Pengungsi Rohingya Ditolak, Egoisme dalam Sistem Kapitalisme Kian Merebak
OpiniBerdasarkan dalil tersebut, menolong sesama saudara seiman dan seakidah yang sedang terzalimi dan membutuhkan pertolongan kita hukumnya wajib
Dalam negara atau daulah Islam, pengungsi Rohingya akan diberikan jaminan keamanan dan perhatian termasuk kewarganegaraan
_______________________________________
Penulis Ledy Ummu Zaid
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Siapa yang bisa membayangkan bagaimana rasanya berhari-hari terkatung-katung di laut dan tidak ada tempat berlabuh? Ya, itulah yang dirasakan oleh para pengungsi Rohingnya asal Myanmar.
Mereka terpaksa harus mengadu nasib dengan bertaruh nyawa untuk mencari kehidupan di negara lain karena pengusiran yang dilakukan pemerintah negara asal mereka. Di sisi lain, dunia juga tidak mampu menolong dan memberikan solusi tuntas. Lantas, apa yang seharusnya kita lakukan untuk menolong saudara-saudara muslim Rohingnya?
Dilansir dari laman bbc[dot]com (18/11/2023), sebuah kapal yang berisi 200 lebih pengungsi Rohingnya ditolak warga saat memasuki Kuala Pawon, Kabupaten Bireuen, Aceh. Meskipun ditolak, para pengungsi tersebut sempat diberikan bungkusan berisi makanan dan pakaian bekas oleh ratusan warga sebelum akhirnya mereka diusir dan diminta kembali ke dalam kapal.
Akhirnya para pengungsi pun kembali melanjutkan perjalanan yang tak tentu arah tersebut. Usut punya usut, warga setempat ternyata kewalahan dan trauma mengurusi para pengungsi Rohingnya yang akan terus berdatangan. Ditambah lagi, pemerintah daerah dan pusat tampak belum menunjukkan batang hidung mereka dalam menangani masalah para pengungsi ini.
Ironi, negeri dengan pemeluk Islam terbesar di dunia ini ternyata belum serius menolong sesama saudara muslim lainnya. Dilansir dari laman tirto[dot]id (19/11/2023), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, menyampaikan bahwa Indonesia sebenarnya tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi Rohingya. Hal itu berdasarkan pada aturan Konvensi 1951 yang mana Indonesia tidak ikut meratifikasinya.
Ia mengatakan karena Indonesia tidak menandatangani kesepakatan tersebut menjadikan Indonesia bebas dari kewajiban dan tidak memiliki kapasitas untuk menampung para pengungsi Rohingnya, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi mereka. Dirinya juga menyindir negara lain yang menyetujui kesepakatan tersebut, namun abai kepada urusan kemanusiaan Rohingya ini.
Adapun Indonesia telah memberikan bantuan kepada para pengungsi Rohingya semata-mata karena urusan kemanusiaan. Kemudian Iqbal juga menambahkan bahwa sangat memprihatinkan melihat banyak negara yang meratifikasi konvensi terkait pengungsi Rohingnya tersebut, tetapi malah menutup pintu wilayahnya dan bahkan menerapkan kebijakan push back terhadap para pengungsi asal Myanmar itu.
Di sisi lain, dilansir dari laman bbc[dot]com (18/11/2023), terdapat belasan organisasi masyarakat sipil pemerhati isu pengungsi dan pencari suaka di Indonesia yang mempertanyakan implementasi Peraturan Presiden No.125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri. Mereka juga menentang alasan pemerintah yang tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan menyebut ini hanya sebagai ‘argumentasi usang’.
Karena Indonesia memiliki berbagai instrumen HAM lain, prinsip non-refoulement, ketentuan-ketentuan penyelamatan nyawa pada hukum laut atau UNCLOS, ketentuan-ketentuan pada Bali Process dan konvensi-konvensi HAM yang melindungi perempuan, anak-anak, kelompok disabilitas, dan sebagainya.
Oleh karenanya, mereka menuntut kasus pengusiran pengungsi Rohingya di Aceh baru-baru ini. Adapun di balik pengusiran tersebut, ada persoalan penting lain yang juga mengkhawatirkan, yaitu saat ini para pengungsi Rohingnya tidak memiliki status kewarganegaraan atau stateless. Mereka juga memiliki risiko menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Permasalahan yang kompleks seperti ini hanya akan berlarut-larut dalam sistem kehidupan hari ini yang menganut sistem kufur sekularisme kapitalisme. Bagaimana tidak, negara membicarakan kemanusiaan, tetapi masih melihat dan menimbang-nimbang untung dan ruginya.
Egoisme pun lahir dan merebak di sistem kapitalisme hari ini. Kemanusiaan yang adil dan beradab nyatanya tersekat-sekat pula oleh kebijakan yang menjunjung tinggi nasionalisme. Tak ayal, bantuan yang diberikan pun terbatas dan tidak permanen menyejahterakan karena konon katanya bukan kewajiban negeri ini.
Walhasil, baik pemerintah daerah maupun pusat sama-sama seperti mengulur-ulur waktu dan tidak segera mencari solusi terbaik bagi pengungsi Rohingnya tersebut. Padahal masa depan mereka sangat bergantung pada sikap kita hari ini.
Banyak anak-anak, perempuan hingga orang tua yang tidak mendapatkan kehidupan yang layak di negeri asalnya dan masih harus terkatung-katung nasibnya di laut. Fisik dan psikis mereka sudah tentu tidak karuan rasanya menahan lelah dan beratnya hidup sebagai pengungsi.
Adapun pemandangan yang berbeda akan terlihat dalam sistem Islam, yaitu kekhilafahan Islamiyah. Kehidupan akan diatur oleh syariat Islam yang jelas dan paten datangnya dari Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan buatan manusia yang sifat dasarnya terbatas.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (TQS. Al-Anfal: 72)
Berdasarkan dalil tersebut, menolong sesama saudara seiman dan seakidah yang sedang terzalimi dan membutuhkan pertolongan kita hukumnya wajib. Dalam negara atau daulah Islam, pengungsi Rohingya akan diberikan jaminan keamanan dan perhatian termasuk kewarganegaraan. Seorang khalifah akan menjadi pelindung setiap individu di mana pun berada apalagi bagi mereka yang mendapatkan kezaliman.
Khilafah Islamiyah seperti halnya khilafah Khulafaur Rasyidin di masa lalu tentu akan menjadi perisai dan pelindung setiap muslim. Khalifah akan membela dengan mengerahkan pasukan pada negara yang melakukan kezaliman karena darah kaum muslimin harus dijaga kemuliaannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, dari An-Nu'man bin Basyir dia berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)." (HR. Muslim)
Jika ada saudara muslim kita yang masih belum merasakan ketenangan hidup bahkan teraniaya, maka sudah sepatutnya kita peduli dan berusaha menolong mereka, meski harus mengorbankan harta dan jiwa kita sekalipun.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan sistem kapitalisme yang mencetak individu-individu egois. Oleh karena itu, kita seharusnya memperjuangkan sistem yang benar hadir kembali di tengah-tengah umat sehingga perdamaian dan kesejahteraan hidup umat manusia seluruhnya dapat tercapai. Wallahu alam bissawab. [SJ]