Tata Kelola Lingkungan dalam Islam
OpiniSemestinya rencana tata ruang dan tata wilayah dikembalikan kepada Islam
Selain adanya ketakwaan individu, koreksi dari masyarakat juga adanya sanksi dari negara bagi siapa saja yang melanggar akan lebih efektif dalam mencegah pelanggaran terhadap perusakan lingkungan
_____________________________
Penulis Susi Rahma
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Masalah Sosial
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Menelaah pesan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat yang mewanti-wanti pemerintah daerah dan masyarakat yang berada di cekungan Bandung terkait ancaman krisis air. Hal itu disebabkan banyaknya lahan yang selama ini menjadi kawasan resapan air akan beralih fungsi.
Dikatakan oleh Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar Haerudin Inas, dari studi kasus Kawasan Bandung Selatan, di dalam dokumen KLHS Tata Ruang dan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung, adanya peningkatan kawasan pemukiman yang sangat signifikan sebesar 8.743,34 hektare (Ha). (jabar[dot]idntimes[dot]com)
Ada beberapa hal yang kemungkinan besar akan terjadi:
1. Lahan pertanian akan hilang
2. Seiring bertambahnya tempat wisata, akan berkurang air baku bagi warga
3. Pembangunan pabrik menyebabkan persediaan air menipis
4. Konflik berebut air bersih akan terus terjadi
Dalam realitasnya, kelestarian lingkungan tidak menjadi prioritas dalam pengembangan pembangunan, usaha, maupun bisnis. Isu-isu terkait lingkungan ini baru disadari setelah muncul dampak parahnya kerusakan lingkungan. Kerusakan siklus air ini berakibat air tercemar, air langka (kekeringan), atau air berlebih (banjir).
Sepanjang 2021 menurut Badan Pusat Statistik terdapat 10.683 desa/kelurahan mengalami pencemaran air. Di Indonesia, Sungai Citarum menempati posisi ke-5 sebagai sungai paling tercemar di dunia karena sangat kotor dengan berbagai sampah plastik juga berbagai buangan rumah tangga hingga limbah pabrik yang ada di sepanjang area aliran sungai. Bahkan, Citarum mengandung merkuri di luar ambang batas. Polutan Citarum mencemari air tanah di sepanjang bantaran sungai.
Aktivitas manusia banyak menyebabkan pencemaran lingkungan baik rumah tangga maupun industri. Diperparah dengan abainya pengawasan lingkungan hidup dari masyarakat bahkan negara. Apalagi terkait adanya sektor industri yang dianggap berjasa menjadi penopang perekonomian negara.
Itulah sistem kapitalisme yang senantiasa memihak para pemegang kapital dan mengabaikan penjagaan lingkungan serta manusianya. Padahal, kekeringan juga kebakaran hutan/lahan menjadi bencana yang sangat dirasakan masyarakat sehingga harus dicegah. Meski, program bendungan air dan perbaikan sumur di daerah rawan kering telah dilakukan. Jiika tidak ada penahan air dari area hutan, alhasil sumur akan tetap kering
Parahnya kebakaran hutan dan lahan disinyalir akibat rakusnya para pemilik usaha perkebunan untuk memperoleh cara mudah juga murah, yaitu melakukan perluasan lahan dengan membakar area hijau tanpa memedulikan polusi udara yang merusak manusia serta makhluk hidup sekitarnya. Banjir dan longsor makin menambah masalah penyediaan air. Karena air yang seharusnya bermanfaat bagi makhluk hidup, akhirnya berbahaya dan merusak kehidupan. Begitu pula tekanan ekonomi dalam sistem kapitalisme liberal yang memunculkan fenomena pertambangan dan penebangan hutan ilegal atau konversi lahan secara legal. Tetapi eksploitatif dan masif berakibat deforestasi akut yang bisa menyebabkan banjir bandang.
Konversi lahan yang kurang memperhatikan ruang terbuka hijau bisa mengakibatkan erosi, pendangkalan sungai, dan menyebabkan banjir luapan. Di perkotaan, tata ruang minimalis dan derap pembangunan kota bisa mengurangi resapan. Ditambah sampah di badan air sehingga terjadi banjir kota. Di daerah pantai, penurunan tanah ditambah naiknya permukaan air laut karena pemanasan global bisa memunculkan banjir rob di beberapa kota dekat pantai.
Ironisnya, berbagai kebijakan dan UU yang dikeluarkan oleh badan legislatif justru kontradiktif dengan semangat dari pelestarian serta distribusi air yang berkeadilan. Kita lihat mulai dari masalah UU terkait air yang pro pada privatisasi hingga sumber-sumber air dikuasai oleh kalangan pemodal tertentu yang memiliki kepentingan bisnis di sana. Akhirnya, rakyat menjadi lebih sulit mengakses air, baik untuk keperluan pribadi atau mencari nafkah dengan memanfaatkan hasil tangkapan juga budi daya ikan/udang.
Berbagai macam proyek infrastruktur atau megaproyek dikebut tanpa peduli faktor analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Banyak hutan lindung yang dibabat habis untuk kepentingan eksploitasi tambang batu bara atau perluasan lahan kelapa sawit. Bahkan, ada hutan lindung di Papua yang digunduli karena ada kepentingan tambang emas di sana.
Belum lagi masifnya pembangunan infrastruktur yang dapat mengurangi reservoir (daerah penyerapan air). Hal ini berdampak pada ketersediaan air bersih. Ditambah dengan kebijakan yang pro terhadap pemodal. Serta diperbolehkan eksploitasi air secara besar-besaran untuk perusahaan air minum. Hingga terjadi siklus air yang tidak normal karena aliran air dari mata air tidak melalui sungai melainkan lewat jalan aspal dengan truk-truk pengangkut galon air.
Dari berbagai hal di atas semestinya rencana tata ruang dan tata wilayah dikembalikan kepada Islam. Selain adanya ketakwaan individu, koreksi dari masyarakat juga adanya sanksi dari negara bagi siapa saja yang melanggar akan lebih efektif dalam mencegah pelanggaran terhadap perusakan lingkungan. Wallahualam bisssawab. [Dara]