Judi Menjangkiti Anak, Siapa yang Bisa Bertindak?
OpiniDari sisi individu masyarakat yang menganggap judi hanya sebagai permainan iseng yang bisa mendatangkan hadiah
Masyarakat tidak menganggapnya sebagai dosa yang diharamkan agama atau permainan ilegal yang bisa mendatangkan sanksi dari pihak berwenang
_________________________________________
Penulis Ai Siti Nuraeni
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kecil teranja-anja, besar terbawa-bawa sudah tua berubah tidak. Segala sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari kecil akan sulit untuk mengubahnya di masa mendatang. Jika kebiasaan tersebut baik tentu akan sangat bermanfaat. Namun, jika kebiasaan yang dibentuk gemar berjudi maka masa depan anak tersebut terancam suram.
Hal ini, yang menjadi sorotan dalam laporan terbaru dari PPATK yang menyatakan dari 2,7 juta orang Indonesia terlibat judi online, 2,1 juta di antaranya adalah ibu rumah tangga dan pelajar yang memiliki penghasilan dibawah Rp100.000. Pelajar yang bermain judi itu bukan hanya sebatas usia SMA atau SMP tapi merambah pada anak SD. Data ini telah membuat para orang tua dan praktisi kesehatan anak khawatir juga terkejut. Karena, ini fenomena yang baru terjadi.
Anak-anak yang kecanduan judi online rata-rata mengalami gejala yang sama dengan kecanduan game online yaitu lebih boros, uring-uringan, tidak bisa tidur dan makan, menyendiri, serta performa belajar terganggu. Menurut data sudah ada 50 orang anak yang berkonsultasi dengan dokter spesialis karena gejala-gejala tersebut. Namun, di lapangan jumlahnya bisa lebih banyak karena masih ada anak yang memiliki gangguan tersebut namun tidak dibawa ke dokter oleh orang tuanya. (Bbc[dot]com, 27/11/2023)
Parahnya, akses anak pada judi online sangat dipermudah oleh teknologi sekarang. Kemampuan anak dalam memainkan gawai juga media sosial membuat judi online mampu menjangkau mereka karena senantiasa diiklankan di sana. Gamer dan streamer idola anak-anak menjadi corong masuknya informasi judi online pada anak. Sedangkan untuk mengisi uang taruhan sangat mudah, cukup dengan berbagi pulsa atau mengirim via uang elektronik sebesar Rp10.000 anak sudah bisa ikut dalam permainan.
Jika ini tidak dihentikan maka kualitas hidup anak-anak tersebut akan jadi buruk. Mulai dari tidak ada gairah dalam menjalani kehidupan, tidak fokus untuk bekerja, terlilit utang bahkan bisa bunuh diri. Negara yang dihuni oleh anak-anak yang rapuh mentalnya akibat judi tentu akan mengantarkan pada kerusakan di masa depan. Karena, fenomena ini harus ditanggapi dengan serius dan diselesaikan hingga akarnya.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terus berkembangnya judi di Indonesia di antaranya: Pertama, dari sisi individu masyarakat yang menganggap judi hanya sebagai permainan iseng yang bisa mendatangkan hadiah. Masyarakat tidak menganggapnya sebagai dosa yang diharamkan agama atau permainan ilegal yang bisa mendatangkan sanksi dari pihak berwenang. Semua larangan perjudian ini hanya dianggap angin lalu yang tidak berkesan.
Lalu orang tua tidak bisa memahamkan pada anak agar menghindari perjudian, entah karena terlalu sibuk bekerja atau memang karena tidak tahu dengan judi yang berkedok game online sehingga tidak melarang anaknya. Mereka baru mau mengambil tindakan saat anaknya mengalami gejala kecanduan, itupun tidak semua bisa mengkonsultasikan dengan dokter spesialis terkait.
Kedua, masyarakat yang acuh dengan masalah orang lain. Perilaku mereka muncul dari sebuah cara pandang yang berasal dari penerapan kapitalisme yang ada saat ini. Kapitalisme dengan asas individualisme telah membentuk masyarakat menjadi tidak peduli dengan orang-orang di sekitar. Dengan demikian, tidak ada dorongan sedikitpun untuk menasehati anak-anak yang terlihat melakukan judi online. Sedangkan budaya julid yang ada membuat rakyat hanya mempergunjingkan perilaku anak tersebut tanpa mencari solusi untuk menghentikannya.
