Waspada Potensi Konflik Menjelang Pemilu
Opini
Sedangkan dalam Islam, parpol berdiri bukan untuk memuaskan nafsu berkuasa dan memenangkan suara semata. Lebih dari itu, parpol berperan strategis dalam melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat, yakni membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar
Politik dengan makna mengurusi atau melayani urusan rakyat
______________________________
Penulis Rifka Nurbaeti, S.Pd
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Terjadi bentrokan di Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (15/10/2023) kemarin. Kepala Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Magelang Kombes Pol. Ruruh Wicaksono menyatakan bahwa kericuhan berawal saat kedua kelompok massa saling bersinggungan mulai pagi hingga pukul 15.00 WIB.
"Setelah kegiatan selesai, saat pulang, salah satu kelompok ini bersinggungan dengan kelompok yang lain, kemudian ada kesalahpahaman yang mengakibatkan terjadinya gesekan di lapangan," kata Wicaksono dikutip dari Antara, Senin (16/10/2023). Bentrok diduga melibatkan Laskar PDIP Jogja (BSM dan Bregodo Wirodigdo) yang baru saja menghadiri acara di Mungkid dengan GPK (Gerakan Pemuda Kabah) Militan.
Saat pesta demokrasi 2019 terbentuk polarisasi simpatisan yang mengakibatkan terjadi “perang opini” yang saling mengunggulkan pasangan capres-cawapres masing-masing. Kemudian muncullah istilah 'cebong' sebutan untuk simpatisan Jokowi dan sebutan 'kampret' untuk pendukung Prabowo.
Setelah Pilpres 2019 usai, istilah itu bergeser menjadi “buzzeRp” dan “kadrun”. Namun, setelah Prabowo masuk dalam kabinet Jokowi, para pendukung Jokowi lebih sering menyebut “kadrun” terhadap mereka yang kecewa dengan rekonsiliasi Prabowo yang awalnya menjadi rival dalam Pilpres 2019.
Peristiwa pemilu memang berpotensi terjadi gesekan atau konflik antara pendukung, bahkan dapat menumbuhkan kecintaan pada figur atau sosok yang mereka dukung secara berlebihan. Ketika sang figur dihujat atau dikritik oleh kubu yang berlawanan, emosi pun bisa di luar kendali hingga mengeluarkan umpatan atau olok-olok yang tidak semestinya.
Inilah potret buruk pemilu dalam demokrasi. Sejak dulu sampai sekarang, penyelenggaraan pemilu selalu memunculkan berbagai konflik atau gesekan. Antara kubu yang satu dengan yang lain tentu tidak akan terima dengan kekalahan yang akhirnya harus diselesaikan di MK.
Permasalahan seperti ini wajar terjadi dalam pesta demokrasi karena setiap kompetitor memang berkompetisi untuk memperoleh kemenangan. Mereka akan berupaya melakukan segala cara agar bisa meraih kekuasaan. Demokrasi sendiri mengandalkan aturan buatan manusia dan agama tidak boleh ikut andil mengurusi pemilu.
Sehingga aturan pemilu dapat berubah-ubah berdasarkan kepentingan, kesepakatan, serta keinginan yang berkuasa. Semua bisa dibuat sesuai pesanan dan permintaan. Walaupun ada yang lurus dan ikhlas berjuang di jalan ini, mereka bisa saja tergelincir atau kalah oleh pihak yang lebih berkuasa. Inilah sebab pesta demokrasi selalu memunculkan masalah.
Kemarin lawan, sekarang kawan. Dahulu musuh bebuyutan, sekarang satu perkumpulan. Begitulah realitas parpol sekarang. Lain simpatisan, lain sikap para elite parpol. Para elite parpol justru lebih mementingkan tujuan dan kepentingan yang hendak diraih ketimbang mengurusi fanatisme masyarakat yang mendukung mereka.
Sekalipun masyarakat memilih untuk menjadi oposisi, misalnya, hal itu tidak berlaku bagi parpol. Pilpres 2019 sebagai contoh nyata demokrasi yang tidak mengenal kawan ataupun lawan. Yang ada adalah kepentingan yang abadi.
Umat harus menyadari bahwa fakta parpol dalam demokrasi kebanyakan bersifat dan bersikap pragmatis ketimbang idealis. Bukan idealisme yang menjadi pertimbangan setiap kebijakan parpol, melainkan lebih pada manfaat yang bisa diambil parpol dari setiap keputusan politik yang mereka buat.
Sedangkan dalam Islam, parpol berdiri bukan untuk memuaskan nafsu berkuasa dan memenangkan suara semata. Lebih dari itu, parpol berperan strategis dalam melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat, yakni membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar. Politik dengan makna mengurusi atau melayani urusan rakyat.
Tujuan terbentuknya parpol dalam Islam adalah dalam rangka membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang lurus berdasarkan pandangan Islam, bukan hanya sekadar sebagai wadah yang menampung aspirasi dan suara rakyat.
Mereka juga harus melakukan muhasabah/mengoreksi terhadap kebijakan penguasa, tidak boleh membela kezaliman, dan tidak boleh bersikap manis hanya demi menyenangkan para penguasa. Sudah semestinya parpol berdiri demi membela kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Itulah cara kerja parpol yang diajarkan dalam Islam.
Islam membolehkan terbentuk banyak parpol dalam rangka merealisasikan muhasabah kepada para penguasa. Dalam sistem Islam, berpolitik harus terwujud dalam bentuk aktivitas amar makruf nahi mungkar. Maksudnya, fungsi dan peran parpol sebagai penyambung aspirasi rakyat dalam rangka membangun kesadaran penguasa pada saat menjalankan tugas dan amanahnya. Maka yang harus disadari juga oleh umat bahwa pemilu hanyalah salah satu uslub untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat, dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebijakan yang ada.
Oleh karena itu, napas perjuangan parpol haruslah terikat dengan seluruh aturan Islam, bukan kepentingan individu ataupun golongan. Dengan begitu, parpol tidak akan mudah berbelok arah karena bersandar pada ikatan dan kesadaran yang benar, yakni akidah Islam. Jadi para politikus Islam akan mengharapkan rida Allah Swt. ketika mengurusi seluruh urusan rakyat. Mereka paham saat menjadi pemimpin dan wakil rakyat, tanggung jawabnya begitu besar. Tidak hanya di dunia tapi mereka juga akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dengan begitu, mereka tidak akan berlomba-lomba meraih kekuasaan karena nafsu.
Wallahualam bissawab. [SJ]