Sistem Pendidikan Hari Ini Belum Menghasilkan Peserta Didik yang Unggul
OpiniIronis, lulus sekolah, tetapi tidak memiliki kemampuan dasar. Hal ini menunjukkan memang benar ada yang salah dalam kurikulum pendidikan hari ini
Seperti yang kita ketahui, mengenyam pendidikan memang seharusnya mengantarkan seseorang pada jenjang karir yang baik dan layak
_________________________
Penulis Ledy Ummu Zaid
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Jika berbicara tentang sekolah, pasti yang terbesit di pikiran kita adalah bersekolah supaya pintar atau cerdas. Hal ini didasarkan pada sudut pandang masyarakat yang menganggap orang yang mengenyam pendidikan di bangku sekolah sudah pasti lebih pintar dibandingkan mereka yang tidak bersekolah. Apalagi soal pekerjaan, bisa dipastikan orang yang lulus dari bangku sekolah dan memiliki ijazah pasti memiliki pekerjaan yang lebih baik. Namun hari ini, siapa kira ternyata lulusan sekolah dasar sekalipun tidak menjamin mereka bisa menguasai kemampuan dasar, seperti membaca dan menulis. Ada apa dengan sistem pendidikan hari ini?
Dilansir dari laman flores[dot]tribunnews[dot]com (10/08/2023), sebanyak 21 peserta didik SMPN 11 Kota Kupang ditemukan tidak bisa membaca, menulis hingga membedakan abjad pada asessment kognitif peserta didik baru yang dilakukan pada bulan Juni 2023 lalu. Kepala Sekolah SMPN 11 Kota Kupang, Warmansyah mengatakan, "Kami mendapati masih ada anak yang tidak bisa baca, menulis, masih mengeja bahkan ada yang tidak bisa bedakan abjad”. Padahal, dalam kurikulum pendidikan terbaru, yaitu Kurikulum Merdeka yang mengusung konsep Merdeka Belajar, peserta didik seharusnya lulus kemampuan memahami bacaan maupun membedakan abjad yang mana telah diperoleh saat masih di bangku kelas 1 dan 2 sekolah dasar (SD) atau kategori fase A.
Di sisi lain, jika kita telusuri lebih dalam masalah ini, terdapat fakta yang lebih mengejutkan, yaitu berdasarkan laporan Bank Dunia, masih banyak anak di beberapa negara Asia Timur dan Pasifik yang tidak memiliki kemampuan pendidikan dasar meski mereka menempuh pendidikan di bangku SD. Adapun tingkat ketidakmampuan belajar (learning poverty), yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan anak usia 10 tahun untuk membaca dan memahami bacaan yang sesuai dengan usianya, berada di atas angka 50 persen di 14 dari 22 negara, termasuk Indonesia, Myanmar, Kamboja, Filipina, dan Republik Demokratik Rakyat Laos. Lantas mengapa masalah ini bisa terjadi secara serentak di banyak negara?
Ironis, lulus sekolah, tetapi tidak memiliki kemampuan dasar. Hal ini menunjukkan memang benar ada yang salah dalam kurikulum pendidikan hari ini. Seperti yang kita ketahui, mengenyam pendidikan memang seharusnya mengantarkan seseorang pada jenjang karir yang baik dan layak. Seorang lulusan strata satu (S1) misalnya, sudah pasti digadang-gadang dapat bekerja di perusahaan yang bonafide dengan gaji yang tinggi. Sedangkan, seorang yang hanya lulusan bangku sekolah menengah atas (SMA) mungkin hanya bisa bekerja sebagai karyawan biasa dengan jabatan yang rendah. Inilah ciri khas sistem pendidikan hari ini yang menganut asas kapitalisme, buah dari sistem sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Adapun segala sesuatu hanya dipandang dari materi saja.
Di negeri ini kita mengenal istilah Wajib Belajar 12 tahun, bahkan yang terbaru sudah di-upgrade menjadi Wajib Belajar 13 tahun pada 2022 lalu. Namun pertanyaannya, program pendidikan dasar gratis yang disiapkan pemerintah tersebut apakah lemah dalam mencapai target pendidikan? Padahal banyak yang telah mereka lakukan untuk mencapai pendidikan yang berkualitas, mulai dari merevisi kurikulum, menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, hingga terakhir yang sedang digencarkan adalah berinvestasi pada kemampuan guru. Seperti yang dilansir dari laman news[dot]republika[dot]co[dot]id (24/09/2023), investasi pada pengembangan guru merupakan kunci dari perkembangan yang luar biasa dan sebagai investasi awal di bidang pendidikan di Asia Timur. Pelatihan yang efektif diharapkan dapat meningkatkan pemahaman guru terhadap mata pelajaran yang diampu, dan juga memberikan kesempatan bagi guru untuk mempraktikkan pengetahuan baru tersebut kepada rekan-rekan sejawatnya.
Kurikulum yang jauh berbeda datang dari sistem Islam di mana kurikulum pendidikan diatur sesuai syariat untuk mencetak generasi-generasi saleh yang unggul dalam ilmu dan adab. Adapun Islam memberikan pendidikan gratis yang berkualitas dengan dasar akidah Islam. Individu akan dididik untuk mengagungkan ilmu, khususnya ilmu syariat yang tentunya wajib dikuasai.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224).
Adapun sistem pendidikan Islam akan menghasilkan individu-individu yang bertakwa dan jauh dari pelanggaran hukum syarak.
Adapun negara tentu akan mengatur segala lini kehidupan rakyatnya dengan baik dan benar sesuai syariat Islam sehingga peradaban yang indah dan damai akan hadir di tengah-tengah umat. Sistem pendidikan dan kesehatan yang gratis sudah pasti disokong oleh sistem ekonomi yang sehat dan jauh dari jeratan lingkaran ribawi yang haram. Ekonomi rakyat akan terpenuhi dengan baik yang mana sumber pendapatan negara adalah baitul mal. Rakyat pun tidak akan pusing memikirkan biaya pendidikan yang mahal. Alhasil, kurikulum pendidikan dalam Islam akan mencetak generasi berkualitas, baik siswa maupun gurunya yang mampu menyelesaikan persoalan dan menjadi agen perubahan. Tidak seperti hari ini, sistem pendidikan belum menghasilkan peserta didik yang unggul dari kemampuan dasar hingga pengetahuannya yang hanya sebatas ilmu dunia saja.
Wallahualam bissawab. [GSM]