Demokrasi yang Menyakitkan, Sejarah yang Tidak Boleh Terulang
Opini
Janji manis demokrasi yang konon katanya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, nyatanya hanya menguntungkan segelintir oligarki
Belum sadarkah umat ini bahwa demokrasi nyatanya adalah buah konspirasi yang dibangun atas kepentingan partai bersama para oligarki?
______________________________
Penulis AB. Latif
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Indo Politic Watch
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Demokrasi sebentar lagi akan kembali berpesta untuk ke sekian kali. Menghabiskan uang negara yang hanya akan menghasilkan konspirasi dan bisa membuat rakyat makin sakit hati. Itulah fakta yang tidak dapat diingkari. Bahkan tidak ada yang menguntungkan sama sekali, yang terjadi malah banyak mengecewakan rakyatnya sendiri.
Tetapi anehnya, banyak kaum muslimin yang masuk dalam perangkap dan jebakan manis demokrasi. Janji manis demokrasi yang konon katanya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, nyatanya hanya menguntungkan segelintir oligarki. Belum sadarkah umat ini bahwa demokrasi nyatanya adalah buah konspirasi yang dibangun atas kepentingan partai bersama para oligarki?
Tidak ada lawan yang abadi, tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi, itulah demokrasi. Siapa saja bisa menjadi lawan ketika berseberangan pemikiran dan sebaliknya siapa pun bisa menjadi kawan ketika ada kesamaan kepentingan. Tidak peduli apa dan bagaimana mereka sebelumnya, apakah mereka itu dulu bekas lawan apa kawan, ketika kepentingan sejalan, konspirasi pun dijalankan.
Fakta ini bisa dilihat saat menjelang pilpres 2019 lalu. Para pendukung salah satu kandidat begitu semangat, karena menganggap calon itu seolah pahlawan rakyat yang sangat diharapkan bisa mengakhiri ketidakadilan, kezaliman, dan kesewenang-wenangan. Mereka korbankan hartanya, waktunya, tenaganya, hanya untuk kemenangan junjungannya.
Ratusan nyawa hilang, ribuan manusia dalam pesakitan. Banyak pendukung yang dikriminalisasi dan banyak yang masuk dalam jeruji besi. Semua hanya untuk sepasang singa yang diharapkan mampu mengubah keadaan di negeri ini. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Sebuah pengkhianatan dan konspirasi yang menyakitkan hati.
Harapan tinggal harapan, impian tinggal impian. Ketegasan yang dipertontonkan laksana singa kelaparan ternyata hanya seekor kucing yang tunduk pada sang tuan. Para pendukung ditinggalkan seraya merapat dan bermesraan bersama sang lawan.
Sungguh ini tontonan yang sangat menyakitkan. Sia-sialah pengorbanan, sia-sialah perjuangan yang selama ini diberikan. Lalu apakah hal ini akan terulang?
Mari kita coba dulu membuka lembaran kelam, cerita singa yang kelaparan yang dicalonkan untuk mengubah keadaan. Setelah pencalonan telah ditetapkan, hiruk-pikuk semangat dikobarkan. Semangat perjuangan pemilihan pun dipertontonkan di berbagai media sosial. Dukungan pun mengalir dari berbagai golongan, semua berharap akan ada perubahan.
Lalu apa yang terjadi pasca pemilihan? Walaupun disinyalir ada banyak kecurangan, tapi itulah keputusan. Setelah terlempar dari pangung politik lima tahunan, dengan banyak kerugian, konspirasi pun dijalankan. Sebuah pengkhianatan terjadi karena sekerat tulang jabatan. Inilah pengkhianatan yang menyakitkan. Lalu apakah hal ini juga akan terulang?
Setelah sang calon mengkhianati umat dengan sekerat tulang kekuasaan yang diberikan. Tidak hanya itu, pasangannya pun yang sebenarnya masih diharapkan, tenyata juga mengikuti jejak sang tuan. Mereka berpikir bahwa sang calon hanyalah pengecualian, namun faktanya sama-sama mengecewakan.