Ketiga, negara yang lemah dalam memberantas perjudian dan terkesan tebang pilih dalam menghukum orang-orang yang terlibat di dalamnya menjadi faktor mendasar perubahan perilaku masyarakat. Hal ini terlihat dari statement penguasa yang tidak mampu memblokir semua iklan judi online di media sosial dan melacak IP addressnya. Malah ada beberapa situs pemerintah yang diretas menjadi judi slot tapi tidak bisa diblokir karena akan mengganggu pelayanan. Institusi ini belum bisa menggaet operator seluler untuk menghentikan promo perjudian lewat SMS.
Adapun sikap tebang pilih aparat dalam menghukum pelaku yang terlibat dalam bisnis judi online sangat terlihat perlakuannya pada artis dan selebgram. Beberapa artis yang terlibat mempromosikan judi online dan menjadi target pencucian uang dari para bandar tidak ditangkap polisi. Sedangkan selebgram yang melakukan hal yang sama dimasukkan bui. Kedua sikap aparat ini memunculkan dugaan bahwa ada indikasi bisnis haram ini dipelihara dan terasa sulit diberantas karena sebagian oknum petugas ada yang menjadi backing yang mendapat keuntungan sehingga melindunginya agar tetap berjalan lancar tanpa hambatan.
Negara yang bertanggung jawab seharusnya tidak membiarkan kasus perjudian ini terus berlarut-larut. Jika negara meyakini akan bahayanya judi bagi tatanan masyarakat juga masa depan generasi maka ia akan mengerahkan segala daya upaya untuk mencegah terjadinya permainan haram tersebut dengan melakukan edukasi kepada masyarakat baik di tingkat sekolah maupun melalui tokoh-tokoh masyarakat yang ada.
Berbeda keadaannya jika ajaran Islam dipegang teguh dan dijalankan dalam kehidupan. Ia akan membawa kebaikan dan senantiasa melimpahkan keberkahan dalam kehidupan (QS. Al A'raf: 96). Selain itu, kehidupan masyarakat Islam ditopang oleh tiga pilar penting, yakni ketakwaan individu, masyarakat, serta negara. Ketiga pilar ini hanya akan berfungsi saat sistem Islam dijalankan. Dengan sistem ini praktik kemaksiatan semisal judi akan teratasi.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an yang artinya: "Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah: 90)
Dari ayat ini telah jelas bahwa meminum khamar, berjudi dan mengundi nasib itu adalah perbuatan dosa besar yang akan mengantarkan para kemurkaan Allah Swt. Maka dari itu masyarakat yang beriman akan menjauhi perbuatan ini dengan saling menasehati agar dirinya dan orang-orang disekitarnya terbebas dari dosa judi. Hal demikian tidak lepas dari kesadaran bahwa ada kewajiban amar makruf nahi mungkar di pundak mereka.
Dari sisi negara yang menjadikan ajaran Islam sebagai dasar segala peraturannya, ia mampu mengkondisikan kehidupan masyarakat dengan arahan syariat. Dengan dibantu instansi dan aparat terkait, negara akan mudah mengontrol dan menjauhkan informasi digital yang merusak dan beragam aplikasi yang tidak mendidik ke tengah masyarakat.
Islam telah mensyariatkan hukuman cambuk sebanyak 40 sampai 80 bagi pelaku judi yang dilakukan dihadapan masyarakat ramai serta diumumkan kepada seluruh warganya. Sanksi seperti ini akan mengakibatkan pelaku merasa kapok dan malu sehingga terdorong untuk menjauhi kesalahannya lagi di masa depan. Ini sebabnya sanksi dalam Islam itu bersifat jawazir dan jawabir yang artinya mencegah dan membuat jera.
Adapun bagi para bandar judi atau yang mempromosikannya akan mendapat hukuman berupa takzir sesuai dengan kerusakan yang ditimbulkan dari kesalahannya. Maka, hanya sistem ini yang mampu memberikan edukasi yang layak, iklim masyarakat yang sehat serta para penegak hukum yang amanah menjalankan syariat Islam yang sempurna. Oleh karena itu, Islam sejatinya perlu diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, sosial masyarakat, bahkan ekonomi dan sanksi. Wallahualam bissawab. [Dara]