Peran Keluarga dalam Pertumbuhan Ekonomi, Mampukah?
OpiniSelama sistem pemerintahan masih berkiprah pada ekonomi kapitalistik, negara akan sulit mandiri dan senantiasa dikelilingi kerjasama yang tak sepenuhnya memberikan keuntungan bagi negara
Ekonomi kapitalistik hadir untuk menjerat keuntungan bagi segolongan tertentu dan mencekik golongan yang lain
_____________________________________
Penulis Susci
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Anggota Komunitas Sahabat Hijrah Balut, Sulteng
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Indonesia kembali dihadapkan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang mengalami stagnan berkisar 5%. Hingga, menyebabkan peluang Indonesia bisa menjadi negara maju pada 2045 gagal. Hal tersebut disampaikan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Oleh karena itu, negara berkeinginan melibatkan peran keluarga sebagai kekuatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui hidup sehat. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. dr. Hasto Wardoyo, bahwa pembangunan keluarga adalah pondasi utama tercapainya kemajuan bangsa. (news[dot]republika[dot]co[dot]id, 28/10/2023)
Ekonomi sebuah negara menjadi instrumen paling penting dalam menentukan status negara. Apakah tergolong negara maju atau berkembang? Sebagaimana, tujuan negara untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, maka upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan. Sayangnya, sampai hari ini pertumbuhan ekonomi negara masih berkisar di lima persen saja.
Alih-alih menjadi negara maju, untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan saja sangat sulit. Tingkat kemiskinan negara ini masih tergolong banyak, walaupun sedikit mengalami penurunan. Keinginan menjadi negara maju, seharusnya diiringi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Bagaimana bisa menjadi negara maju, jika keadaan masyarakat masih berada dalam garis kemiskinan.
Dengan keterlibatan keluarga dalam upaya pertumbuhan ekonomi, tentu menimbulkan keprihatinan bersama. Pasalnya, keterlibatan peran keluarga dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah bentuk peralihan kewajiban yang menjadi kewajiban negara, menjadi kewajiban keluarga. Upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi adalah kewajiban negara, bukan keluarga.
Keluarga yang seharusnya mendapatkan manfaat dari peningkatan pertumbuhan ekonomi, bukan menjadi ujung tombak pertumbuhan ekonomi. Inilah paradigma berpikir kapitalisme sekularisme. Di saat mereka tak mampu menyelesaikan satu persoalan, maka masyarakat yang harus menanggung persoalan tersebut.
Bicara tentang pertumbuhan ekonomi, hal ini berhubungan dengan bentuk pengelolaan ekonomi yang dilakukan negara berbasis kapitalisme sekularisme saat ini. Dimana, kapitalisme hari ini banyak membangun kerjasama dengan para korporasi maupun investor untuk memanfaatkan sumber daya alam (SDA) yang seharusnya dikelola oleh negara secara mandiri. Artinya, negara sendiri tidak memiliki kedaulatan dalam hal pengelolaan SDA. Hilangnya kedaulatan negara ini yang memicu lambatnya pertumbuhan ekonomi, bahkan cenderung diam di tempat. Bagaimana tidak, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai dengan pemanfaatan SDA secara efisien, efektif, dan berkualitas. Mirisnya, saat ini kepemilikan tersebut tidak sepenuhnya dikelola negara.
Wajar, jika pertumbuhan ekonomi negara masih bergantung pada para pemilik modal. Keuntungan hanya berputar pada pemilik modal, negara hanya mendapatkan pajak dari pembangunan pengelolaan SDA yang dikelola oleh para korporat. Dalam hal ini, negara memfasilitasi para pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan yang besar, sedangkan negara membebani peran keluarga untuk pertumbuhan ekonomi.
Seharusnya negara dapat melihat betapa besar potensi SDA dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Apabila mampu dikelola secara mandiri, bukan terus menerus berharap pada pemilik modal. Negara seharusnya menyadari bahwa kontribusi keluarga dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bukanlah solusi. Melainkan, masalah baru yang akan dialami oleh keluarga tersebut.
Pertumbuhan Ekonomi dalam Pandangan Islam
Pertumbuhan ekonomi dalam Islam adalah sebuah keniscayaan yang mampu tercapai. Bukan untuk mencapai standarisasi ekonomi global atau untuk dipandang dunia. Pertumbuhan ekonomi semata-semata dicapai untuk kesejahteraan masyarakat. Jika dengan pertumbuhan ekonomi tersebut dapat memberikan pengaruh secara global, maka hal itu hanya bagian dari pengaruh yang dihasilkan dari pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dilakukan Islam bukan dengan melibatkan keluarga sebagai penyokong, melainkan dilakukan secara mandiri oleh negara. Pertumbuhan ekonomi dalam Islam dilakukan melalui sumber pemasukan negara dengan memanfaatkan pos-pos yang ada seperti fai, kharaj, jizyah, ghanimah, zakat, serta SDA.
Islam memahami bahwa pemanfaatan SDA mampu menjadi sumber pendapatan terbesar negara. Apalagi Indonesia dijuluki sebagai negara khatulistiwa, yaitu melimpahnya SDA yang dimiliki. Apabila negara mengelola SDA secara mandiri, tanpa adanya intervensi pihak manapun, tentu keuntungan akan jauh lebih besar didapatkan. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan mudah dicapai.
Artinya, selama sistem pemerintahan masih berkiprah pada ekonomi kapitalistik, negara akan sulit mandiri dan senantiasa dikelilingi kerjasama yang tak sepenuhnya memberikan keuntungan bagi negara. Ekonomi kapitalistik hadir untuk menjerat keuntungan bagi segolongan tertentu dan mencekik golongan yang lain. Negara yang memiliki wilayah yang dipenuhi SDA harus diberdayakan oleh golongan tertentu atas nama kerja sama ekonomi. Padahal, hal tersebut merupakan perangkap ekonomi kapitalistik yang tidak disadari.
Dengan pertumbuhan ekonomi berbasis Islam, akan mampu mendapatkan pengaruh di mata dunia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sehingga pertumbuhan ekonomi dalam Islam tidak semata-mata bertujuan untuk mendapatkan status dunia, melainkan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Sudah seharusnya umat menjadikan Islam sebagai satu-satunya sistem yang mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, umat harus menjadikan Islam sebagai standar kehidupan bukan yang lain. Islam akan mampu mengatasi segala permasalahan kehidupan termasuk permasalahan pertumbuhan ekonomi. Sebab, Islam berasal dari Allah Swt. Tuhan Pencipta alam semesta. Wallahualam bissawab. [Dara]