Kebijakan Pertambangan, Adilkah kepada Rakyat?
Analisis
Sistem ekonomi kapitalisme menjadikan aktivitas pertambangan sebagai komoditas perdagangan bebas
Sedangkan dalam pandangan Islam, tanah dan seluruh sumber daya yang terkandung di dalamnya adalah milik Allah Taala
______________________________
Penulis Hadrah
Kontributor Media Kuntum Cahaya, Praktisi Pendidikan dan Lingkungan Jambi
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Mengutip pemberitaan pekan lalu di media nasional, sejumlah warga di Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Bukiwaras dan Kelurahan Way Lunik, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung gelar aksi resahkan aktivitas perusahaan batu bara di wilayah setempat.
Beberapa warga menyatakan penolakan adanya aktivitas stockpile milik perusahaan batu bara. Sebab dinilai membahayakan kesehatan warga sekitar yang terdampak. Debu batu bara stockpile (penimbunan) di Kelurahan Way Lunik, Kecamatan Panjang, Bandar Lampung berdampak pada kesehatan warga sekitar.
Warga beberapa RT di Way Lunik mengeluhkan permasalahan kesehatan berupa sesak napas dan mata perih saat berada di luar rumah. Gangguan kesehatan ini dapat lebih parah dirasakan saat angin kencang musim panas.
Di mana debu-debu dari penimbunan batu bara mengotori rumah penduduk. Juga mengakibatkan mata perih dan pedih, sesak napas hingga masyarakat menderita ISPA. Penimbunan batu bara tersebut diketahui sudah berlangsung selama lebih dari tujuh bulan. Namun belum ada penyelesaian atau solusi, baik dari pihak perusahaan maupun pemerintah.
Persoalan kesehatan masyarakat maupun kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan memang sering kita dengar maupun saksikan di media massa.
"Di mana ada tambang, di situ ada penderitaan warga. Di mana ada tambang, di situ ada kerusakan lingkungan, tidak akan bisa berdampingan," kata koordinator Jaringan Tambang (JATAM) Merah Johansyah kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, Jumat (20/05/2021)
Dikatakan bahwa, lingkungan "dirusak" dan masyarakat "dibungkam" paksa demi terlaksananya komoditi prioritas yang menjadi tulang punggung pemasukan negara itu.
Jaringan Advokasi Tambang mencatat konflik pertambangan di Indonesia terjadi di lahan seluas 925.748 hektare setidaknya memuat 71 kasus. Konflik pertambangan ini diprediksi akan mengalami peningkatan mengingat keinginan pemerintah yang cenderung mengutamakan investasi.
Konflik akibat aktivitas pertambangan antara lain penembakan oleh aparat. Diikuti jumlah kasus dengan pola konflik didahului bentrokan fisik, serta aksi-aksi pemblokiran jalan tambang. Salah satu akibat dari berbagai konflik pertambangan tersebut adalah upaya kriminalisasi terhadap masyarakat maupun aktivis yang menolak kegiatan penambangan.
Aktivitas pertambangan menjadi salah satu penyebab utama perempuan menghadapi gangguan kehidupan yang sangat berat. Gangguan tersebut dimulai dari akses air. Sebagai salah satu contoh, kondisi yang dihadapi perempuan di Desa Long Loreh, Malinau Selatan, Kabupaten Malinau akibat sungai yang tercemar limbah operasi tambang batu bara. Para perempuan harus rela menggunakan air keruh yang tercemar lumpur untuk mencuci peralatan makan dan perlengkapan dapur.
Rakyat Korban Kebijakan Pertambangan
Kasus penambangan yang berdampak pada buruknya kesehatan masyarakat di kawasan penambangan bukan hal yang baru terjadi saat ini. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak penambang atau perusahaan sejatinya tidak memperoleh hukuman yang memberikan efek jera. Bahkan kelalaian yang dilakukan pihak penambang justru makin meningkat karena negara terkesan “abai” terhadap pelanggaran yang dilakukan.
Berdasarkan catatan akhir tahun 2020 JATAM, terdapat 8.588 Izin Usaha Pertambangan (IUP) diterbitkan di seluruh kepulauan Indonesia telah mengaveling 44% luas daratan dan kepulauan di Indonesia.
Jika kita merujuk catatan WALHI, sangat layak dikatakan bahwa kebijakan negara di sektor pertambangan adalah penyebab konflik agraria dan perampas ruang hidup paling jahat dibandingkan sektor lainnya, seperti perkebunan, infrastruktur dan Proyek Strategis Nasional, properti, dan kota mandiri.
Hal tersebut bukan tanpa alasan. Alasan pertama, dengan pengesahan UU Minerba No. 3/2020, Pemda tidak lagi bisa melakukan pencabutan IUP sebab seluruh kewenangan pertambangan diatur oleh pemerintah pusat. Masyarakat senantiasa akan selalu dirugikan, baik berupa perusakan lingkungan hidup maupun konflik sengketa lahan.
Hal ini dikarenakan seluruh kewenangan pertambangan diatur oleh pemerintah pusat. Alasan kedua, masyarakat yang mencoba mengganggu aktivitas pertambangan dalam bentuk apa pun, bisa dilaporkan balik oleh perusahaan dan dijatuhi pidana, bahkan denda hingga sebesar Rp100 juta (Pasal 162).
