Gencar Kontestasi Pemilu, Ilusi Kesejahteraan Rakyat
Opini
Selain itu, Islam juga mengajarkan kepemimpinan untuk mewujudkan kepengurusan perlindungan terbaik umat dan pemenuhan kemaslahatan umat
Terbukti dalam sejarah, Islam mampu melahirkan sosok pemimpin seperti Umar Bin Khattab yang benar-benar mengurusi urusan rakyatnnya, Khalifah Harun Ar-rasyid yang terkenal dalam kesejahteraan rakyatnya dan pengembangan ilmu pengetahuan
______________________________
Penulis Irmawati
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Menjelang pelaksanaan pemilu 2024, kontestasi politik makin gencar. Setiap parpol sejatinya memiliki keinginan untuk memenangkan dengan banyaknya dukungan masyarakat dengan suara mayoritas. Bahkan tidak sedikit ada sejumlah kandidat menjadi kepercayaan masyarakat.
Sebagaimana dilansir dalam Publik Satu (05/11/2023) bahwa dalam menyongsong pemilihan kepala daerah Mubar dan Muna, memiliki salah seorang tokoh untuk wilayah Muna barat. Apalagi memiliki visi yang sangat baik ke depannya dan tokoh ini termasuk generasi yang pernah menjadi pemimpin. Sehingga, tidak akan mengecewakan.
Rakyat tentu besar harapannya memiliki pemimpin yang adil, amanah dan mengurusi kepentingan rakyat. Adapun kontestasi pemilu sejatinya telah dilakukan puluhan kali. Akan tetapi kondisi negeri menunjukkan keterpurukan. Pasalnya jargon dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dalam sistem demokrasi yang diterapkan negeri ini hanya slogan tanpa bukti semata.
Demokrasi selalu menggunakan logika kompetisi partai, dalam hal ini tingkah laku partai politik akan lebih dipengaruhi oleh kepentingannya untuk memenangkan pemilihan umum dengan cara apa pun. Yang paling mudah untuk memenangkan pemilihan umum tentu dengan politik uang (money politics). Selain itu, rekrutmen anggota partai akan diarahkan dan didasarkan pada politisi yang memiliki sumber finansial dan massa yang lebih banyak.
Dengan demikian partai politik akan melakukan investasi politik menjelang momentum pemilihan umum. Kendati demikian, pemimpin yang terpilih cenderung mempresentasikan siapa pemodal yang ada di belakangnya serta banyak penguasa atau anggota parlemen yang menang dalam pemilihan umum akan memperlancar para pengusaha yang telah membantu dengan cara membuat kebijakan ekonomi.
Semua itu dilakukan karena mengingat mahalnya biaya untuk mahar politik. Sekalipun saat ini rakyat dalam ekonomi yang rendah, kenaikan kebutuhan, meningkatnya pengangguran, stunting meningkat dan lain sebagainya. Akan tetapi, para elite tetap menonjolkannya.
Sementara itu, masyarakat hanya menjadi alat dalam tawar menawar politik. Karena itu, untuk memiliki pemimpin yang adil hanya akan menjadi utopis. Ironisnya ketika pemilu usai, yang terjadi justru melakukan koalisi dengan membagi-bagi kepemimpinan. Semestinya masyarakat perlu dipahamkan pemilu dalam sistem demokrasi hanya akan melahirkan pengabdi kursi bukan pelayan yang merasakan penderitaan mereka.
Dalam demokasi juga kekuasaan hanya dijadikan untuk eksistensi diri dan mengejar materi. Terbukti dari tahun ke tahun menunjukkan rakyat miskin makin bertambah, pengangguran makin meningkat, yang kaya makin kaya. Sehingga pemilu hanya akan berpotensi memiliki peluang melakukan korupsi.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa demokrasi telah membohongi rakyat dengan ilusi kesejahteraan yang dinarasikan. Di samping itu, alih-alih memberi kesejahteraan rakyat, justru menambah penderitaan masyarakat.