Lihatlah pasca pengkhianatan itu terjadi, mereka pun berkonspirasi untuk kemudian mendukung dan mengesahkan undang-undang zalim yang hanya menguntungkan para oligarki. RUU Omnibus Law yang banyak ditentang kemudian disahkan atas dasar kepentingan.
Inilah fakta nyata dalam demokrasi. Lawan bisa jadi kawan, sementara kawan bisa menjadi lawan. Karena sesungguhnya mereka berjuang hanya untuk kepentingan. Masihkah kita berharap perubahan dalam demokrasi yang nyata-nyata menyesatkan?
Pesta lima tahunan itu pun segera akan digelar. Kontestan para pasangan calon pun sudah ditetapkan. Anggaran negara sebesar Rp76.000.000.000.000 (76 triliun rupiah), sudah ditetapkan dan didistribusikan. Kekuatan para calon pun sudah bisa diperkirakan. Bahkan banyak lembaga survei telah memberikan gambaran hasil perolehan suara dukungan.
Tetapi semua sudah paham bahwa kuatnya dukungan tidak menjamin kemenangan. Ada kandidat yang sekuat tahun 2019, baik secara pemikiran, potensi dan pengalaman, serta dukungan yang begitu besar ternyata juga terlempar.
Karena pada hakikatnya pemenang itu sudah dipersiapkan walaupun dengan kecurangan. Lalu adakah yang menjamin bahwa kecurangan tidak terulang? Apakah ada yang menjamin hal yang sama di tahun 2019 tidak terulang?
Sadarlah bahwa itulah demokrasi. Kepentingan pribadi dan partailah yang menjadi tujuan mereka, sementara rakyat hanya akan menjadi korban keserakahan. Maka sangat aneh dan konyol jika ada umat yang berjuang mati-matian hanya untuk membela demokrasi yang nyata-nyata bukan berasal dari Islam.
Membela demokrasi yang nyata-nyata buah dari konspirasi antara partai dan oligarki. Itulah fakta demokrasi yang nyata-nyata tak mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan. Alih-alih memberikan keadilan dan kesejahteraan, yang terjadi malah meningkatnya pajak dan retribusi, korupsi dan penjualan aset negeri atas nama investasi.
Belum lagi bertambahnya utang luar negeri dan pencabutan subsidi. Siapa yang akan menanggung semua ini? Kembali rakyat yang akan menerima beban hidup yang makin tinggi. Inilah demokrasi yang menyakitkan hati, fakta sejarah yang tidak boleh terulang lagi.
Islam agama yang sempurna, yang menjelaskan tentang konsep kesejahteraan hidup manusia. Konsepsi kesejahteraan dan kebahagiaan (falah) mengacu pada tujuan syariat Islam dengan terjaganya lima prinsip dalam maqashid syari’ah, yakni terjaganya agama (ad-ddin), terjaganya jiwa (an-nafs), terjaganya akal (al-aql), terjaganya keturunan (an-nasl) dan terjaganya harta (al-mal).
Islam pun menjelaskan konsep pemilihan khalifah dari syarat-syarat calon khalifah, pencalonannya, sampai tahap pembaiatannya. Semua itu tidak memakan biaya yang tinggi. Masihkah kita tidak mau menerima Islam sebagai jalan hidup kita?
Demokrasi yang menyakitkan akan selalu terulang dan terulang lagi jika kita tetap mengambilnya sebagai jalan hidup ini. Oleh karena itu buang demokrasi, tinggalkan sistem jahiliyah ini, karena jelas-jelas merusak negeri.
Demokrasi bukan jalan Islam, dan Islam bukan demokrasi. Karena demokrasi diambil dari Yunani yang dikembangkan oleh Plato, Aristoteles, Montesquieu dan tokoh kafir lainnya.
Sementara Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw. yang merupakan wahyu Pencipta alam yang menjamin kesejahteraan. Tinggalkan demokrasi, maka sejarah yang menyakitkan tidak akan terulang lagi. Wallahualam bissawab. [SJ]