Mengatasi Konflik Agraria, Cukupkah dengan Sertifikat Elektronik?
OpiniMasalah agraria yang tidak terselesaikan menunjukkan bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan negara tidak mampu mengurusi kebutuhan rakyat
Sistem inilah yang merupakan biang keladi kepemilikan individu sangat dijamin
______________________________
Penulis Siti Mukaromah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Resmi pemerintah meluncurkan program sertifikat tanah elektronik, sebanyak 2,5 juta masyarakat di berbagai daerah. Cukupkah sertifikat tanah elektronik mengatasi konflik agraria yang sering terjadi di tengah masyarakat?
Dikutip dari Lampost[dot]co (4/13/2023), sertifikat tanah elektronik diklaim bakal tekan sengketa lahan. Pemerintah pusat resmi meluncurkan sertifikat elektronik secara nasional pada Senin, 4 Desember 2023. Digitalisasi itu sebagai upaya untuk menekan konflik lahan.
Sekretaris Provinsi Lampung, Fahrizal Darminto mengatakan, terdapat 3.125 sertifikat hasil kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan redistribusi untuk masyarakat Lampung. Diharapkan, terobosan ini dapat mengurangi konflik-konflik terkait tanah, khususnya mafia tanah.
Menurutnya, transformasi pelayanan digital itu bakal mampu melayani masyarakat dengan cepat, transparan, dan tepat waktu. Bukan hanya mengubah manual menjadi digital atau offline menjadi online, tapi untuk meningkatkan pelayanan ke masyarakat.
Sebab, masih kerap administrasi pendaftaran menjadi hambatan dalam pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Fahrizal berharap masyarakat dapat memelihara dan menjaga sertifikat tanah tersebut agar tidak disalahgunakan. Hal yang paling utama masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah untuk kepentingan keluarga sehingga meningkatkan kesejahteraan.
Program sertifikasi tanah elektronik diharapkan bisa membantu negara dalam mengelola sertifikat tanah, kepengurusan yang mudah dan cepat. Cara ini sayangnya, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Masalah lahan di lapangan, tidak hanya ada pada cara mengurusnya online ataupun offline. Melainkan lebih dari itu, beberapa konflik lahan justru melibatkan pihak ketiga. Seperti pengusaha, pengelola, atau pengembang.
Misalnya kasus Wadas, Rempang, tambang batu bara, dan berbagai kasus lain bukanlah sekadar masalah sertifikat tanah elektronik, melainkan tentang keinginan lembaga atau perusahaan untuk menjadikan tempat warga atau lahan tempat mata pencarian mereka sebagai proyek besar dan keuntungan beberapa pihak.
Selain itu, sertifikat tanah elektronik juga rentan mengalami peretasan. Meskipun akan ada keamanan siber ganda yang dijamin oleh pihak pemerintah. Kemungkinan tetap saja bisa dibobol, jika keamanan elektronik yang canggih milik negara saja bisa diretas, tidak menutup kemungkinan data keamanan lainnya di negeri ini juga sama. Sertifikat tanah elektronik bukan hal krusial.
Jika masalah utamanya tidak selesai, sertifikat tanah elektronik, konflik agraria akan terus ada. Sebagaimana publik ketahui, ratusan konflik agraria terjadi sejak pencanangan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan pengesahan UU Ciptaker. Banyak sekali wilayah persawahan atau perkebunan mengalami alih fungsi lahan menjadi pabrik atau tambang sejak UU itu disahkan.
Terbukti dalam kasus Rempang, sudah berabad-abad masyarakat yang tinggal di sana sebagai pemilik sah tanah dengan alasan tidak memiliki sertifikat. Kalau dalam pemilu suara mereka dikejar-kejar, namun ketika ada investasi yang dinilai menjanjikan mereka dipaksa keluar dari meninggalkan ruang hidupnya. Tetap saja rakyat ujungnya yang menjadi korban.
Rencana mengubah sertifikat tanah dari fisik ke elektronik, semua itu mensinyalir bukan sesuatu yang urgen. Semestinya pemerintah menyelesaikan aturan konsep pertanahan lebih dahulu sebelum memperbaiki secara teknis.
Masalah agraria yang tidak terselesaikan menunjukkan bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan negara tidak mampu mengurusi kebutuhan rakyat. Sistem inilah yang merupakan biang keladi kepemilikan individu sangat dijamin. Semua akan dilakukan asalkan menguntungkan, termasuk UU dibuat untuk memuluskan kepentingan pengusaha.
Alih-alih demi fungsi keuntungan ekonomi pengalihfungsian baik berpenghuni, lahan yang subur, dan lainnya. Akhirnya rakyat yang kena imbasnya, akibat pengalihfungsian lahan mereka harus meratapi nasibnya. Negara hanya berperan sebagai regulator yang memuluskan kepentingan para oligarki.
Islam agama yang sempurna memiliki pengaturan yang khas tentang pertanahan. Dalam sistem IsIam (Khilafah) akan mengakui hak milik tanah ketika diperoleh dari jual beli, waris, hasil menghidupkan tanah mati maupun hibah. Negara dalam khilafah memberikan tanah kepada rakyat dan membuat batas pada tanah mati, alasan tersebut akan melindungi hak rakyat.
Sedangkan tanah yang dimanfaatkan umum seperti hutan, padang gembala atau kandungan SDA yang melimpah negara yang akan mengelolanya. Negara tidak akan membiarkan kepemilikan tanah jatuh ke tangan individu, swasta, apalagi oligarki. Visi negara mengurusi urusan rakyat dengan berbagai cara dan tidak akan membiarkan sesuatu terjadi.
Pembagian pengaturan hak dan kepemilikan secara adil ini mustahil bisa diterapkan dalam sistem rusak demokrasi yang sudah dikuasai oleh oligarki politik dan kapitalis. Jalan ini hanya akan terealisasi pada negara yang mengambil sistem pemerintahan IsIam.
Yaitu sistem Khilafah yang akan menerapkan IsIam secara kafah, untuk langsung mengatur kepemilikan umum dan masyarakat, serta menerapkan kebaikan-kebaikan lainnya. Tidakkah kita sebagai seorang muslim rindu aturan yang berasal dari Allah ini diterapkan? Wallahualam bissawab. [SJ]