Pencitraan Karhutla, Rakyat Tetap Terkena Dampaknya
OpiniPeran negara tidak lebih sekadar regulator dan fasilitator bagi kepentingan korporasi
Pemberian izin konsesi hutan, alih fungsi lahan melalui pembukaan lahan gambut hingga deforestasi adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme
______________________________________
Penulis Rifka Nurbaeti, S.Pd.
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Ad Interim Erick Thohir menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tak main-main dengan segala hal yang dapat mengancam hutan seperti perubahan iklim, illegal logging, kebakaran hutan, dan deforestasi. Berbagai upaya telah dilakukan secara maksimal, demi menjaga kelestarian hutan. Terbukti, saat ini, titik api mengalami pengurangan secara signifikan sampai 82%. Pada tahun 2019 Dari 1,6 juta hektar menjadi 296 ribu hektar pada tahun 2020.
Laju deforestasi hutan di Indonesia, juga terus mengalami penurunan, dari angka 3,51 juta hektar pada 1996-2000 menjadi 1,09 juta hektar pada tahun 2014-2015. Lalu mengecil lagi ke angka 470 ribu hektar pada 2018-2019. “Deforestasi hutan di Indonesia dalam periode 2019-2022 turun 75%, menjadi 104 ribu hektar. Terendah sejak tahun 1990,” kata Erick pada saat acara COP28 di Paviliun Indonesia di Expo City, Dubai, Uni Emirat Arab, Kamis (30/11/2023). (Rakyat Merdeka[dot]id)
Faktanya, karhutla selalu terjadi di Indonesia. Pada laman Kemenkes menyebutkan bahwa karhutla luas pernah terjadi terjadi pada tahun 1997 dan 2015 sehingga disebut darurat kabut asap. Artinya, anak-anak terkena dampaknya yang berisiko terpapar zat berbahaya yang akan membahayakan kesehatannya, hari ini maupun pada masa yang akan datang.
Mirisnya tahun 2021 mengalami kenaikan lagi. Artinya sebetulnya Karhutla belum benar-benar mampu diberantas tuntas. Meski karhutla tidak picu kabut asap lintas batas, rakyat Indonesia tetap saja merasakan dampak buruknya. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menunjukkan hal yang sama, yaitu terjadi peningkatan penderita ISPA disebabkan karhutla. Sebanyak 919 ribu orang mengalami ISPA di enam provinsi, yakni Riau, Sumsel, Jambi, Kalbar, Kalteng, dan Kalsel. Riau dan Kalteng sudah menetapkan keadaan darurat akibat asap. (VOA Indonesia, 23-9-2023)
Miris pencitraan di negara lain, dan melupakan dampak yang menimpa rakyatnya sendiri. Bahkan rakyat tetap dalam derita, karena terjadi berulang bila musim panas terjadi dan musim hujan kebanjiran.
Persoalan karhutla bukanlah persoalan teknis semata, melainkan sudah sistemik. Karhutla merupakan salah satu dampak dari kapitalisasi hutan atas nama konsesi. Eksploitasi hutan secara besar-besaran dimulai sejak terbitnya UU 5/1967 mengenai Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Sejak UU ini berlaku, penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Perizinan konsesi hutan inilah yang menyebabkan faktor utama karhutla terus menerus terjadi.
Pembukaan lahan gambut, termasuk deforestasi, juga masih terus berlangsung untuk kepentingan bisnis kaum kapitalis. UU yang berlaku mengizinkan korporasi membakar hutan dan lahan walau dengan ketentuan dan syarat tertentu. Hal ini makin menegaskan bahwa peran negara tidak lebih sekadar regulator dan fasilitator bagi kepentingan korporasi. Pemberian izin konsesi hutan, alih fungsi lahan melalui pembukaan lahan gambut hingga deforestasi adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme.
Karhutla akan mampu tertanggulangi dengan tuntas jika negara menerapkan sistem Islam secara kafah. Pengelolaan hutan dan pemanfaatannya akan menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Setiap individu-individu muslim terikat dengan syariat Islam. Islam membolehkan memiliki lahan yang dibenarkan oleh syariat. Pemilik lahan harus mengelolanya dan tidak boleh menelantarkan lahan lebih dari 3 tahun. Jika dibiarkan dianggap tanah mati dalam Islam, dan negara boleh memberikan pada siapa saja yang mau lebih dulu menggarap lahan untuk dihidupkan.
2. Dalam Islam hutan adalah milik umum, tidak boleh dimiliki oleh individu juga swasta. Negara mengelolanya semata-mata untuk kepentingan umum/rakyat.
3. Negara boleh memproteksi hutan sebagai kawasan konversi dengan menetapkannya sebagai hima. Hal semacam ini bisa dilakukan apabila eksplorasi hutan menimbulkan potensi bahaya dan bencana ekologis bagi masyarakat. Negara boleh melakukan konservasi hutan dalam upaya melindungi hak-hak ekologi dan SDA yang asli.
Dengan ketiga prinsip ini, diharapkan akan mampu mencegah terjadinya eksploitasi hutan secara ugal-ugalan. Ketika sistem Khilafah diterapkan, negara dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya, yakni sebagai raa’in (mengurusi seluruh urusan rakyat). Negara akan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa menjaga alam dan ekosistem adalah kewajiban bagi setiap muslim. Selain itu, negara akan melakukan pengontrolan dan pengawasan setiap aktivitas yang bertujuan untuk memanfaatkan hutan, baik secara individu maupun kelompok. Peran negara semaksimal mungkin harus memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam serta lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang memberikan efek jera. Wallahualam bissawab. [GSM]