Sebelumnya kita telah mendengar kasus enam remaja di bawah umur ditangkap karena menolak tambang batu di Desa Wisnu, Wakatumpul, Pemalang, Jateng. Selain itu, kasus serupa terjadi pada Tubagus Budhi yang ditangkap polisi karena mengadang kapal tambang timah di Babel pada 2015. Masih banyak lagi kasus kriminalisasi terhadap warga yang tengah berjuang mempertahankan hidup dan lingkungan tempat tinggalnya.
Negara Kapitalis Hanya Mementingkan Pemilik Modal
Negara kapitalis, sesuai dengan nama dan ciri utamanya yaitu memprioritaskan kepentingan para pemilik modal (capital). Sehingga tidak heran jika kebijakan yang dikeluarkan seringkali tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat.
Berdasarkan penjelasan oleh Syekh Ahmad Athiyat, asas kapitalisme menetapkan bahwa Pencipta (Al-Khaliq) itu tidak memiliki kaitan apa pun dengan apa yang diciptakannya (makhluk), apakah alam semesta, manusia, ataupun kehidupan. Sehingga yang memiliki hak dalam menetapkan nizham (sistem atau aturan hidup) adalah manusia itu sendiri.
Oleh karenanya, menurut ideologi kapitalisme, manusia layak menjadi satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan untuk menetapkan sistem yang akan mengatur kehidupannya. Dengan menggunakan akalnya untuk mengaitkan dan menciptakan sesuatu (al-aql al-shalih li al-rabth wa al-ibda’).
Berdasarkan asas ataupun kaidah berpikir ini, maka lahirlah ide empat kebebasan. Yakni kebebasan berpendapat (huriyat al-ra’yi) disebut juga dengan kebebasan berpolitik (al-huriyat al-siyasiyah) yang memberikan hak kepada setiap manusia untuk mengajukan pendapat, berpartisipasi dalam menentukan kehidupan umum bagi umat, meletakkan seluruh batasannya, menetapkan undang-undangnya, dan menentukan pemerintahan yang akan mengatur kehidupannya.
Kebebasan kepemilikan (huriyat al-tamalluk) ataupun kebebasan berekonomi (al-huriyat al-iqtishadiyah) yang berpusat pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memiliki segala yang diinginkannya dengan kuantitas dan metode yang sesuai dengan keinginannya pula.
Adapun yang dibebankan pada negara hanyalah agar negara menjadi regulator untuk membuka setiap lahan ekonomi bagi setiap individu. Sehingga memungkinkan individu memiliki hak kepemilikan. Apakah yang berkaitan dengan kegiatan produksi atau konsumsi, dan hal ini tegak di atas kepentingan pribadi.
Melihat aktivitas penambangan yang hanya memanfaatkan masyarakat sebagai buruh. Sementara lingkungan tempat hidupnya rusak. Bahkan masyarakat memperoleh dampak penurunan kualitas kesehatan hingga terancamnya nyawa.
Tentu tidak sebanding, bahkan tidak adil jika dibiarkan terus menerus. Masyarakat tentu mendapat lebih banyak kerugian akibat ruang hidup yang terganggu. Terutama perempuan dan anak yang paling merasakan dampak kerusakan tersebut.
Keadilan Hanya Ada dalam Naungan Islam
Dalam sistem politik Islam, akidah Islam merupakan asas yang digunakan dalam membangun kekuasaan. Keberadaan negara dirancang untuk menerapkan hanya hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Berdasarkan hal ini, Islam mewajibkan seorang kepala negara (khalifah) sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyatnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya. Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda bahwa, "Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya."
Bank Dunia (World Bank) sendiri merupakan alat penjajahan rezim global. Organisasi tersebut hanya mengikuti arahan pembangunan dan dikte perdagangan bebas. Sama dengan menyerahkan leher umat kepada pedangnya musuh.
Pembangunan seharusnya didesain untuk menyejahterakan dan meningkatkan pelayanan kepada rakyat. Serta memberikan kemudahan dan daya dukung terbaik, agar rakyat bisa bekerja menghidupi dirinya dan orang-orang yang ditanggungnya.
Negara wajib melakukan pembangunan yang memberikan penghidupan dan ruang hidup yang aman, termasuk memuliakan kaum perempuan dan anak-anak.
Sistem ekonomi kapitalisme menjadikan aktivitas pertambangan sebagai komoditas perdagangan bebas. Sedangkan dalam pandangan Islam, tanah dan seluruh sumber daya yang terkandung di dalamnya adalah milik Allah Taala.
Maka tidak boleh ada seorang pun yang menguasai, kecuali atas izin Allah Taala melalui syariat-Nya. Negara wajib tunduk ketika kepemilikan tanah dan sumber daya diatur oleh Islam (meliputi kepemilikan individu, umum, dan negara).
Berdasarkan hal itu, sistem kepemimpinan Islam dalam menjalankan syariat Islam untuk mengatur tanah dan sumber daya harus tegak di atas asas iman dan takwa para penguasa dan para aparatur negara. Alhasil, keberkahan yang dilimpahkan Allah Taala akan membawa seluruh masyarakat dalam kemuliaan. Wallahualam bissawab. [SJ]