Bencana Kelaparan di Tanah Kaya SDA, kok Bisa?
Opini
Kepemilikan umum merupakan harta yang jumlahnya tidak terbatas, seperti sumber daya alam (SDA) beraneka macam tambang emas, nikel, batu bara, minyak, gas, hutan, lautan dan sebagainya
Terhadap kepemilikan umum ini, Islam mengamanahkan kepada negara untuk mengelola secara mandiri
______________________________
Penulis Binti Masruroh
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Be ncana kelaparan kembali melanda masyarakat di wilayah Papua. Sebanyak 24 warga di distrik Amuma, Yahukimo, Papua Pegunungan dilaporkan meninggal dunia karena kelaparan akibat kehilangan sumber pangan.
Sejak tanggal 27 Oktober hingga 1 November 2023 setelah 23 orang meninggal, distrik Amuma ditetapkan statusnya tanggap darurat bencana. Selain itu, lebih dari 12 ribu warga di belasan perkampungan juga terancam cuaca ekstrem yang menyebabkan lumbung pangan kosong dan banyak taman serta ternak yang mati.
Kasus kematian akibat kelaparan di Papua tidak hanya terjadi kali ini saja, pada bulan Agustus lalu dilaporkan ada 6 orang meninggal akibat kelaparan di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. Tahun lalu di Kabupaten Lany jaya juga dilaporkan terdapat 3 orang meninggal akibat wabah kelaparan akibat kekeringan yang menyebabkan gagal panen. Pada tahun-tahun sebelumnya juga terdapat puluhan warga yang meninggal akibat kelaparan. (bbc[dot]com, 27/10/23)
Pengamat Pertanian dari Universitas Papua, Mulyati mengemukakan di antara sebab terjadinya kelaparan yang berujung pada kematian adalah sistem pertanian Papua yang tidak berkelanjutan, kesehatan masyarakat yang rapuh, hingga pembangunan Daerah Otonomi Baru (DOB).
Kasus kelaparan yang berujung kepada kematian yang berulang di bumi cendrawasih ini menunjukkan tidak berjalannya mitigasi bencana. Kasus ini juga menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjamin kesejahteraan dan pemenuhan pangan rakyatnya. Hal ini juga mengonfirmasi buruknya tata kelola dalam menjamin kebutuhan pangan rakyat.
Karena negeri ini adalah negeri yang kaya sumber daya alam (SDA) yang tersebar di berbagai wilayah dari Sabang hingga Merauke. Terlebih di dalam perut bumi Papua tersimpan SDA yang sangat berlimpah baik emas, batu bara. Dengan pengelolaan yang benar, sesuai dengan petunjuk yang menciptakan kekayaan tersebut, yakni Allah Swt. tentu kekayaan itu akan sangat mampu menyejahterakan rakyatnya.
Namun SDA di wilayah Papua sepenuhnya telah dikelola dan dirampas oleh kapitalis asing. Akibatnya hasil pengelolaan SDA tersebut mengalir ke kantong kapitalis. Penguasa cenderung abai, penguasa dalam sistem kapitalis hanya berperan sebagai regulator saja.
Akibatnya rakyat Papua sebagai pemilik kekayaan harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Alhasil, rakyat Papua yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan mengalami kelaparan hingga kematian.
Padahal data bahan pangan Nasional tahun 2022 menunjukkan Indonesia adalah negara terkaya ke 3 dengan 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan dan 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 110 jenis rempah dan bumbu, 40 jenis bahan minuman. Potensi ini seharusnya mampu mewujudkan ketahanan pangan yang kuat di negeri ini.
Namun, pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme makin mengokohkan penguasaan lahan oleh korporasi, korporasi diberi izin konsesi untuk pengelolaan lahan kepada korporasi, akibatnya terjadi ketimpangan kepemilikan lahan antara petani dan korporasi. Korporasi menguasai rantai produksi dan distribusi pangan, sehingga rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan pangan karena harganya yang kian mahal.
Untuk menjamin ketahan pangan serta swasembada pangan dan mengatasi masifnya alih fungsi lahan pertanian sebenarnya pemerintah telah memberi solusi melalui food estate, tetapi program tersebut nyatanya malah menimbulkan ancaman yang lebih parah dalam jangka waktu yang lama.
Solusi tersebut tidak menyentuh akar masalah, karena alih fungsi lahan merupakan keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Sebagai regulator, negara malah memuluskan kepentingan korporasi, tidak sebagai pengurus urusan rakyat.
Berbeda dengan sistem Islam, dalam sistem Islam penguasa hadir di tengah-tengah rakyat, mengurusi semua urusan rakyat termasuk masalah pangan dengan cara menerapkan syariat Islam secara kafah. Kemandirian dan ketahan pangan merupakan hal yang harus diwujudkan oleh negara.
Rasulullah saw. bersabda, "Imam atau khalifah adalah raa'in atau pengurus rakyat, dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Ahmad, Bukhari).
Islam membagi kekuasaan atas 3 kepemilikan. Kepemilikan individu, kepemilikan umum, kepemilikan negara. Kepemilikan individu adalah harta yang diperoleh individu karena bekerja, hibah, warisan. Individu memiliki wewenang untuk memiliki dan menggunakan kepemilikan individu.
Kepemilikan umum merupakan harta yang jumlahnya tidak terbatas, seperti sumber daya alam (SDA) beraneka macam tambang emas, nikel, batu bara, minyak, gas, hutan, lautan dan sebagainya. Terhadap kepemilikan umum ini, Islam mengamanahkan kepada negara untuk mengelola secara mandiri.
Negara diharamkan menyerahkan pengelolaan kepada individu maupun korporasi. Hasil pengelolaan harta kepemilikan umum akan dikembalikan kepada pemiliknya yakni rakyat dalam bentuk pelayanan kebutuhan dasar publik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan kepada seluruh rakyat secara cuma-cuma.
Negara tidak boleh mengalihkan peran ini kepada pihak lain apalagi korporasi. Untuk melaksanakannya, negara menerapkan syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadis. Negara menjadikan pertanian sebagai pilar ekonomi, pemerintah akan mengoptimalkan pengelolaan pertanian sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan seluruh individu rakyat.
Negara akan menerapkan teknologi yang paling unggul. Pemerintah akan membentuk pengadaan benih unggul, pupuk, sarana produksi secara cuma-cuma. Pemerintah juga melakukan pembukaan lahan pertanian dan menghidupkan tanah yang mati dan akan memberikan modal tanpa kompensasi kepada rakyat.
Dalam hal distribusi, pemerintah akan menerapkan prinsip cepat, sederhana dan merata. Negara akan menjamin semua wilayah mampu mengakses bahan pangan. Tidak ada nada ketimpangan antara daerah kaya dan miskin, serta daerah terpencil. Semua mendapatkan akses untuk jaminan kebutuhan pangan.
Untuk menjamin tersedianya pangan, pemerintah melarang praktik menimbun kebutuhan pokok, karena bisa menimbulkan kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat.
Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kafah maka kebutuhan pangan rakyat akan terpenuhi secara merata, sehingga tidak terjadi kasus kelaparan sampai menimbulkan kematian sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini. Sebaiknya, seluruh Individu rakyat akan merasakan kesejahteraan. Negara yang baldatun toyyibatun wa robbun ghofur akan menjadi nyata.
Wallahualam bissawab. [SJ]