Berisik Fii Sabilillah
Surat Pembaca
Coba kita bandingkan dengan era digital saat ini
Justru ketika teknologi informasi dan digitalisasi media informasi sudah sangat maju bahkan sudah melebih zamannya justru budaya curah pemikiran dan perang gagasan oleh sebagian orang dianggap norak bin tabu
______________________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Berisik, begitulah kata umum yang coba dipopulerkan atau dielitisasi dengan istilah baru (baca kritis).
Era di mana koran dan majalah masih berjaya, kita akan mengenal sosok-sosok berisik (kritis) dengan tulisan-tulisannya di rubrik opini (koran dan majalah), mereka adalah para pemikir hebat saat itu yang rata-rata anti status quo (kritis terhadap kebijakan rezim orba).
Sebut saja ada DR. Amin Rais, Ridwan Saidi (babe), DR. Sri Bintang Pamungkas, dan kakaknya DR. Sri Edi Swasono, di kalangan Budayawan ada Caknun yg nama aslinya Emha Ainun Najeb alias kyai Mbeling.
Sementara sebagai lawan 'politik' (katakanlah dari grup anti status quo) tak kalah mentereng, sebut saja DR. J. Kristiadi pentolan CSIS (para pemikir katolik fanatik), Pande Nababan (pakar ekonomi), Kristianto Wibisono (pakar kebijakam publik) warga keturunan Tionghoa, Pendeta DR. Frans Magnis Suseno (katolik keturunan Belanda). Grup ini pro pemerintah atau pro status quo.
Bagi mereka yang senang mengamati situasi politik tentu wacana gagasan dan pemikiran mereka tiap pekannya sangat ditunggu-tunggu. Mengingat, koran dan majalah saat itu adalah satu-satunya media informasi cetak selain juga ada media elekronik televisi dan radio, tapi di kedua media yang disebut terakhir jarang sekali membahas masalah politik dan kemasyarakatan.
Buah hasil berisik ini adalah bagaimana masyarakat terdidik termasuk pemuda masjid, mulai suka bicara politik, bacaan mahasiswa dan pelajar sudah bukan komik lagi tapi dana itu mereka alihkan untuk membeli koran dan majalah.
Itulah situasi kondisi perang gagasan di masa era 80-90an. Ternyata para intelektual pada saat itu memang suka berisik setidaknya di media massa (sosmed kalau sekarang).
Coba kita bandingkan dengan era digital saat ini. Justru ketika teknologi informasi dan digitalisasi media informasi sudah sangat maju bahkan sudah melebih zamannya justru budaya curah pemikiran dan perang gagasan oleh sebagian orang dianggap norak bin tabu. Anehnya lagi kalau ada intelektual yang diam dengan kondisi yang ada dianggap 'ilmu padi'.
Yang berpendapat seperti itu biasanya memang tidak berisik di media dan berani beradu gagasan, tapi justru paling ribut di dunia nyata, dan berisik juga tapi bukan curah pemikiran/ adu gagasan atau brainstorming malah ghibah sana-sini apa iya. Wallahualam bissawab. [SJ]
Mang Aswan
Seniman Sunda Pemerhati Umat