Dalam Demokrasi, Penyalahgunaan Kekuasaan adalah Satu Keniscayaan
OpiniFaktanya yang terjadi adalah aturan yang berdasarkan akal semata tidak mencapai kebenaran yang mutlak. Akan tetapi ini justru menimbulkan perselisihan dan pertentangan di tengah-tengah kehidupan masyarakat
Suara rakyat yang digadang-gadang sebagai pemegang kedaulatan ternyata menjadi tidak berarti karena suara rakyat yang dimaksud adalah hanya suara segelintir orang yang sarat dengan kepentingan-kepentingan mereka
__________________________________
Penulis Elin Nurlina
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bukan hal yang aneh jika dalam sistem demokrasi, ambisi untuk menjadi seorang pemimpin tertinggi adalah sesuatu yang diidam-idamkan. Setiap menjelang tahun politik, figur-figur yang masih menduduki posisi pun banyak yang terobsesi untuk duduk di tampuk kekuasaan lebih tinggi lagi. Baik itu posisinya masih sebagai menteri, kepala daerah, hingga anggota DPR pun ikut serta meramaikan kontestasi pemilihan presiden 2024. Bahkan para menteri ada juga yang didapuk sebagai tim pemenangan nasional salah satu calon.
Terkait hal tersebut, keluarlah statement atas sikap para figur tersebut. Contohnya keluar dari pakar komunikasi politik Ari Junaedi berharap para menteri yang bersinggungan dengan pusaran koalisi Pilpres 2024, termasuk mereka yang menjadi Bacapres dan Bacawapres, untuk segera mundur dari jabatannya. Selain untuk hindari konflik kepentingan, tujuan lainnya adalah mencegah berdirinya posko pemenangan di kantor-kantor kementerian tempat mereka menjabat. (tribunnews, 25/10/2023)
Banyaknya figur yang masih menduduki posisi untuk ikut serta dalam kontestasi pemilu tentu tidak lepas dari adanya aturan KPU yang longgar, dimana Bacapres maupun Bacawapres yang masih berstatus sebagai menteri maupun kepala daerah tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, tetapi mereka bisa melakukan cuti pada saat kegiatan yang berhubungan dengan pemilu.
Tentu saja dari adanya aturan ini memungkinkan adanya peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan, baik untuk pribadi maupun golongan. Bahkan boleh jadi fasilitas negara dan anggaran akan dipakai untuk kepentingannya itu. Tidak cukup hanya disitu, adanya aturan tersebut berpotensi adanya pengabaian tanggung jawab tugas yang dipikulnya. Tentu ini juga berpotensi abainya terhadap hak-hak dan pengurusan rakyat, karena mereka sibuk dengan urusan terkait pemilu.
Kalau kita cermati, perkara ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan nya suatu kebijakan dan mirisnya ini dilegitimasi oleh negara, apalagi didukung oleh aturan yang hanya menguntungkan orang-orang yang berkepentingan saja. Inilah salah satu implikasi dari aturan yang dibuat oleh manusia. Makhluk yang memiliki keterbatasan, kelemahan dengan beraninya membuat aturan sekehendak hati dengan dalih bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat.
Namun faktanya yang terjadi adalah aturan yang berdasarkan akal semata tidak mencapai kebenaran yang mutlak. Akan tetapi ini justru menimbulkan perselisihan dan pertentangan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Suara rakyat yang digadang-gadang sebagai pemegang kedaulatan ternyata menjadi tidak berarti karena suara rakyat yang dimaksud adalah hanya suara segelintir orang yang sarat dengan kepentingan-kepentingan mereka.
Aturan yang dihasilkan selalu berpihak kepada mereka yang kuat secara politik maupun finansial. Artinya produk dari UU hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dimasyarakat yakni pemegang kekuasaan dan pemilik modal besar dalam dan luar negeri. Maka bukan hal yang aneh jika dalam demokrasi untuk berpartisipasi dalam kontestasi pemilu membutuhkan dana besar, tentu dalam konteks inilah politisi membutuhkan kucuran dana segar dari kelompok bisnis. Maka ketika mereka sudah duduk di tampuk kekuasaan, penguasa akan tunduk pada siapapun yang sudah bersedia menyokongnya, baik itu dari partai maupun korporasi.
Kolaborasi penguasa dan pengusaha pun kemudian menjadi pilar penting dalam sistem demokrasi. Akhirnya dominasi korporasi terhadap negara semakin menggurita, apalagi jika korporasi multinasional turut ikut bermain. Mereka akan mendikte dan mempengaruhi kebijakan sebuah negara.
Banyak yang tidak menyadari bahwa sejatinya demokrasi hanya dijadikan alat oleh barat untuk menghancurkan negeri-negeri kaum muslim. Melalui demokrasi lah penjajah melanjutkan hegemoninya, melestarikan penjajahan dan mengeruk kekayaan SDA negeri-negeri kaum muslim. George W.Bush, mantan P0residen AS pernah berkata, “Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi” (kompas, 6/11/2004).
Sungguh berbeda jika aturan yang lahir dari sistem Islam, dalam Islam kewenangan untuk melegislasi hukum tidak di tangan rakyat melainkan ada di tangan Allah. Tidak seorang pun dibenarkan menentukan nilai halal haram.
Dalam Islam, menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia merupakan kejahatan besar. Dalam Islam, kejujuran lebih diutamakan dalam proses pemilihan pemimpin, tentu tujuannya adalah untuk menghindarkan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Kesadaran akan hubungannya dengan Allah yang didukung oleh suasana keimanan yang kuat akan adanya pertanggungjawaban di akhirat kelak dapat menjaga setiap orang termasuk calon pejabat untuk senantiasa taat pada aturan Allah dan rasul-Nya. Mereka akan memutuskan perkara berdasarkan apa yang di turunkan oleh Allah bukan atas dasar hawa nafsu belaka. Tentu hal ini mereka lakukan karena takut akan beratnya hari penghisaban di hadapan Allah jika bertindak tidak adil kepada rakyatnya. Namun suasana itu hanya bisa terasa apabila syariat Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahualam bissawab. [GSM]