereka sudah mendapat jabatan mereka lupa janji dan amanah. Mereka justru mencari keuntungan sendiri dengan merugikan rakyat dan negara. Salah satunya adalah korupsi. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan modal awal saat mencalonkan diri.
Begitulah sistem demokrasi kapitalisme. Semuanya dilakukan demi mendapatkan cuan semata. Lagi dan lagi rakyat yang dikorbankan. Bahaya besar akan menimpa rakyat. Sebab mereka yang menjabat negara adalah orang-orang yang bisa jadi melegalkan kerusakan dan kebobrokan yang terjadi. Mau sampai kapan?
Berbeda dengan wakil rakyat atau umat dalam sistem negara Islam. Dalam sistem Islam kedudukan wakil rakyat atau tepatnya disebut majelis umat adalah wakil rakyat untuk menyampaikan aspirasi kepada penguasa Islam. Mereka adalah representatif dari umat yang tugasnya adalah melakukan muhasabah atau mengoreksi terhadap kebijakan penguasa. Mereka dipilih bukan karena besarnya dana yang mereka miliki. Akan tetapi mereka dipilih oleh umat karena memiliki kapasitas dan sifat-sifat baik. Tidak boleh ada politik uang dalam sistem islam.
Sebab, akad mereka adalah akad wakalah atau perwakilan. Dengan kata lain, jika kita ingin mewakilkan suatu urusan pastinya kita akan memilih orang yang paling baik. Orang fasik dan pernah bermaksiat tentu tidak akan dipilih. Majelis umat ini nanti bisa dijadikan rujukan oleh Penguasa Islam dalam hal kebijakan yang akan diambil. Hanya saja masukan mereka tidak semua mengikat. Kebijakan utama tetap berada ditangan penguasa Islam.
Demikian, wakil rakyat dalam sistem Islam. Mereka bertugas karena ingin menegakkan keadilan. Sebab, ketika terjadi kezaliman maka akan timbul kerusakan. Sungguh Allah Swt. Yang Maha Pencipta, telah memberikan aturan hidup yang luar biasa bagusnya. Sistem ini menjamin kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Walllahualam bissawab. [Dara]