Paradoks Demokrasi, Stop Oligarki, dan Solusi Islam Memilih Pemimpin
News"Jangan heran kalau sistem demokrasi itu manusia yang membuat hukum juga bisa mengubanya penuh dengan kepentingan. Maka di situlah terjadi akumulasi pelanggaran-pelanggaran sesuai dengan kepentingannya.”
Dr. Ahmad Sastra, M.M.
________________________________
KUNTUMCAHAYA.com, NEWS -FDMPB- Prof. Suteki menegaskan paradoks demokrasi yang kerap muncul. Konon rakyat yang berdaulat malahan lembaga-lembaga demokrasi terjebak dalam praktik oligarki. Indonesia bisa terjadi demikian karena sistem politik terdiri dari sekelompok orang saja. Mereka menggunakan segala cara agar rakyat dapat dikendalikan dan dikuasai.
Prof. Suteki (Pakar Hukum) hadir sebagai narasumber bersama Prof. Dr. Fahmi Amhar (Cendekiawan Muslim), Dr. Ahmad Sastra, M.M. (Ketua FDMPB), Dr. M. Ryan, M.Ag. dan (Ahli Politik Islam), dan Assoc. Professor Fahmy Lukman (Direktur Inqiyad) pada FGD Forum Doktor ke-40: ”Politik Dinasti dan Bencana Demokrasi”, Sabtu (11/11/2023).
Prof. Suteki, lanjutnya, oligarki itu sendiri bertujuan demi kepentingan pribadi tanpa keadilan. Demokrasi membuka pintu seluas-luasnya kepada rakyat menentukan jalannya negara yang memudahkan kelompok yang sangat kaya raya juga ikut mengatur. Masalahnya pengusaha industi media atau strategis lainnya tidak akan tinggal diam. Mereka akan berusaha untuk meraih kekuasaan demi menjaga dan mengembangkan kepentigannya.
“Nah, demokrasi itu berubah total dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan konglomerat. Yang berkuasa akhirnya company karena oligarki sudah menjadi penguasa tadi,” tandas Prof. Suteki.
Tambahnya, ketika partai politik menganut sistem oligarki maka sebenarnya nanti juga akan terjadi pembungkaman suara rakyat. Akhirnya timbul rasa apatis dari rakyat. Selanjutnya oligarki kekuasaan dapat menyebabkan kolapsnya negara hukum.
Dr. Ahmad Sastra memiliki prespektif yang unik dari sudut pandang Islam. Menurutnya jangan heran kalau sistem demokrasi itu manusia yang membuat hukum juga bisa mengubanya penuh dengan kepentingan. Maka di situlah terjadi akumulasi pelanggaran-pelanggaran sesuai dengan kepentingannya.
“Nah dalam demokrasi kalau orang melanggar kemudian bisa menyogok kepada hakim, misalnya begitu. Bisa juga jual beli hukum,” tandasnya.
Dr. Sastra menyayangkan terpecahbelahnya umat Islam dalam sistem demokrasi. Ini akibat pilihan politik yang tidak tepat. Kondisi ini berbeda dengan Khilafah.
“Khilafah itu menerapkan syariat kafah. Juga menjaga ukhuwah terkait persatuan. Karena itu merujuk kepada Al-Qur'an. Dan kualitas kepemimpinan soal kompetensi sebenarnya dalam Islam jauh lebih ditekankan,” tandasnya.
Syarat pemimpin dalam Islam itu muslim, laki-laki, merdeka, bertakwa, berakal, mampu, dan adil. Adil itu kaitannya dengan penerapan hukum Allah untuk mengatur kehidupan. Islam khususnya pada prinsip pemilihan pemimpin menjadi solusi. Termasuk urusan yang lebih luas lagi seperti keadilan sosial, kemakmuran, kesejahteraan, dan lainnya.
Diskusi kali ini benar-benar hangat. Peserta yang hadir pun mendapat manfaat. Semoga ini menjadi pencerahan dan pencerdasan untuk rakyat. FGD ini merupakan lanjutan edukasi kepada publik untuk mendekatkan diri dengan solusi yang islami. [HK]