Hidup Sekarat Mati Terlantar, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Opini
Inilah buah dari diterapkannya sistem kapitalisme sekular, negara hanya berperan sebagai regulator, sementara pengurusan hidup bahkan matinya sebagian masyarakat terabaikan
Rakyat dibiarkan berjuang sendiri dengan prinsip survival of the fittest. Siapa yang kuat, ia yang bertahan. Akibatnya, kemiskinan dan penderitaan makin merusak, sampai-sampai setelah menjadi mayat saja masih terlantar
_________________________
Penulis Oom Rohmawati
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member Akademi Menulis Kreatif
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Hati senang walaupun tak punya uang. Sepertinya petikan lirik lagu tersebut tidak sinkron dengan apa yang terjadi di zaman sekarang. Karena jika tidak memiliki uang akan berhadapan dengan banyak kesulitan. Seperti nasib buruk yang menimpa dua jenazah yang tidak memiliki keluarga terpaksa belum dikebumikan karena terbentur dengan biaya dari yayasan yang mengurusnya. Keduanya masih tertahan di musala jalan Kiastramanggala No. 9, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung.
Menurut pengurus rumah singgah Baraya Ojol Bandung Selatan (BOBS) Peduli, Hary Kurniawan Hamidjaja, bahwa dirinya telah mencari informasi ke beberapa wilayah terkait pemakaman tersebut, dan hasilnya total biaya mencapai Rp3 juta. Ia pun telah menyebarkan ke grup-grup WhatsApp dan media sosial lainnya guna mendapatkan bantuan dana, karena keuangan yayasan sudah habis digunakan untuk mengurusi jenazah orang terlantar dan orang gangguan jiwa lainnya yang berjumlah 22 orang. Sedangkan untuk kedua mayat ini baru terkumpul uang Rp800 ribu. (detikJabar, Jumat 29/9/2023)
Kejadian di atas sungguh mengenaskan. Jenazah yang seharusnya bersegera dimakamkan, terganjal oleh tidak adanya biaya. Padahal mengurus jenazah, mulai memandikan sampai menguburkan merupakan fardu kifayah. Artinya jika belum sempurna pengurusannya, yaitu sampai dimakamkan atau dikuburkan semua kaum muslimin terkena dosa.
Ketika jenazah tidak memiliki keluarga atau kaum kerabat, mengapa kewajibannya beralih kepada yayasan? Tidak adakah para pengurus daerah yang memberi perhatian? Sehingga yayasan harus berjibaku mengumpulkan biaya pemakaman.
Kewajiban mengurus jenazah adalah kewajiban yang hidup. Bila tidak ada keluarganya, beralih kepada saudaranya atau tetangga terdekat. Bila mereka tidak mampu maka sudah selayaknya menjadi kewajiban negara melalui pemimpin daerah.
Inilah buah dari diterapkannya sistem kapitalisme sekular, negara hanya berperan sebagai regulator, sementara pengurusan hidup bahkan matinya sebagian masyarakat terabaikan. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri dengan prinsip survival of the fittest. Siapa yang kuat, ia yang bertahan. Akibatnya, kemiskinan dan penderitaan makin merusak, sampai-sampai setelah menjadi mayat saja masih terlantar.
Kapitalisme menciptakan kesenjangan yang luar biasa, yang kaya semakin kaya, yang miskin tambah miskin. Kapitalisme yang mengagung-agungkan materi, telah menjadikan semua pengurusan jenazah harus berbayar. Biaya pemakaman bisa menghabiskan sampai jutaan, padahal yang namanya orang miskin bisa jadi hari ini makan, besok belum tentu bisa makan. Jangankan memikirkan biaya pengurusan untuk kematiannya, bagi kehidupannya sendiri sangat kesulitan.
Kapitalisme yang memandang segala sesuatu berdasarkan materi atau keuntungan, telah menjadikan lahan pemakaman sebagai ladang bisnis. Mulai dari harga yang biasa-biasa saja sampai yang berharga wah, hanya untuk sebuah pemakaman. Akhirnya uang menjadi berkuasa. Ada uang segala urusan lancar, tidak ada uang dibiarkan terlantar.
Mirisnya, di tengah berbagai himpitan hidup yang dirasakan masyarakat, sejumlah proyek raksasa seperti pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) dan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) masih berjalan. Yang tentunya memakan dana yang tidak sedikit. Harapan ingin menyelesaikan masalah kemiskinan pun bak panggang jauh dari api, semakin sulit diwujudkan.
Kepengurusan dalam sistem kapitalisme berbeda dengan Islam. Karena dalam Islam peran negara-lah yang wajib memberi jaminan kebutuhan hidup dan kepengurusan untuk warganya. Kewajiban mengurus umat telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dengan harta yang diperoleh negara pada saat itu. Beliau memberikan jaminan hidup untuk ahlus-suffah yang tinggal di Masjid Nabawi. Juga menjadikan dirinya sebagai penjamin bagi seorang mukmin yang meninggal, sementara ia memiliki utang atau tanggungan keluarga.
Syariat ini diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin Semisal Khalifah Umar bin Al-Khattab ra. yang pernah membangun dar ad-daqîq sebagai rumah singgah untuk para musafir. Di sana mereka boleh makan dan beristirahat. Khalifah juga menyediakan fasilitas pendidikan intensif dan memberikan pengajarnya dengan gaji yang layak.
Begitu pula pada masa kepemimpinan Bani Umayah yang pernah mendirikan rumah sakit khusus kusta, panti jompo, dan rumah-rumah untuk orang-orang yang tersesat. Mereka pun melakukan pelunasan utang warga yang dililit utang, melakukan pembebasan tawanan muslim, serta subsidi nikah. Pada periode 120-126 H, Kekhalifahan Umayyah menganggarkan dana sebanyak 10 ribu dirham untuk penanganan bencana dan memerdekakan budak.
Sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini, jangankan menjamin keberlangsungan hidup, sudah menjadi mayat saja masih kesulitan dan tidak juga mendapat jaminan pengurusan.
Dalam Islam justru sebaliknya, negara mengancam para penguasa yang menelantarkan kebutuhan rakyat, apalagi sampai menelantarkan mayat yang jelas pengurusan jenazah itu harus disegerakan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
"Bersegera dalam mengurus jenazah, karena jika ia baik maka engkau telah memajukan suatu kebaikan untuknya, dan jika tidak maka engkau menurunkan suatu kejelekan dari lehermu."(HR. Muttafaq Alaihi)"
Maka untuk penyempurnaan pengurusan jenazah, pemimpin dalam Islam harus menyediakan sejumlah area pemakaman tanpa berbayar. Disediakan cuma-cuma sebagai tanggungjawabnya kepada rakyat.
Setiap muslim yang beriman, tentu akan sangat rindu kepemimpinan yang menerapkan syariat Allah Swt. Karena hanya dengan diterapkannya aturan Islam di seluruh aspek kehidupan maka akan dijumpai sosok pemimpin yang adil, yang bekerja keras mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, bukan yang lain. Dengan rasa kerinduan ini, setiap individu masyarakat akan mendorong dirinya untuk berada dalam barisan yang memperjuangkannya.
Wallahualam bissawab. [GSM]