Bisakah Konflik Agraria Diselesaikan dengan Sertifikat Tanah Elektronik?
OpiniDalam Islam tanpa sertifikat pun jika itu sudah ditempati bertahun-tahun atau sampai diwariskan, tandanya tanah itu sudah ada yang memiliki
Negara wajib menjaga hak milik rakyat
___________________________________________
Penulis Nur Indah Sari
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Digitalisasi dalam kepemilikan sertifikat tanah dilakukan sebagai upaya untuk menekan konflik lahan. Hal ini dijelaskan oleh pemerintah ketika menyerahkan secara simbolis sertifikat tanah secara elektronik pada tanggal 4 Desember 2023. Dikutip dari kanal berita kompas[dot]com.
Pak Jokowi mengatakan untuk memudahkan dalam mendata, menghemat biaya transaksi, meningkatkan kerahasiaan dan keamanan data. Ketika terjadi bencana tidak rusak atau hilang sehingga dapat mengamankan data, juga terhindar dari mafia tanah.
Banyak kasus agraria yang terjadi akhir-akhir ini membuat kita berpikir apakah dengan surat tanah elektronik akan berkurang konfliknya? Kasus Rempang Eco City misalnya, jika sudah menjadi program pemerintah dan didukung dan diperkuat oleh undang-undang apakah jika masyarakat memiliki sertifikat elektronik program pemerintah seperti PSN (Proyek Strategis Nasional) akankah ditiadakan proyeknya? Dan masyarakat memperoleh haknya dalam kepemilikan tanah yang sudah jadi milik pribadi secara turun temurun, nampaknya tidak.
Masalah akarnya bukan dari hal teknis mendapatkan sertifikat elektronik atau tidak. Masalah akarnya terdapat pada konsep kepemilikan tanah dalam perspektif kapitalisme yang tidak jelas.
Baru-baru ini terdapat kejadian penggusuran lahan secara paksa di daerah Lampung Tanjung Karang, Kelurahan Pasir Gintung, Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung pada Selasa (28/11/2023), dikutip dari kanal Berita Satu. Padahal mereka memiliki sertifikat tanah resmi dari negara. Selain itu keamanan data juga dipertanyakan, apakah mudah untuk diretas atau tidak.
Kesimpulannya jika proyek pemerintah dalam sistem kapitalisme akan terus berjalan, apalagi sudah disahkan oleh undang-undang. Salah satu bunyi Undang-Undang Cipta Kerja menyebutkan bahwa dalam Pasal 103 Ayat 2 disebutkan, "Untuk kepentingan umum dan atau proyek strategis nasional, lahan budi daya pertanian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan."
Suka tidak suka rakyat dipaksa pasrah jika lahan mereka diambil alih apabila termasuk program pemerintah. Kasus agraria bisa dibawa ke pengadilan, namun langka sekali dimenangkan oleh rakyat. Kalau sudah begini, memiliki sertifikat elektronik pun tidak akan bisa mengubah keadaan. Penguasa tunduk pada kepentingan korporasi atau pengusaha yang memiliki uang banyak.
Sejatinya dalam sistem kapitalisme tidak ada kepemilikan yang jelas. Negara hanya sebagai regulator saja. Atas nama investasi dan perkembangan ekonomi akan dilakukan apa pun termasuk mengambil paksa lahan milik rakyat.
Jika kita memiliki banyak uang, bisa saja membeli tanah di mana pun yang kita mau. Siapa pun bisa memiliki tanah, baik itu perorangan ataupun termasuk perusahaan. Kalau sudah begini, peran penguasa lepas dari mengurusi urusan rakyat.
Kenyataan dari sistem kapitalisme yang menerapkan demokrasi yang katanya suara rakyat adalah suara Tuhan hanya angin lalu saja. Rakyat jadi korban atas konflik agraria ini. Kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian sudah pasti dirasakan oleh masyarakat.
Islam Miliki Konsep Kepemilikan Tanah yang Jelas
Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang jelas menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Dalam aplikasinya, konsep kepemilikan terdapat kepemilikan pribadi, umum dan negara. Tanah yang ditempati, dibangun rumah atau bangunan, dihidupkan seperti ditanami bahkan hanya dipagari tandanya ada kepemilikan pribadi atau perorangan. Negara tidak berhak mengambil alih kecuali ada izin dari pemilik tanah.
Tanpa sertifikat pun jika itu sudah ditempati bertahun-tahun atau sampai diwariskan, tandanya tanah itu sudah ada yang memiliki. Negara wajib menjaga hak milik rakyat.
Seperti kisah orang Yahudi yang tanahnya akan diambil oleh Amr bin Ash yang menjabat sebagai gubernur pada saat itu untuk perluasan mesjid. Khilafah Umar memperingatkan bahwa itu adalah tanah kepemilikan pribadi.
Jadi bila orang Yahudi itu tidak mengizinkan mengambil alih tanahnya, maka tidak boleh diambil alih negara. Karena kebijakan negara yang sangat menjaga hak rakyat, orang Yahudi itu masuk Islam dan merelakan tanahnya dijadikan lahan perluasan masjid.
Negara hanya boleh mengambil alih tanah bila selama jangka 3 tahun tanah itu diabaikan. Hal ini sesuai ijma sahabat pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar mengambil alih lahan milik Bilal bin Al-Harist al-Mazani yang ternyata lahan yang dipunyai tidak semuanya dikelola alias ada tanah yang diabaikan.
Bila ada persengketaan rakyat dengan penguasa, ada Mahkamah Mazhalim yang mengurusi urusan persengketaan tersebut. Qadhi atau hakim yang menangani kasus, dengan kesadaran keimanan kepada Allah Swt. dan melaksanakan syariat-Nya.
Maka peradilan dalam Islam akan mengadili seadil-adilnya, sehingga tidak ada yang dirugikan. Begitulah cara Islam yang jelas menjaga hak individu atas kepemilikan tanah, jika sudah jelas konsep kepemilikannya, maka akan mudah untuk masalah teknisnya, seperti digitalisasi pendataan kepemilikan tanah berupa sertifikat elektronik. Wallahualam bissawab. [SJ]