Berbeda dengan Islam. Islam sebagai agama sekaligus ideologi yang bersifat universal dengan mengatur sedemikian rupa termasuk cara berpolitik. Islam secara adil memperlakukan seluruh warga negaranya tanpa memandang warna kulit, suku dan agamanya. Politik dalam Islam berarti mengurusi urusan umat.
Penguasa akan menjadi pelindung dan pelayan untuk rakyat sesuai apa yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan Sunah. Begitu pula dengan pemilihan calon khalifah dan pejabat publik. Sebagaimana rasul bersabda: "Seorang imam (kepala negara) itu bagaikan perisai tempat kaum muslim berperang dan berlindung dibelakangnya." (HR. Muslim)
Selain itu, Islam juga mengajarkan kepemimpinan untuk mewujudkan kepengurusan perlindungan terbaik umat dan pemenuhan kemaslahatan umat. Terbukti dalam sejarah, Islam mampu melahirkan sosok pemimpin seperti Umar Bin Khattab yang benar-benar mengurusi urusan rakyatnnya, Khalifah Harun Ar-rasyid yang terkenal dalam kesejahteraan rakyatnya dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalifah dalam hukum Islam. Ada metode yang tetap dan hukumnya wajib dan ada pula cara yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib.
Pemilihan umum untuk memilih kepala negara/khalifah di dalam Islam dengan beberapa langkah, yaitu:
Pertama, para anggota Majelis Umat yang Muslim melakukan seleksi terhadap para calon khalifah.
Kedua, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam untuk memilih salah satu dari mereka. Di sinilah pemilihan umum bisa dilaksanakan sebagai cara pelaksanaannya.
Ketiga, Majelis Umat mengumumkan hasil pemilihan umum dan umat Islam mengetahui siapa yang meraih suara yang terbanyak.
Keempat, umat Islam segera membaiat (baiat in‘iqâd) orang yang meraih suara terbanyak sebagai khalifah.
Kelima, setelah selesai baiat, diumumkan ke penjuru orang yang menjadi khalifah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh rakyat, dengan menyebut nama dan sifat-sifatnya yang membuatnya layak menjadi khalifah.
Dalam pemilihan khalifah, rakyat sangat mengenal calon khalifah. Tidak akan ada kampanye yang akan mengeluarkan banyak dana. Tidak akan ada spanduk atau apa pun yang menguras banyak dana untuk mengenal calon khalifah.
Karena calon khalifah harus benar-benar diketahui akhlaknya oleh seluruh rakyat atau Majelis Umat dan harus memenuhi syarat ketat sebagai khalifah. Khalifah juga nanti akan disumpah melalui baiat untuk menjalankan seluruh hukum Islam.
Di samping pemilihan umum untuk memilih khalifah, dalam sistem politik Islam juga ada pemilihan umum untuk memilih para anggota perwakilan rakyat yang disebut Majelis Umat. Jadi, proses untuk menjadi anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan oleh rakyat, bukan melalui pengangkatan oleh khalifah.
Sebab, berlaku akad wakalah (perwakilan). Anggota Majelis Umat adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat dan pengawasan kepada penguasa. Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya. Karena itu, anggota Majelis Umat haruslah dipilih oleh rakyat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah.
Baik pemilihan khalifah maupun anggota Majelis Umat, pemilihan umum keduanya tidaklah rumit dan mahal. Dengan persyaratan yang ada, banyak rakyat yang menolak untuk mencalonkan atau dicalonkan.
Demikianlah, Islam sedemikian rupa melaksanakan pemilihan umum tanpa harus politik biaya tinggi. Dana yang ada tentu diprioritaskan untuk pelayanan terhadap urusan rakyat secara optimal.
Karena itu, kaum Muslim harus berpegang teguh pada sistem Islam dengan syariatnya dan mengabaikan demokrasi yang hanya memberikan pencitraan sekadar slogan tanpa bukti memberikan kesejahteraan rakyat.
Wallahualam bissawab. [SJ]